19. Bulan

12.4K 1.8K 5
                                    

Sebulan telah berlalu dengan cepat, Zea sudah terbiasa berbagi tempat tidur dengan Emilio. Pertama kali dia tidur dengan pria itu, dia merasa was-was di dalam hatinya bagaimanapun dia tidak pernah tidur dengan orang asing sepanjang hidupnya.

Sekalipun tidur bersebelahan dengan orang asing, kewaspadaannya selalu terjaga.

"Sayang." Panggilan Emilio membuyarkan pikirannya. Melihat pria yang memanggilnya berjalan masuk menuju balkon, tempat dia duduk bersantai.

"Apa?"

Mengusap kepalanya sebentar dan berkata. "Besok, ikut aku ke suatu tempat."

Zea berdehem, melingkari perutnya dan menenggelamkan seluruh wajahnya ke perut eight-pack Emilio.

"Kamu tidur sendiri malam ini." Suara teredam Zea masuk ke pendengarannya, tangan yang sedang membelai lembut rambut gadisnya berhenti sejenak.

"Kenapa?" Emilio mengangkat wajah yang berada di perutnya untuk menatap matanya.

"Tugas menumpuk, jadi aku tidak di kamar malam ini." Setelah mengatakan itu dia kembali menenggelamkan wajahnya, menikmati belaian tangan Emilio yang ada di kepalanya.

Di rasa cukup lama, Zea melepaskan pelukannya dan berdiri. "Aku akan pergi ke ruang belajar sekarang."

Zea meninggalkan Emilio sendiri di kamar dan berjalan menuju ruang belajar yang terletak jauh dari kamarnya.

Tepat setelah masuk ruangan, dia mengunci ganda pintu tersebut. Ini adalah ruang komputer sekaligus ruang belajarnya, Zea menekan salah satu buku lalu mendorong rak ke belakang.

Di balik rak buku ada ruangan tersembunyi dan tidak ada yang mengetahuinya termasuk Hansa dan Emilio. Ruangan tersembunyi itu sama sekali berbeda dengan ruangan yang ada diluar rak buku, tidak terlalu luas tapi penuh dengan barang.

Lemari dan rak yang terisi penuh dengan berbagai macam senjata, peledak, dan segala hal yang berbahaya. Zea melangkahkan kakinya ke salah satu meja yang berada di sudut, meracik sesuatu dengan tekun dan seksama.

Lama dia berkutat dengan bahan-bahan yang ada di atas meja, sebuah tabung reaksi berisi cairan berada di tangannya. Zea menatap lamat tabung reaksi tersebut, banyak waktu dia habiskan hanya untuk membuat cairan ini.

Dia meminum cairan tersebut dengan sekali teguk. Tepat setelah meminumnya, rasa sakit tajam menghampiri otaknya, reaksi yang dia harapkan datang sangat cepat.

Tangannya dengan cepat memegang tepi meja untuk menyanggah tubuhnya agar tidak limbung ke lantai. Otaknya seperti ditusuk-tusuk oleh jarum tak kasat mata, pandangan matanya menggelap seiring bertambahnya rasa sakit.

Gendang telinganya berdenging kuat, perlahan wajahnya memucat karena menahan rasa sakit. Perasaan menyakitkan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat, napasnya memburu, tangan dan kakinya bergetar hebat.

Tidak kuat menahan bobot tubuhnya, Zea jatuh dengan keras di atas lantai. Badannya meringkuk dan tangannya mencengkram perutnya kuat saat rasa sakit di perutnya mulai bekerja.

"Uhuk– "

Semburat darah mengalir keluar dari mulutnya, terus mengalir keluar sampai mengotori pakaian miliknya. Bersamaan dengan malam yang semakin larut, Zea terus meringkuk menahan rasa sakit.

__-__-__-__-__

Membuka matanya perlahan, mengerjapkan matanya dengan linglung. Sekujur badannya basah dengan keringat. Dia bangun dan mendudukkan dirinya di lantai, mengelap darah yang ada di mulutnya.

Bibirnya sangat pucat, matanya sayu, tenggorokannya sakit, dan seluruh badannya lemas. Dia menaikkan dosis racikannya tadi malam, tidak menyangka efeknya melebihi harapannya.

Semenjak hari dimana dia terluka oleh belati beberapa minggu yang lalu, dia sadar akan toleransi rasa sakitnya sangat minim bahkan mendekati nol. Karena itu dia meminum cairan pemberi rasa sakit, seperti yang dia lakukan di kehidupan sebelumnya.

Dia memodifikasi cairan itu sedemikian rupa agar menghilangkan efek samping dari mengkonsumsi cairan tersebut dalam jangka panjang, perlahan tapi pasti dia terus menaikkan dosis secara bertahap.

Zea tidak melakukannya setiap malam, hanya seminggu sekali tapi untuk yang sebelumnya dia tidak pernah muntah darah. Untuk pertama kalinya dia memuntahkan darah, mungkin dosis yang dia berikan terlalu tinggi.

Dia berani bertaruh, wajahnya sekarang pasti terlihat seperti orang yang penyakitan. Melirik jam yang terpasang di dinding, masih dini hari. Zea memaksakan dirinya bangkit dan mengganti pakaian. Dia menempatkan beberapa kaos hitam di laci meja, karena dia tahu setiap selesai meminum cairan itu tubuhnya pasti penuh keringat dan itu menyebabkan pakaiannya basah.

Langkah kakinya lemah menapaki lantai sedikit demi sedikit, menutup kembali rak buku tersebut dan duduk di depan komputer. Meletakkan tangan di antara alis, memijitnya dengan pelan. Sisa rasa sakit tadi malam masih ada walaupun tidak terlalu terasa.

"Dimana berkas itu?" Selepas meminum cairan, dia tidak pernah kembali ke kamar sampai matahari terbit.

Zea mencari sebentar berkas yang diperlukannya, berkas itu ada di antara tumpukan berkas yang lain. Menghidupkan komputer miliknya dan melanjutkan mencari data-data yang sekiranya bisa membantu Hansa.

Ya, Hansa.

Dia tidak pernah mengambil kembali perkataannya, dia selalu mencari tahu tentang ini di sela-sela waktunya. Dia sudah mendapat banyak, tinggal sedikit lagi dan itu akan tuntas.

Jari lentiknya menari di atas keyboard dengan sangat cepat, menekan mantap tanpa ada keraguan. Kacamata bertengger di hidungnya, mata tajam miliknya menatap monitor dengan lekat.

Keningnya mengernyit saat mendapat sebuah video ketika berhasil masuk ke dalam akses perusahaan, menekan tombol spasi dan video berdurasi sekitar empat menit diputar. Di dalam video tersebut ada dua orang, satu terbaring sakit di tempat tidur dan yang lain berdiri di samping ranjang.

Ada satu surat yang diberikan oleh orang yang terbaring di tempat tidur. Setelah video tersebut di putar, Zea dengan cepat mencari rekam jejak file yang berhubungan dengan surat itu dan hasilnya tidak ada sama sekali.

"What the hell?!" Zea menggeram kesal ketika sesuatu yang dia cari tidak bisa ditemukan.

Zea memutuskan menyudahi kegiatannya sekarang, matahari sudah mulai terbit. Emilio akan mencarinya sebentar lagi. Kesal di hatinya belum hilang, dia pergi ke dapur setelah mematikan semua komputer dan menyimpan kembali berkas ke tempat semula.

Membuka lemari pendingin dan menundukkan badannya untuk mengambil air.

"Kamu sudah bangun?" Suara bariton terdengar dari balik punggungnya.

Menutup lemari pendingin, Zea membalikkan tubuhnya dan bersandar di pintu lemari pendingin.

"Aku haus." Zea mengangkat botol air yang berada di tangannya dan mengguncang pelan tepat di depan wajah Emilio.

Emilio mengambil kacamata yang bertengger manis di wajah gadisnya dan bertanya. "Kenapa bibirmu pucat?"

To be continued

Jangan lupa tinggalkan jejak, terima kasih.

See you next time

24 Juni 21

REVISI: 19 Juni 22

WHY AM I HERE [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang