A story by : Is_isss
Aku melihatnya menangis, duduk terdiam memeluk lutut sendiri, pilu sekali isakannya. Lihatlah betapa menyedihkannya gadis Itu. "Aku kenapa?" Diam. "Aku tak apa." Gadis itu tersenyum.
Gaduh sekali. Pekak telingaku di rasa, dan mereka tak peduli. Aku benamkan wajahku pada lipatan tangan di atas meja kayu yang penuh coretan ini. Aku sama seperti mereka. Seragamku sama, gedung sekolah sama, guru dan SPP pun sama, tapi kenapa aku berbeda?.
"Tidak perlu masuk universitas, masuk pabrik jauh lebih di untung, tidak usah terlalu menyusahkan keluarga, kamu cepat hasilkan uang agar ekonomi keluarga ini cepat membaik."
Begitulah kira-kira wejangan yang berikan kakak sulung ku beberapa hari silam.
"Sepeninggal Ayah, ekonomi kita semakin menurun, kamu jangan membuat susah keluarga ini!"
Mataku memanas, nyeri dada ini. "Tapi dengan aku masuk universitas dan mendapatkan gelar, aku akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi pula jika dibandingkan harus bekerja di pabrik." Sebuah bentuk kesungguhan hati untuk dapat melanjutkan pendidikan dan meraih impian.
"Pekerjaan sebagai seorang penerjemah? Apa kau yakin itu akan berhasil dan menghasilkan banyak uang? Sudahlah tidak perlu terlalu banyak bermimpi, jalani saja apa yang memang seharusnya kau jalani!"
Suara mereka semakin bising saja. Aku ingin marah, menangis, dan entahlah aku tak tahu lagi harus apa. Aku dongakkan kepalaku untuk melihat sekitar. 3 tahun sudah aku bersama mereka. Mereka sibuk berlalu lalang mengumumkan universitas yang mereka inginkan. Suara mereka memuakkan. Antusias mereka menyebalkan. Aku cemburu pada kehidupan mereka yang bisa melanjutkan pendidikan.
"Kenapa diam saja? Universitas mana yang akan di ambil oleh si juara kelas?" Ku tolehkan wajahku untuk melihat siapa yang berbicara. Dia Citra. Teman satu kelas ku, penyandang gelar wanita tercantik di kelas. Malas menjawab. Isi kepalaku masih penuh akan keputusan kakak tentang kelanjutan masa depanku.
Tiba-tiba seorang guru masuk begitu saja, atau mungkin aku yang tak mendengarnya?
"Sudah di putuskan PTN mana?" Kalimat singkat itu langsung terlontar dari mulut sang guru.
Pertanyaan yang mudah, namun sulit untuk ku jawab. Sekali tak bisa menjawab, tidak akan menurunkan reputasiku sebagai juara kelas. Kembali ku pasang telinga, mereka semua menjawab dengan kata dan nada yang sama. "Sudah." Begitulah.
Satu persatu murid menghampiri guru tersebut. "Kanaya Laraswati."
Akhirnya, itu namaku. Jantungku berdetak cepat. Bukan grogi atau malu, tapi aku tak tahu. Aku pun duduk di kursi kayu yang sama dengan kursi lain di ruangan gaduh ini, "jadi PTN mana, Kanaya?"
"Saya. Tidak."
"Apa?"
"Tidak memilih universitas manapun."
"Kamu juara umum di sekolah ini, sayang sekali jika tidak di teruskan." Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum pahit, sakit sekali rasanya. "Ya sudah, duduklah!"
***
Pepohonan rindang, jalan berbatu, dan angin yang menyentuh diri. Nampak sebuah rumah bertembok hijau, beratap bocor, dengan kakak sulungku dan petikan gitarnya di halaman rumah tersebut. Mau tidak mau kakiku harus mendekatinya. "Jadi kapan pelulusannya?" Sekatika kakiku berhenti, mataku menyipit tidak suka kearahnya, dan lalu berjalan dengan perasaan kecewa.
Kembali ku lihat gadis itu, sedang menangis, duduk terdiam memeluk lutut sendiri, pilu sekali isakannya. Lihatlah betapa menyedihkannya gadis Itu, "aku kenapa?" diam. "Aku tak apa," gadis itu tersenyum.
Aku bangkit dari dudukku, gadis itu mengikutiku dan tersenyum, aku juga tengah tersenyum, ku lihat gadis itu nampak sepertiku, lengkap dengan pakaian sekolahku. Ku dekati ia, berada tepat di depan mataku, ku buka lemari pakaian dengan kaca besar itu. Gadis itu menghilang.
Satu tahun. Barisan buku dengan judul yang sama mengantri rapi untuk ku tanda tangani. Kanaya L. Begitulah kira kira nama penulis yang tertera di buku tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Short StoryKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa