Manis - Al

36 4 2
                                    

Story by Gibranal_

Manis

Dia manis, untuk aku yang pahit. Konyol sekali pemikiran itu. Taring tajam milik jam di dinding sudah mulai bergerak kembali, sedangkan aku masih terpaku pada satu posisi yang sama. Tidak sama sekali bergerak atau mengubah posisi. Kaku dalam keadaan normal, mungkin begitulah. Namun, aku sama sekali tidak mengira bahwa di detik waktu ke depan, sosoknya akan muncul dengan raut wajah riang. Senyum manis yang selalu menjadi penyejuk hati, wajah lugu yang menjadi pemicu diri untuk terus memiliki. Sepertinya, aku akan menjadi laki-laki paling beruntung di dunia ini jika saja dia jodohku. Semoga. Semoga Tuhan mengubah jodohku dan mentakdirkan aku bersamanya.

"Calz, kamu sedang memperhatikan apa? Apa di wajahku ada kotoran?" Dia mengusap wajahnya, beberapa detik kemudian mengorek isi dalam tas yang ia bawa untuk mengambil sesuatu. Biar kutebak, dia pasti hendak mengambil kaca. Terus kupandang, tanpa mau menoleh ke sisi lain semenit saja. Aku sangat menyukai pemandangan di depanku. Seperti tengah menyaksikan sosok yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku. Pemikiran ini terlampau jauh sekali, ya. Tidak apa berkhayal tinggi, untuk saat ini. "Bagus, tidak ada yang salah dengan wajahku." Dia menoleh menatapku dengan tatapan tajam, lucu sekali. "Kamu melihat apa? Kenapa melihat diriku seperti itu?"

"Sayang kalau dilewatkan."

Dia terdiam, wajahnya bingung, tiba-tiba sebuah rona merah terpajang di wajahnya. "A-apa yang dilewatkan?"

Aku menopang dagu di meja yang tersedia di depanku. Meja ini sudah kosong, tetapi belum dipindahkan oleh suster, sebab aku yang meminta untuk tetap di sini. "Wajahmu." Aku berkata dengan suara biasa saja, tidak kecil atau besar, tetapi gadisku sudah terkejut hingga melangkah mundur. Wajahnya yang malu-malu seperti itu membuatku gemas. Aku tertawa kecil tatkala gadisku sudah membuang muka, menggaruk tekuk leher yang aku yakini tidak gatal, dan berusaha mencari ide untuk mengubah topik pembicaraan ini. Karena aku tahu dia tengah kesulitan untuk menetralisasi diri sendiri, akhirnya aku kembali bersuara, "Kamu membawa apa?"

Detik itu, dia menghela napas. "Calz bodoh." Suaranya kecil sekali. Sangat kecil sampai-sampai aku tidak dapat mendengarnya jika posisi kami tidak dalam jarak dekat. Dia meletakkan sebuah plastik berisikan sesuatu di meja yang ada di hadapanku. "Aku membawakanmu dessert. Kue dan beberapa makanan manis lain. Dokter berkata kamu sudah cukup sehat setelah operasi, dan kamu juga sudah boleh memakan hal lain, seperti yang manis ini. Jadi ... aku bawakan untukmu, dari toko kue Ibuku." Setelah berkata seperti itu, dia mendaratkan bokong di kursi yang tersedia. Aku tersenyum sembari memperhatikan plastik berisi kue di depanku. "Makanlah, aku akan menunggumu."

Aku mengernyit. "Tidak mau."

Mendadak dia bangkit. "E-eh? Kenapa? Dokter berkata kamu sudah sehat, kok. Beberapa hari lagi pun sudah boleh pulang. Lalu apa alasannya?" Dia mendekatkan diri, membuka plastik itu dan mengeluarkan semua isinya. "Lihat. Bukankah sangat lezat sekali?"

Aku memang tergiur dengan kue-kue yang ia bawakan. Namun, aku sedikit ingin menggodanya sekali lagi. Tidak. Sebenarnya aku suka menggodanya berkali-kali, sebab ekspresi wajahnya sangat memuaskan, membuat aku tertawa. "Duduk di depanku, Pia."

Sejak dia datang, aku memang belum menyebutkan namanya. Pia, gadisku. Singkatnya seperti itu. Pia tersenyum tipis, menatapku dengan tatapan tidak jelas. "Kamu selalu saja seperti ini. Baiklah, baiklah. Aku duduk, ya." Aku menyilangkan kaki tatkala ia naik ke atas kasur, duduk di hadapanku. Meja menjadi pemisah di antara kami. "Kamu mau makan yang mana dulu?"

"Karena aku adalah laki-laki baik. Aku ingin kamu yang memilih untukmu."

"Kenapa harus aku?"

"Karena apa pun pilihanmu, pasti yang terbaik untukku."

Pia tertawa kecil. "Kalau aku memilih kue yang beracun, apa kamu akan tetap memakannya?"

Aku menganggukkan kepala. "Tidak apa. Asalkan kamu yang memilih untukku."

Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di pipiku. Aku hampir lupa, Pia itu adalah gadis yang tidak bisa diam tatkala tertawa. Pasti tangannya terbang melayang ke mana-mana. Tawanya membuatku ingin memilikinya, selamanya, hanya untukku, satu-satunya. "Sudahlah, Calz. Kita harus segera menghabiskan kue-kue ini, sebentar lagi dokter akan datang memeriksa kondisimu lagi."

"Apakah aku sudah boleh pulang sekarang?"

Dia menggeleng kecil. "Belum. Kamu masih harus berada di sini beberapa hari lagi sampai waktu yang sudah ditentukan."

"Namun, aku sudah bosan di sini, Pia."

"Kan ada aku. Aku akan selalu menemanimu." Dia menyodorkan satu kue untukku. Tentu saja dengan cepat aku membuka mulut, membuatnya terdiam. "Kenapa kamu membuka mulut?"

"Kamu menyuapkan aku." Lagi-lagi gadis ini tertawa, tetapi dia tetap melakukannya. Menit-menit waktu telah berlalu, sedangkan kami masih dalam satu posisi yang sama. Bercengkrama dengan penuh kasih.

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang