A story by :: NitaFitriana1
•••
Aku berjalan pelan sambil menatap pemandangan di sisi kiri dan kanan. Tangan kiriku memegang keranjang berisi bunga tabur dan sebotol air.
Tak lama aku tiba di gerbang sebuah pemakaman. Tanpa ragu aku masuk. Beruntung, makam yang kucari tak jauh dari pintu gerbang.
Aku duduk sendiri di dekat makamnya. Tangan kananku menaburkan bunga dan air di atas gundukan tanah yang dikelilingi keramik. Tanpa bisa ditahan cairan bening lolos begitu saja dari kelopak mata, membasahi pipi tanpa henti, bak air sungai yang tidak ada habisnya.
Kuelus nisan makam tersebut. Nama Shofy Januar terukir dengan tulisan warna hitam, sangat kontras dengan nisannya yang putih.
Kejadian itu sudah berlalu tujuh tahun yang lalu. Namun, rasanya seperti baru terjadi kemarin. Sakitnya masih kurasakan dengan jelas. Perihnya masih mengiris hati sampai sekarang. Dan rasa kehilangan masih memenuhi seluruh jiwa. Bagaimana tidak? Aku kehilangan belahan jiwa yang sudah melindungiku bertahun-tahun. Bahkan dia lah yang menemaniku tumbuh dewasa karena orang tua sibuk bekerja.
Sampai kapan pun dia tidak akan pernah terganti. Kasih sayangnya yang lembut mirip seorang ibu, menjaga seperti seorang ayah, teman cerita layaknya sahabat, pengertian sebagai kakak dan perhatian lebih dari seorang kekasih. Satu orang yang memerankan banyak sosok dalam hidupku. Maka, begitu aku kehilangannya dulu, aku benar-benar hancur. Terlebih itu semua karenaku. Dia yang rela berkorban nyawa untukku.
Kejadian itu ... kejadian mengerikkan yang selalu terputar dalam benak bagai roll film yang terputar. Bahkan hampir tiap malam aku memimpikannya, membuatku enggan untuk menutup mata kala malam datang. Obat tidur pun tak membantu banyak.
Aku menunduk. Air mata kian deras mengalir tanpa bisa kubendung. Ingin melupakan tapi tak pernah bisa. Ingin mengikhlaskan namun begitu sulit. Rasa bersalah menyelimuti hati. Andai saja ... andai saja saat itu dia tidak menyelamatkanku. Andai saja dulu aku tidak memintanya mengantarku, mungkin ... mungkin sekarang dia masih di sini. Atau mungkin posisi kita akan berbalik. Memang seharusnya aku lah yang terkubur di sana. Bukan dia.
Aku menutup telinga dengan kedua tangan saat bunyi klakson terdengar nyaring, padahal ini masih di pemakaman. Namun, suara itu sangat jelas. Bayang-bayang kejadian itu kembali terputar di depan mata.
"Kak, anter ke rumah temen. Mau kerja kelompok," ajakku padanya.
Dapat kulihat senyum hangat selalu terkulam menghiasi wajah tampannya. Dia mengusak poniku dengan sayang lalu mengangguk. Pria jangkung itu meraih kunci motor, menyuruhku untuk bergegas. Kami pun berangkat. Seperti biasa aku melingkarkan tanganku di pinggangnya agar tidak jatuh, mengingat gayanya yang membawa motor layaknya Valentino Rossi.
Tak sengaja motornya menghantam batu kecil. Membuat kami oleng dan jatuh. Tubuhnya jatuh ke pinggir jalan cukup jauh dari motor. Sedangkan aku terduduk di tengah jalan dengan kaki yang tertimpa body motor. Aku sudah berusaha untuk bangun dan menyingkirkan motor sialan itu. Namun beratnya bukan main.
Beruntung keadaan jalan di sini memang selalu sepi. Posisiku ada di tengah jalan sesudah tikungan sekaligus tanjankan.
Dia mendekat dengan raut wajah panik sambil bertanya tentang keadaanku. Kedua tangannya sigap mengangkat motor yang menghimpit kakiku. Tiba-tiba saja dia mendorong tubuhku dengan kasar ke pinggir jalan, membuatku tersungkur dan menabrak pembatas jalan.
Lalu terdengar suara klakson yang memekakkan telinga disusul bunyi brakkk yang keras disertai krasak kerusuk benda yang bergesekan dengan aspal.
Begitu menoleh aku melihat tubuhnya sudah tergeletak dengan darah di mana-mana. Motor metik miliknya hancur dan ada sebuah truk kuning berhenti tak jauh dari posisinya.
Apa yang baru saja terjadi?
Aku terduduk dengan tubuh yang bergetar hebat. Bahkan aku tidak tau sejak kapan air mataku mengalir. Ingin bergerak menghampiri, tapi tak mampu berdiri. Kakiku lemas, seakan tidak ada tulang di sana.
Aku mendengar beberapa motor mendekat dan berhenti. Seseorang mengguncang bahuku, namun pikiranku masih melayang.
"Nit, Nita! Hei, sadar!" ucapnya terdengar samar di telinga.
Aku menoleh dan terisak kencang sambil menunjuk ke arah kakakku dengan tangan bergetar. Dia langsung merengkuh tubuhku ke dalam dekapannya sambil mengusap-usap punggungku.
"Kak Shofy Ky ... hiks ... Kak Shofy ... hiks ... Kak Shofy ... " racauku dalam dekapannya.
Pelukannya kian mengerat. Dapat kudengar jika dia pun terisak. Tak lama suasana berubah ramai.
"Maaf, Kak ... hiks ... maafin Nit. Gara-gara Nit, Kakak kaya gini." Aku terisak sambil memeluk nisannya.
Rasa bersalah masih memenuhi hati sampai sekarang, bahkan mungkin ... selamanya.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Short StoryKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa