Si Gemuk
Gemuk. Apa artinya? Dalam benak pasti terbesit, gemuk identik dengan buruk. Sesuatu yang tidak diinginkan. Kurang disukai, dan tidak banyak yang ingin menjadi gemuk. Ya, itu yang kupikirkan saat pertama kali melihatnya. Si gemuk.
Dia lebih tinggi 5 cm dariku. Badannya cukup besar memenuhi kursi. Lehernya hampir tidak kelihatan. Tapi, lihatlah. Kulitnya putih mulus, bersih. Pakaiannya sangat sopan, dan duduk manis. Dan senyumnya. Ah, mataku tidak bisa menjaganya. Tidak, aku tidak menyebutnya tampan. Hanya saja dia terlihat manis di mataku. Seperti saat melihat anak kecil. Gemas.
“Dek,” bisik ibu, membuyarkan lamunanku. “beli bakso sama sate buat mas Dimas,” bisik ibu dari dekat, aku menghampirinya. Sedari tadi, aku duduk di samping bapak. Sibuk berbicara dengan Si Gemuk. Ah, mas Dimas namanya.
(Dalam POV 1. Kata sapaan ibu, ayah, dll, harus kapital)
“Adek pergi dulu ya,” aku menunduk sopan. Berbicara dengan keduanya. Mas Dimas memang datang sendiri. Alasannya? Yah, begitulah. Sate dan bakso menu andalan ibu kalau ada tamu. Tidak jauh dari rumah, langkah kaki saja cukup. Dua puluh menit, belanja sesuai permintaan ibu.
Hatiku tidak karuan, mencoba setenang mungkin. Kembali duduk di sebelah bapak, ruang tamu itu lenggang. Ibu sibuk dengan sate dan baksonya. “Tadi berangkat jam berapa, Mas?” tanyaku memecah suasana.
“Ah, tadi dari Semarang sekitar jam delapan.” Jawabnya sopan, menunduk. Ada hal yang membuatku kagum, dia selalu menjaga sikapnya. Menatap mataku saja tidak berani, bukan karna takut. Tapi karena dia tahu adapnya. Aku menjawab singkat, bapak melanjutkan kembali topiknya. Dimas, itu nama laki-laki pertama kali yang berani masuk kerumahku. Bukan sekedar masuk, bahkan membawa misi penting. Sangat penting sekali. Ini ketiga kalinya dia datang ke rumah. Mas Dimas ini hidup dilingkungan yang agamis, keluarga yang baik. Prestasi, dan pencapaiannya juga sangat baik. Sama sepertiku, terkurung enam tahun di penjara suci.
Ama. Yah, itu namaku. Perkenalan yang kurang asyik memang. Hambar, biasa saja. Ah tidak apa, ikuti saja alurnya. Sebulan lalu, jawaban yang selalu kutanyakan datang. Umur sudah mencukupi, mental sudah siap, dan susah memenuhi syarat. Tunggu apa lagi? Kata bapak.
“Bapak mau minta kopi dulu,” sahut bapak. Meninggalkan kami. Kami? Ingin rasanya berteriak, kebanting. Bapak “sengaja”. Selama ini aku dan mas Dimas belum pernah berbicara berdua sperti ini. Bahkan saat pertama kali bertemu, hanya berkenalan membahas kerja sama pekerjaan. Ah, tidak ini tentang pekerjaan.
(Kata 'mas' kalau diikuti nama orang pakai kapital)
“Canggung ya dek,” Mas Dimas tersenyum kikuk. Orang ini jujur sekali. Itu membuatku sedikit tertawa. Pendahuluan yang unik.
“Hehe, iya Mas.” Entah aku memanggilnya mas (kakak) atau Dimas.
Aku mencomot topik sembarangan, siapa sangka kami cocok sekali. Yah kisahku sesederhana itu, tiba-tiba dapet jodoh. Enam tahun aku bersekolah khuhus perempuan, jauh dari laki-laki seumuran. Canggung sekali rasanya. Bahkan pernah, menganggap risih pada laki-laki. Tapi, namanya juga makin dewasa semua berjalan semestinya. Mas Dimas memiliki latar yang sama, dan semuanya berawal dari ajakan kerja sama.
Dan sekarang aku sedang memeluk kumpulan lemaknya itu. Eh?
(Dan, tidak untuk awal kalimat)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Historia CortaKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa