Shubu dan Lail - Aisyah

7 1 0
                                    

"Sekali lagi, Tuan Putri!"

"JaShubu dan Lail nji?"

"Iya!" Kulihat Lail---kekasihku mulai berpose, dengan jemarinya yang lentik nan indah, seakan memegang wajahnya dari kejauhan. Mata teduhnya menatap langit, seperti tengah berbincang kepada Tuhan.

"Yap!" Jepretan terakhir untuk hari ini. Aku mulai melihat hasil foto-fotonya sekarang. Tidak ada yang gagal. Semuanya memesona. Dia cocok dengan semua gaya. Atau bahkan, tidak bergaya sekalipun. Cantik, sangat cantik.

Aku menemuinya di tempat kita menggelar tikar tadi, rencana piknik berdua dengan semilir angin yang menjadi kawan kami tadi, juga kicauan burung yang kerap datang sebagai tamu, berlangsung hikmat. Terlebih saat dia mulai memetik gitar, menunjukkan kepiawaiannya dihadapanku.

"Shubu? Kau di mana?" Aku melihat dia celingukan mencariku, tertawa sebentar, lantas menemuinya. Kugenggam erat jemarinya.

"Aku di sini." Dia langsung memelukku, bisa kudengar bahwa jatungnya berkata, "Shubu, jangan pernah meninggalkanku." Aku tahu, itu bukan ucapan, namun perintah. Dan aku dengan sangat suci hati menjalankan perintah itu.

* 'namun' tidak untuk di tengah kalimat, tetapi untuk awal kalimat
'dan' tidak untuk digunakan di awal kalimat

Dia melepaskan pelukannya dan meraba-raba. "Boleh aku minta jeruk?"

Aku tersenyum lagi. "Bahkan jika kau minta dunia, akan aku berikan," ucapku seraya memberinya satu buah jeruk. Buah kesukaannya.

"Asal aja kalau bicara. Bagaimana bisa seseorang memberikan dunia, kalau posisinya hanya sebagai penghuni?"

Dia seluruhnya benar. "Kuciptakan duniaku sendiri."

Dia tidak membalas. Hanya tersenyum, kemudian kembali berbincang dengan semilir angin, tampak manis sekali. Tidak terasa, sepenggal hari sudah kita lewati dengan bibit cinta yang terus menerus menyeruak mekar dalam masing-masing kalbu. Aku sangat mencintainya---Lail.

"Shubu, ayo pulang." Dia mulai memberesi buah-buahan yang terlanjur berantakan karena dirinya sendiri. Memilah jeruk yang menurutnya manis, atau karena membedakannya dengan apel atau pir.

Sepuluh menit, aku dan Lail berjalan diantara rumput ilalang yang meninggi, tubuh kita terlihat separuh dari kejauhan. Kameraku setia bertengger di leherku, sesekali kuambil saat melihat objek foto yang menakjubkan. Salah satunya adalah dambaan, pujaan, atau, apa saja aku memanggilnya. Kekasihku, Lail.

Tangannya setia merangkul diriku, tak memberiku ruang untuk sekadar bergeser darinya. Aku tahu, dia sangat takut kehilangan diriku.

"Sudah?"

"Iya." Kupastikan dia duduk dengan nyaman dimobil tua yang terlampau indah kumodifikasi beberapa hari lalu. Berwarna abu-abu sesuai kesukaan Lail, dengan sedikit goresan warna hitam, pun kesukaannya.

Kami menuju rumah Lail dengan gembira. Situasai seperti ini memang sangat menyenangkan.

Soal Lail, aku dan dirinya sudah bersama-sama selama empat tahun. Matanya yang teduh adalah pertama kali yang kucintai, melihat bibirnya yang selalu tersenyum adalah yang kucintai berikutnya. Sampai pada suatu hari aku mencintainya dengan semua yang ada pada dirinya, hingga apapun yang dia benci sekalipun. Lail, sosok wanita yang kerap datang ke kosanku demi memotretku saat aku tertidur hingga siang hari karena begadang mengerjakan tugas, atau memotretku saat sedang marah kepadanya. Dia sangat iseng, ceria, dan pemarah. Tetapi dia sangat lugu. Memotret adalah kesukaannya sejak kelas enam SD, objek yang paling dia suka adalah diriku, bermula saat---dia dan aku resmi berpacaran bertepatan memasuki semester dua kami kuliah.

* Apa pun, dipisah

Tak beruntung, hal yang pertama kali kucintai dari dirinya direnggut oleh keadaan. Dia tertabrak demi menyelamatkan diriku dua tahun lalu. Tubuhnya yang ringan terbawa udara hingga jauh dan tertabrak dengan mobil lain. Dia harus merelakan salah satu pemberian Tuhan untuknya. Ya, dia buta.

Kuliahnya terhenti saat itu juga. Biru dan ungu hilang dari daftar warna yang dirinya sukai. Kue redvelvet yang merupakan favoritnya juga dia hempas jauh-jauh. Buram, hitam, dan legam. Dirinya saat itu. Aku tak pernah kehabisan ide untuk membuatnya tertawa lagi. Meski banyak insan disekitarku yang menyuruhku untuk meninggalkanya, takku gubris satupun.

Bagiku, penglihatannya adalah satu dari yang kucintai. Meski dia tak dapat melihatku, nyatanya, matanya masih di sana. Aku masih terlihat dalam mata hatinya. Aku mencintainya selalu melebihi yang orang lain ketahui. Bahkan aku mencintainya lebih dari yang Lail rasakan.

Meski kerap dia tidak percaya diri, bahkan  memintaku 'tuk pergi darinya, sekuat apapun, aku tak akan beranjak dari tempatku berdiri. Dia adalah sosok yang kucintai, dan akan selamanya begitu. Dia adalah Tuan Putri, dan hanya dialah yang pantas disampingku.

Bumi tak layak membuatnya jauh dariku. Angin tak berhak memisahkanku dengan kekasihku. Langkah pun tak mampu membuatnya pergi dariku. Kita adalah sepasang ikal yang takkan pernah lepas. Aku mencintainya. Hanya dirinya, Lail.

Maka jika aku Shubu, dialah Lailku.

adzillinaa

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang