Story by beeghu_
Meniadakan Tiada
Ruang kosong dalam kepala seketika terisi penuh akan benang merah yang kusut, aku tak mengerti benang itu ingin menunjukkan tentang hal apa, aku tak mengerti informasi apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh benang itu. Mengapa benang itu kusut? Apakah itu ulah Dia yang tak ingin insan-Nya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi atau apakah benang itu ingin meniru bentuk otak yang tak beraturan? Sebegitukah cerdasnya benang merah itu?
Benang merah muncul ketika kepala berkutat dengan kenyataan hingga timbul disharoni, lalu disharoni memunculkan pihak lainnya: pertanyaan---pertanyaan atas semua ketidaklarasan yang terjadi di dalam kehidupan. Apakah benang itu kusut atas bentrokan paksa si pertanyaan yang terus tercetak?
Salah satu pertanyaanku: dari sekian jiwa yang ada di buana, mengapa masih banyak jiwa yang hampa? Mengapa masih banyak insan yang kesenyapan?
Lihatlah, bahkan ketika desir ombak ingin membungkus senyap, angin mengusirnya lenyap.
"Suka dengan suasana laut ketika malam hari juga? Indah, ya?" Begitulah kata sesosok yang tiba-tiba berucap dengan bodoh.
Masih dengan menatap ujung laut---yang bukan benar-benar ujung laut---aku berbicara, "Apakah laut ini cukup indah untuk menjadi tempat kematian seseorang?" Air dengan buih-buihnya menabrak benteng pertahananku, tak rubuh, hanya sedikit goyah. "Airnya dingin, apakah cukup untuk membekukan aku?"
"Kau cukup berani untuk melawan dunia, Nona. Bukan hanya melawan dunia, kau juga melawan garis jiwa. Kau begitu percaya diri bahwa kautelah membawa gunting yang cukup tajam. Aku kagum padamu, Nona." Dia memberikan telapak tangannya padaku, seolah memainkan drama, sungguh memuakkan. "Ingin berjalan sebentar, Nona? Mungkin air dingin itu akan menumpulkan guntingmu."
"Saya menerima ajakanmu, Tuan." Semoga saja dia tidak mendengar dengkusanku.
Entah siapa dia, tetapi ketika bersamanya aku seperti menambah benteng pertahanan, aku tak lagi goyah ketika dihantam buih. Pantaskah aku mengatakan bahwa semua ini karena hebatnya dia? Dia tak mengatakan apa pun, tetapi entah mengapa aku mengajukan pertanyaan padanya. Pertanyaan yang mengasah guntingku hingga tajam.
Lalu dia menjawab, "Tidak ada orang yang hidup sendiri, Nona. Hanya ada seseorang yang menolak kehadiran."
Aku memandangnya heran, jawabannya begitu rumit untuk dipahami si benang kusut. Mengerti kebingunganku, ia kembali berkata, "Terkadang ada beberapa orang yang datang, lalu orang yang mengecap dirinya kesepian dengan tidak sengaja mengusir. Itulah yang ia lakukan terus menerus. Ah, bukan dia, tetapi dirimu. Aku saja heran dirimu tidak mengusirku lagi."
"Lagi? Siapa dirimu? Aku sama sekali tak mengenalimu. Maafkan aku."
"Aku? Insan yang merasa diusir. Bahkan lelaki yang ingin mengantarkan cinta pun kau usir, Bianglala."
Ya, Bianglala. Itu aku.
"Pulanglah, Bianglala. Jangan mengasah gunting lagi. Aku sungguh heran mengapa kau memilih waktu ketika kau bertambah umur. Selamat ulang tahun, Bianglala. Belum tepat jam dua belas, tetapi ... selamat! Maaf aku tak bisa mengantar."
Tidak apa, Tuan. Kau sudah cukup membantu untuk menenangkan. Aku cukup kecewa mengapa aku memilih pergi daripada mengucapkan kalimat itu.
"Bianglala! Mungkin surat bertinta merah muda akan kembali datang besok!"
Apa katanya? Surat dengan tinta merah muda?
Dia Selaksa?
Selamat ulang tahun, Bianglala!
Maafkan aku yang masih nersembunyi di balik tinta merah muda. Kau sudah beranjak dewasa, ya? Sebelumnya, aku berterima kasih telah menerima surat ketujuh ini. Sungguh lucu, aku mengirim surat untukmu sejak dulu, sejak kita masih di awal kepala satu.
Lala, aku ada, tetapi seperti tidak ada, ya? Tentu saja, salahku sendiri yang bersembunyi di balik tinta. Aku tak sanggup menyeberangi samudra untukmu, Lala. Aku memang untukmu, tetapi mungkin kamu tidak.
Selamat tujuh belas tahun.
Orang yang baru menulis nama.
Selaksa.
Itu isi surat yang katanya untuk terakhir. Cukup memberi kesedihan. Tujuh tahun keberadaan dan lima tahun ketiadaan. Sungguh menyesakkan. Hari ini sudah cukup panjang, ya? Selamat malam.
Selamat datang kembali, Selaksa.
***
Hari ini hari di mana aku akan semakin tua, melawan dunia dengan berpura-pura menjadi dewasa benar-benar memuakkan jiwa. Gunting telah tumpul, lalu apa yang akan tajam? Kedewasaan? Waw, kepribadian yang sangat memuakkan.
Surat bertinta merah muda itu benar-benar datang, dengan amplop merah muda. Seperti sebelum-sebelumnya.
Dia benar-benar Selaksa? Dia tidak berniat pergi lagi, bukan?
Selamat menginjak 22, Bianglala!
Lala, aku sudah menyeberangi banyak samudera, sudahkah cukup untuk aku membuktikan cinta? Apakah kau bisa percaya? Jika tidak pun tak apa, biar cinta yang menyatakannya padamu, bahkan pada seluruh dunia. Bianglala, bisakah kau membalasnya?
Aku menunggumu. Selatan Pantai Aruna.
Yang meniadakan tiada.
Selaksa.
End