Seperti biasanya, Aretha, tengah terduduk di bawah pohon rindang yang tempatnya di pinggir lapangan sekolah. Sedari tadi ia hanya menatap kosong ke depan tanpa adanya objek khusus, sedang tangan kanannya mengayunkan botol air mineral ke sembarang arah.
Ia mencoba mengacuhkan teman-teman sekelasnya yang memintanya untuk istirahat makan siang di kantin. Bohong kalau ia mengatakan bahwa ia tidak lapar, perutnya saja sudah bergemuruh sedari pagi.
"Nih." Suara bariton yang sangat ia kenal kini terdengar lagi. Aretha pun menoleh berusaha memastikan panggilan itu untuknya atau bukan.
Sebungkus batagor dengan berlimpah saus kacang di atasnya menjadi pusat perhatian Aretha. Bagaimana tidak? Makanan itu kini tepat berada di depan hidungnya. Ah, tidak. Sebenarnya bukan itu pusat perhatiannya, melainkan si pemberi batagor itu.
"Aku beliin. Katanya kamu suka." Pemuda berkemeja putih dan bercelana olahraga dari sekolahnya itu menggaruk tengkuknya. Meski peluh mengalir deras dari pelipisnya, aura khas pemuda itu masih belum lekang.
Tanpa ragu Aretha mengulurkan tangannya menerima makanan itu, tak lupa senyum lembut yang menghiasi wajahnya. Diberi makanan saat lapar dan malas bergerak menjadi sebuah keberuntungan baginya. "Terima kasih, Arden!"
Arden balas tersenyum, ia mengambil duduk di dekat Aretha yang tengah bersandar di pohon rindang itu. Tangannya bergerak melepas kancing kemejanya berurutan dari atas, dan nampaklah kaus olahraga yang kini sedang ia kibas-kibaskan. Kulit pemuda itu terlihat agak menghitam, mungkin karena terlalu lama berada di bawah matahari.
Rambut yang dulunya lurus berubah menjadi bergelombang, tampak serasi dengan mata sipit dengan iris kecoklatan miliknya, hidung elangnya, juga tahi lalat di pipi kirinya. Arden bilang, dia mirip seorang personel boygroup yang sedang naik daun belakangan ini, dan itu memang benar.
Gigi Aretha mencabik ujung plastik makanan pemberian Arden lalu memakan isinya. "Gimana geladi resiknya? Susah?"
Yang ditanya berpura-pura berpikir lalu menjawab, "Yah, kamu tau aku udah profesional, 'kan? Jadi ... kalau cuman segitu ya gak ada apa-apanya."
Aretha mendengus lalu memutar bola matanya, seringkali ia mendengar penuturan dari Arden itu. Yah, empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal bagi mereka.
(Dengus untuk hewan. Dengkus untuk manusia)
Perlombaan paskibra sudah di depan mata, jadi tidak ada lagi main-main bagi Arden dan teman-teman paskibra nya. Yah, ini hari terakhir mereka latihan sebelum lomba.
"Untung aku gak jadi masuk paskibra, ngeliat latihannya aja udah capek, apalagi ngerasain beneran." Aretha memasukkan lagi beberapa batagor ke dalam mulutnya lalu membuang bungkusnya.
Arden mengulum senyumnya lalu menatap langit yang menurutnya sudah semakin panas lantaran sang mentari. "Yah, kalau kamu masuk beneran nanti aku yang ajarin."
Entahlah sudah berapa kali pipi Aretha terasa memanas akibat perkataan Arden, ia merasa beruntung memiliki kulit yang agak gelap dan berguna untuk menutupi wajahnya yang mungkin memerah.
"Kamu haus, gak? Mau beli es jeruk di gerbang?" tanya Aretha, ia mencoba untuk merubah topik pembicaraannya. Sementara itu Arden menatapnya seraya berpikir sejenak.
"Boleh, tuh!" Arden menyampirkan kemejanya di bahu kanannya lalu berdiri sambil menepuk-nepuk bokongnya mencoba untuk menghilangkan debu yang menempel di sana. "Eh, Tha. Aku minta air kamu, dong! Dikit aja."
Aretha yang posisinya baru saja berdiri langsung memberikan botol airnya. Tentu saja Arden langsung meraihnya, lantas membuka tutupnya lalu meminumnya.
"Ih, Arden! Kenapa gak di tenggak?! Jorok tau!" Kakinya mengentakkan kaki pada tanah yang tidak bersalah sedangkan bibirnya mengerucut. "Udah, buang aja, sana!"
Si gadis berbalik meninggalkan Arden sambil sesekali menjejakkan kakinya. Terlalu terbawa oleh suasana, Aretha tak menyadari ada benda bulat berwarna jingga melayang menuju ke arahnya.
"Aretha awas!"
Begitu teriakkan dari orang-orang di lapangan terdengar, Aretha sontak menghalangi kepalanya dengan kedua lengannya tanpa melihat apa sebab mereka berteriak.
Tak lama, suara riuh dari teriakkan histeris berubah menjadi pekikan gemas dan bisik-bisik. Aretha juga tak merasakan apapun di tubuhnya, lantaran penasaran ia mengintip di balik celah lengannya.
Ia melihat Arden tengah merentangkan kedua tangannya sambil menghadap ke arahnya, mulutnya terbuka mencoba menahan sakit yang berasal dari punggungnya, tapi wajahnya tak menampakkan bahwa ia kesakitan.
"Kamu ... gak apa-apa, 'kan?" tanya Arden dengan tatapan teduhnya juga napasnya yang tersengal-sengal.
Aretha mengangguk mantap sembari tersenyum manis. "Sekali lagi, terima kasih, Arden! Ayo, aku traktir es jeruk!"
Bagi Aretha, memiliki Arden di hidupnya sudah menjadi sebuah keberuntungan yang ia miliki. Tentang apa status mereka ... hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
![](https://img.wattpad.com/cover/222941691-288-k488759.jpg)