it's never the same

1.6K 250 0
                                    

Aku terdiam di taman belakang rumahku, tempat di mana aku dan Seulgi sering menghabiskan waktu bersama.

Kurasa ini adalah tempat favorit Seulgi ketika dia mengunjungi rumahku —tentunya selain ranjangku, ya! Katanya dia senang memelukku di sana. Menjagaku sepanjang malam ketika kita memutuskan untuk tidur bersama.

Aku ingat ketika Seulgi baru saja menyelesaikan pekerjaan pertamanya ke luar negeri saat dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Negara itu bernama Slovenia.

Saat itu kami mengobati rindu dengan bertemu di rumahku. Dia berlari menghampiriku dari teras belakang kepadaku yang tengah berdiri di tengah - tengah taman belakang ini.

Senyumannya begitu menawan, itu kali pertama aku mendengar dia begitu antusias menceritakan perjalanannya menyusuri salah satu kota luar biasa di Eropa Timur.

Aku hanya bisa mendengarkan ceritanya sembari memandangi wajahnya.

Itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu.

"Unnie!" dia berseru saat itu.

"Aku jadi terpikirkan akan sesuatu setelah aku sangat bahagia bisa mengelilingi berbagai kota di Slovenia!"

Aku tersenyum manis kepadanya, "terpikirkan tentang apa, Seulgi~ah?"

Bola matanya dia arahkan ke atas, dia mengulum bibirnya, aku tahu dia sedang mencoba merangkai kata untuk dia ucapkan kepadaku.

"Aku akan mengelilingi dunia!" ujarnya sembari beralih menatapku. Barisan gigi rapinya itu terlihat ketika dia tersenyum seperti itu.

"Hmm? Berkeliling dunia?" tanyaku.

Dia mengangguk lucu, "yes! Berkeliling dunia."

"Tapi aku akan memprioritaskan Eropa Timur dulu. Kurasa di sana akan sangat menyenangkan."

Aku terkekeh menanggapinya lalu mengangguk, "semoga cita - citamu itu terlaksana, ya, Seulgi~ah," aku mengatakannya sembari mengelus rambutnya perlahan.

"Aku akan mengajakmu," ucapnya.

"Ah, agar kita bisa patungan, bukan?" candaku.

Namun, itu membuat lirikannya mendelik ke arahku, "tentu tidak, unnie!"

"Aku yang akan membayar semuanya!" tegasnya.

Aku lagi - lagi tertawa.

"Aku tahu, unnie telah dikenal oleh seluruh warga Korea. Aku tahu, unnie lah yang sudah punya lebih banyak uang dibandingkan denganku."

"Tapi, suatu saat aku akan membuktikan pada unnie bahwa aku bisa membuatmu duduk manis di pesawat kelas bisnis, menginap di hotel yang mewah, berfoto di tempat - tempat yang keren, dan mencoba semua makanan enak di seluruh dunia!"

Aku bisa melihat dia begitu bersemangat mengatakannya. Aku tak meremehkan tekadnya itu, justru aku mendukungnya. Apalagi dia berkata bahwa dia akan mengajakku di trip mengelilingi dunia itu.

Dia memandangku, begitu pun aku memandangnya. Kami saling melempar senyuman terbaik kami.

Saat itu akhir tahun 2018, dia masih seorang mahasiswa yang baru lulus dari Seoul University berusia 22 tahun dan akan segera menginjak 23 di tahun selanjutnya.

Sedangkan aku seorang aktis berusia 25 tahun yang telah mendapatkan setidaknya uang yang bisa mewujudkan cita - citanya mengelilingi Eropa Timur.

Lucu sekali rasanya ketika mengingat moment - moment indah dulu. Ketika aku juga selalu menyempatkan diriku untuk bertemu dengannya saat aku selalu disibukkan dengan jadwal syuting dan pemotretanku.

Dia tak pernah absen untuk mengabari hari - hari yang dijalaninya, membuatku juga jadi begitu nyaman untuk menceritakan hari - hari ku.

Dia begitu baik, sebuah anugrah yang seharusnya aku jaga sedari aku mengenalnya.

Namun, di dunia ini kita tak akan pernah bisa mengembalikan waktu yang telah kita lewati, bukan?

Aku tak bisa lagi kembali ke masa - masa menyenangkanku dengannya.

Kini aku hilang arah, entah apa yang harus kulakukan untuk bisa membuatnya kembali ke sisiku.

Aku teringat ucapan Yerim minggu lalu, tentang Seulgi yang katanya cepat atau lambat bisa saja pulang ke negeri ini.

Aku memandangi langit yang malam ini sepertinya sama saja seperti yang sudah Yerim lakukan kepadaku, langit sepertinya mengejekku dengan menunjukkan berbagai bintang indah sedangkan satu manusia di bumi ini sedang merasa putus asa.

Aku terlalu berpikiran negatif, ya?

Bisa saja Tuhan mengirim bintang - bintang itu agar aku merasa terhibur atas rasa sepi yang memekik ini.

Ah, namun jika memang Tuhan berniat untuk menghiburku, seharusnya Ia mengirim Seulgi kepadaku, bukan bintang - bintang nan jauh di sana itu.

Oh atau mungkin Tuhan tengah mengibaratkan Seulgi sebagai bintang?

Bintang yang tak pernah bisa kuraih saking jauh jaraknya dari tempatku berpijak? Bintang yang hanya akan bisa aku pandangi dan nikmati keindahannya.

Ini membuatku semakin takut tentang Seulgi yang mungkin saja akan kembali ke negeri ini sebagai seseorang yang berbeda nantinya.

Aku takut semua hal yang dulu indah tak akan lagi terasa sama.

Aku takut aku akan kehilangannya bahkan ketika aku sudah tak berjarak berjuta - juta mil darinya.

Aku takut kehilangan sosoknya ketika aku telah berhasil melihatnya.

Akan terasa lebih menyakitkan ketika aku bisa memandangnya, namun dia enggan membalasnya.

Saat aku bisa tersenyum manis kepadanya, namun dia malah mengalihkan pandangannya.

Saat aku bisa tertawa hangat untuknya, namun dia hanya menatapku dengan tatapan datarnya.

Saat aku bisa bertingkah lucu di hadapannya, namun dia memilih untuk mengabaikannya.

Saat aku bisa meminta pelukan darinya, namun ternyata dia menolaknya.

Saat aku bisa mengungkapkan perasaanku terhadapnya, namun ternyata bukan lagi diriku 'lah, seseorang yang dicintai olehnya.

Saat aku bisa mengungkapkan perasaanku terhadapnya, namun ternyata bukan lagi diriku 'lah, seseorang yang dicintai olehnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Someone You Loved ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang