story by Puti

10 1 0
                                    

Haaah... Aku menghembuskan napas pelan. Membasahi bibirku yang terasa kering. Rasanya dadaku berdebar begitu keras dari waktu ke waktu. Apakah aku harus mengucapkan sesuatu kepadanya nanti? Entahlah, yang kutahu saat ini, aku merindukannya...

"LIA!!!" Seseorang berteriak penuh semangat ke arahku. Aku menoleh, mataku membulat. Belum sempat kubalas sapannya. Cowok itu telah lebih dulu menubrukkkan tubuhnya dalam pelukanku. Aku tersenyum, teringat masa lalu.

Namanya Rei. Cowok dari kelas sebelah yang kusukai dan kukagumi. Walaupun tidak sekelas, bukan berarti aku tak pernah bertemu dengannya.
Di kantin, di Perpus, di lapangan, di gerbang depan sekolah, di Unit Kesehatan Sekolah dan bahkan di koridor sekolah. Aku selalu berpas-pasan dengannya. Selalu...

Dia sering sekali berada di Perpustakaan, duduk di pojokan. Kami tak pernah saling bertegur sapa, hanya bertatapan sekilas itupun sesekali dan secara tak sengaja. Hingga...

Hujan. Pagi itu hujan turun dengan deras, aku merutuki diri sendiri karena lupa membawa paying. Di saat lagi pasrah-pasrahnya. Seorang, bak pahlawan dalam cerita-cerita superhero, datang dan menyapaku.

"Hai. Dari SMA 3, ya?" Tanyanya membuka pembicaraan. Sebagai balasannya aku mengangguk tipis. Ia menyodorkan sebuah payung padaku. "Pakailah."
Alisku terangkat, menggeleng kuat. Tetapi ia tetap memaksa memberikan payung tersebut ke padaku kemudian berjalan santai menerobos hujan. Tersenyum teduh.

"Jangan khawatir. Sampai ketemu di sekolah."

Sesudahnya, entah mengapa, wajahku tiba-tiba memerah. Rasa aneh menggelayuti dadaku. Dan sehari setelah kejadian itu, ia terkena demam. Atas rasa terimakasih sekaligus bersalah, aku memberinya sekeranjang buah sekaligus memang berniat untuk mengembalikan payung miliknya, saat ia sudah masuk sekolah.

Karena kejadian itu, aku jadi sering bertatapan dengannya. Rasanya... Hangat sekali melihat senyum yang terpancar dari wajahnya. Aku, jadi gila karenanya. Setiap hari yang kulalui, entah mengapa aku selalu memikirkannya dan ingin melihatnya, walau hanya sedetik. Ketika berpas-pasan. Aku jadi lebih sering meliriknya ketika di Perpustakaan. Melihat wajah seriusnya ketika membaca.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya, kami saling bertukar kontak dan media sosial. Kami jadi semakin dekat, ditambah karena kami saling nyambung satu sama lain. Di hari kelulusan, ia menyatakan perasaannya padaku...

"Lia, bangun..." Rei berbisik pelan, membangunkanku. Aku mengucek-ngucek mata sekilas.

"Hem... Nanti saja." Balasku masih mengantuk. Rei tertawa kecil, membiarkanku bersandar di bahunya. Rei tak bersuara lagi selama perjalanan di kereta. Hanya saja, aku dapat merasakan bahwa ia menyenderkan kepalanya padaku. Ikut tidur bersama...

Kritik : masih salah dalam menggunakan elipsis dan dialog tag

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang