Aku tengah beristirahat di ruanganku setelah selesai melakukan pemotretan yang bertempat di gedung agensiku sendiri.
Aku tadi sempat merasa tak bisa profesional untuk tak membawa masalah pribadiku ke tempat kerjaanku. Aku beberapa kali diingatkan untuk fokus pada pemotretanku.
Pemotretan hari ini adalah untuk majalah yang bertemakan kebahagiaan dan tentunya aku harus bergaya dengan banyak tersenyum dan seakan tertawa pada kamera.
Rasanya hari ini berat sekali untuk kulakukan karena pikiranku yang tak henti - hentinya memikirkan masalah percintaanku yang rumit ini.
Aku menghela napasku ketika Wendy kembali menelponku. Aku merasa jadi tak kuasa untuk bertemu dengannya, padahal aku sudah bertekad untuk sesegera mungkin mengatakan kejujuranku padanya.
Aku akhirnya mengangkat panggilan masuk itu, "Hai?" sapaku sesantai mungkin, seperti biasanya.
"Hai, sayang?" sahutnya.
"Kau ada di gedung agensi?" tanyanya.
Aku mengangguk walau Wendy tak melihatnya, "ya, di tempat biasa."
"Ow, oke, sekarang kau tebak aku sedang dimana..." ucapnya seperti anak kecil yang mengajak seusianya untuk bermain.
Aku terkekeh mendengar nada bicaranya, "kau sedang berjalan di tangga menuju ke ruanganku," jawabku sudah tahu kelakuannya.
"Majja!!!" serunya.
"Gemas sekali kekasihku ini," kudengar Wendy juga ikut terkekeh.
"Sttt," aku mencoba membuatnya agar lebih memelankan suaranya.
"Jangan keras - keras, nanti ada yang dengar!"
Wendy kembali tertawa dan tawanya itu sudah bisa kudengar samar di lorong. Sepertinya dia akan segera sampai.
"Tidak ada orang di sini, dan aku harap di ruanganmu juga hanya akan ada aku dan sang kekasih yang sudah kurindukan," ucapnya manis.
Aku mendengar langkah kakinya semakin mendekat, "masuklah! Dan peluk kekasih yang kau rindukan ini!" perintahku mengikuti permainan manisnya.
Aku melihat ke arah pintu yang terbuka dan menunjukan Wendy dengan baju - baju bergaris, menggunakan celana jeans hitam dan tak lupa topi hitamnya juga.
Wendy tersenyum dengan ponsel yang masih didekatkannya pada telinganya.
"Aku akan segera memeluknya dengan sangat erat!" serunya langsung menutup telpon dan berlari kecil ke arahku yang sedang duduk menatapnya.
Wendy langsung memelukku, dengan sangat erat seperti yang dikatakan olehnya.
Aku hanya bisa membalas pelukannya sembari tersenyum mendapatkan perlakuan menggemaskan darinya.
"Ah, sungguh, aku merindukanmu," ucapnya seperti sedang merajuk.
Aku mengendurkan pelukanku dan mencoba untuk melihat wajahnya yang sekarang bibirnya itu sudah mengerucut lucu.
"Beberapa hari kita tak bertemu," tambahnya.
Tangan kita masih saling memeluk, namun wajah kita berpandangan dengan jarak yang dekat.
Wendy menghela napasnya, "hmm, sebenarnya memang aku saja yang sibuk."
"Belakangan aku bukan hanya melakukan siaran radio di acaraku sendiri, tapi aku juga akan segera mempersiapkan album baruku."
Aku mengangguk - angguk mengerti, sudah tahu jadwal kerjanya.
Aku menarik topinya ke atas agar bisa lebih jelas melihat wajahnya. Namun, Wendy dengan segera membuka saja topinya dan melemparnya asal.
"Poppo~~"
Wendy memajukan bibirnya dan menutup matanya bermaksud meminta ciuman dariku.
Aku tersenyum simpul sebelum akhirnya memberikan kecupan singkat di bibinya.
Cup.
Wendy membuka matanya dengan segera ketika merasakan bibirku tak lagi di bibirnya.
"Sudah? Hanya seperti itu?" dia menautkan alisnya bingung ditambah tak terima aku hanya mengecupnya sekejap.
Aku tertawa kecil dan mengangguk.
"Sayaaang, aku merindukanmu," melasnya kembali memelukku dan menenggelamkan kepalanga di ceruk leherku.
"Cium lagi aku lebih lama," pintanya.
Aku kembali memeluknya lebih erat dibandingkan menuruti kemauannya untuk kembali kucium.
"Joohyun~ah?" panggilnya masih dalam pelukanku. Dia kalau sudah memanggilku seperti itu pasti ingin mengatakan hal yang serius.
"Ya?"
"Saranghae," ucapnya pelan, aku bisa mendengar ketulusannya dalam mengatakan kata itu.
Napasku terhenti.
"Saranghae," ucapnya sekali lagi.
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya tersadar untuk membalas perkataannya.
"Nado."
Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibirku.
Lagi - lagi aku harus berbohong.
Ternyata aku memang sepengecut ini. Aku tak bisa membiarkan Wendy merasa sakit hati kalau aku tak membalas pengakuannya itu.
"Nado saranghae, Seungwan~ah," aku berucap pelan.
Air mataku bahkan hampir menetes kalau saja tak aku tahan. Aku mencoba menutupi kesedihanku dengan senyuman manis yang sudah kuperlihatkan padanya.
Dia menatapku dari bawah dan membalas senyumanku.
"Kau cantik, kenapa kau cantik setiap saat?" tanyanya lalu membelai pipiku.
"Aku tak bisa menahannya," ucapnya membuatku menatapnya heran.
"Biarkan aku menciummu sekali lagi hari ini."
Setelah dia mengatakan hal itu, bibir kami sekali lagi bertautan. Dia menciumku seperti biasa, penuh dengan rasa cinta.
Kumulai menutup mataku dan merasakan ciumannya.
Aku mencoba menyeimbangi permainan bibirnya, membalas ciumannya dengan sisa - sisa perasaanku untuknya.
Rasanya semakin sulit untuk mengatakan "Seungwan, aku merindukan Seulgi."
"Seungwan, kukira aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada Seulgi."
"Seungwan, maafkan aku, kita harus mengakhiri hubungan ini."
Mengingat perlakuannya yang begitu manis, sesekali terkadang dia juga berhasil membuat kupu - kupu berterbangan lagi di perutku, atau rona merah yang bersemu di kedua pipiku.
Hari ini, Tuhan. Kukira hanya untuk hari ini aku menghabiskan waktuku lagi dengannya.
Beri aku keberanian untuk mengatakan hal yang sejujurnya padanya. Berikan pula dia ketegaran atas pengakuanku yang akan menyakitinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone You Loved ✓
Fanfikce[Heather Sequel] i was getting kinda used to being someone you loved. Someone You Loved cr 2021 saturnmoon_SR.