Part 17 - Akhir kehidupan

5.1K 415 103
                                    

Jinata berbaring di sofa. Saat ini dia sedang berada klinik miliknya dan temannya yang bernama Tama. Pria itu memandang ponsel yang berada di tangannya. Dia ingin menelepon Hanna dan ingin bertanya kegiatan istrinya itu hari ini. Dia khawatir, karena kejadian kemarin Hanna akan marah padanya dan bersikap dingin. Tapi itu salah Hanna sendiri, Hanna selalu pergi tanpa izinnya.

"Lo habis pulang dari seminar?" Tanya Tama yang duduk di kursi kerjanya.

"Iya," jawab Jinata.

"Lo akan langsung pulang?"

"Tidak, kepalaku agak pusing. Aku akan menginap dulu di sini."

"Oke. Gue akan minta pak satpam untuk menemani lo. Lo butuh obat?"

"Tak usah."
_______

Jinata mencoba kembali tidur setelah melaksanakan shalat subuh. Kepalanya terasa sangat pusing. Dia hanya menutup matanya untuk menahan rasa sakitnya.

"Nat, lo belum pulang ke Jakarta? Bukannya kamu ada operasi hari ini?" Tanya Tama yang ternyata sudah ada di kantornya.

Mata Jinata terbuka, lalu pria itu duduk. "Tam," suara serak Jinata terdengar.

"Kenapa?"

Tama menyeritkan dahinya dan menghampiri temannya itu. Wajah pucat Jinata terlihat sangat jelas. "Lo demam?" Dia memegang dahi Jinata dan benar saja.

Jinata memegang dirinya sendiri dan menghela nafasnya. "Aku akan pulang kalau begitu.." pria itu beranjak dari tempat duduknya.

"Pulang? Dalam keadaan seperti ini? Lo udah gila? Bagaimana nanti Lo kecelakaan?"

"Aku akan baik-baik aja kok. Insyaallah. Aku pergi, assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam.." Tatapan Tama ragu kalau Jinata akan baik-baik saja.
_______

Alhasil, Jinata pulang diantar oleh Tama. Tama melirik Jinata yang sesekali merintih.

"Apa lebih baik kita mampir dulu ke rumah sakit, Nat?" Tanya Tama.

"Gak usah. Aku udah minum obat, nanti juga akan cepat sembuh," jawab Jinata.

Beberapa jam kemudian, mereka berdua sampai di daerah rumah keluarga Jinata. Namun saat mobil hendak masuk ke dalam, ada seorang pria yang berdiri di depan pintu gerbang.

Jinata yang melihat itu memutuskan untuk turun dari mobilnya. "Mau ke siapa?" Tanyanya menghampiri pria itu. Jinata memindai penampilan pria itu seperti kurir.

"Oh iya, ini ada kiriman untuk atas nama Hanna Annisa. Apa benar ini alamatnya?" Tanya Kurir itu.

"Iya," jawab Jinata.

"Jadi bapak ini..?"

"Saya suaminya."

"Oh.. iya. Kalau begitu ini pak." Kurir itu mengirimkan bunganya pada Jinata. "Kalau boleh tau, nama bapak siapa?"

"Jinata."

"Oh ok, pak," kata kurir itu sambil memotret Jinata yang memegang bunganya. "Saya permisi, pak." Kurir itu pun menaiki motornya dan melaju pergi.

Jinata menatap bunga yang dipegangnya saat ini. Dia mencari nama pengirim pada kertas yang ada. Namun tak ada nama pengirimnya. Hal ini semakin membuat Jinata berpikir, kalau Reza yang mengirim ini untuk Hanna.

"Nat, kenapa?" Teriak Tama dari jendela mobil.

"Nggak.." sahut Jinata. Pria itu menekan password untuk membuka gerbang rumahnya dan gerbang pun terbuka. Jinata langsung masuk ke dalam mobil.

"Widih. Lo udah nikah masih dapet kiriman bunga?" Tanya Tama penasaran.

"Bukan punya aku."

Mobil pun terparkir di halaman rumah. Jinata dan Tama keluar dari mobil. Jinata mengambil kopernya yang berada di dalam bagasi.

"Nat, kayaknya gue mau langsung pulang, ada urusan mendadak," kata Tama sambil mengecek ponselnya.

"Yakin gak akan mampir?"

"Nanti aja. Kapan-kapan. Salamin sama ayah sama mamah lo. Dan juga istri lo."

"Kalau gitu pake aja mobil ini. Nanti aku akan ke Bandung lagi. Thanks udah ngater."

"Ok. Santai aja. Gue pergi yah pake mobil Lo. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam.."

Jinata masuk ke dalam rumahnya. "Assalamu'alaikum," salamnya.

"Wa'alaikumsalam," sahut Wida yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamu dengan menggendong putrinya.

"Mamah ada di kamar?" Tanya Jinata.

"Bu Sarah sedang pergi dengan Pak Juhud," jawab Wida. Wida melihat bunga yang dipegang Jinata. "Bunga yang sama seperti kemarin. Jadi bapak yang mengirim bunga untuk Bu Hanna kemarin? So sweet sekali," katanya.

Jinata mengerutkan dahinya. Dia hanya tersenyum, lalu dia permisi untuk ke dalam kamarnya. Jinata melihat istrinya yang sedang tertidur, begitu pula putrinya. Dia menyimpan hendak menyimpan bunga di atas meja rias Hanna, namun di sana dia mendapatkan bunga yang sama. Suasana hati pria itu menjadi sangat buruk. Kepalanya juga menjadi sangat pusing. Jinata membawa kedua buket bunga itu dan langsung membuangnya ke dalam tong sampah.

Lalu dirinya membaringkan tubuhnya di atas ranjang tanpa mengganti pakaiannya. Kepalanya terlalu pusing saat ini.
_______

Hanna dikejutkan dengan Jinata yang tidur di sampingnya. Dia mendengar suara nada dering ponsel yang berbunyi berulang kali. Itu bukan nada dering ponsel miliknya, melainkan milik Jinata. Hanna mengambil ponsel Jinata di dalam saku celana pria itu. Namun tangan Jinata menahannya. Ternyata suaminya itu terbangun.

"Ngapain?"

"Hp kamu bunyi terus, jadi aku mau mengangkat teleponnya."

Tangan pria itu mengambil ponselnya. Lalu dia mengangkat telepon, tepat di saat ponselnya berbunyi lagi.

"Assalamu'alaikum."

"...."

"Ah, Iyah. Aku lupa. Aku akan langsung ke rumah sakit sekarang."

"Mau pergi lagi?" Tanya Hanna.

Jinata tak menjawabnya dan malah pergi begitu saja.

Rasanya Jinata bersikap seenaknya ketika Hanna mencoba bersikap baik pada pria itu. Ketika Jinata menutup pintu Hanna melemparkan bantal dan bantal itu mengenai bingkai foto pernikahannya, dan itu membuatnya jatuh-hancur.

Terpaksa Hanna beranjak dan membereskan serpihan kaca. Memasukkannya ke dalam tong sampah dan di sana dia melihat ada buket bunga di dalamnya. Pelakunya pasti Jinata. Baru kembali, suaminya itu sudah bersikap menyebalkan.

"Awas saja ketika kamu pulang," kesal Hanna.

________

Jinata mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Padahal dia sudah lama tak memakai motornya itu. Namun dia harus cepat ke rumah sakit, ada jadwal operasi pasiennya siang ini.

Tiba-tiba mobil di depannya berhenti dan membuat Jinata mengerem mendadak, tapi tetap saja motor pria itu menabrak bagian belakang mobil dan membuat tubuh Jinata terbanting ke aspal jalan. Tubuhnya terseret karena bantingan yang keras.

Jinata masih sadar, dia merasakan sakit pada tubuhnya. Saking sakitnya dia tak bisa berteriak. Tangannya tak bisa ia gerakkan. Hanya air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Mungkinkah ini akhir dari hidupnya?
Bibirnya bergerak mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa suara.
______

"Aw," ringis Hanna saat menginjak serpihan kaca. Hanna duduk di kursi dan mencabut serpihan itu. Darah pun keluar.

"Astagfirullah.. ya Allah, tenangkan hati hamba ini.." lirihnya. Air matanya keluar begitu saja. Bukan karena sakit, tapi karena memikirkan semua yang terjadi selama ini. Sikap suaminya, putranya.

Hanna menatap nanar foto pernikahannya. "Kenapa kita harus mempertahankan pernikahan ini? Kita gak bahagia, Jinata.."

.....

Yahh.. beginilah ceritanya.. makin kayak sinetron aja.. wkwkw.. makasih udah mau baca..

HEART GAME 3 : not me, but you (Completed) (Finale) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang