story by Anisa

7 1 0
                                    

Hujan turun deras. Seakan tak bisa memprediksi kapan akan berhenti, mengundang decakan kesal siswa-siswi yang sudah bosan berada di sekolah. Sebagian memilih menunggu, namun tak sedikit pula yang rela berlari menuju parkiran atau halte depan sekolah. Runa memilih opsi pertama. Ia bersandar pada dinding luar kelas, segelintir orang yang berani melawan dingin atau cipratan air hujan. Gadis itu melirik beberapa teman kelas yang menunggu di dalam. Terlihat heboh, maka tak berniat masuk menjadi bagian dari mereka. Runa tak suka ramai.

(Kata 'namun' ada di awal kalimat, bukan di tengah)

"Hai, Run," (akhir dialog adalah titik, jika bukan diikuti dialog tag)

Runa menoleh, tersenyum kikuk. "Hai, Ka,"

Dika ikut bersandar, dengan jarak limabelas centimeter antara Runa. Ikut menatap rintikan hujan pula. "Bareng, mau nggak?"

Runa menggosok lengan pelan. Cukup dingin dan Runa tak pernah membawa pakaian tambahan. Jaket atau semacamnya. Ia sedikit menyesal.

Walau begitu, daripada memikirkan jaket yang tak mungkin bisa berjalan menghampiri, Runa menggeleng menanggapi. "Nggak usah, nggak papa."

"Ada yang jemput?" Dika menyela, melanjutkan saat Runa akan menjawab. "Tapi setau gue, lo nggak pulang sama jemputan, tuh."

Agaknya Runa mengakui. Dika, salah satu teman kelas yang akrab dengannya, tau kendaraan pengantar pulangnya adalah bus. Tak jarang Dika yang mengantar Runa menuju halte, menunggu sampai Runa benar-benar hilang dari pandangan.

"Jadi bareng aja, gue nggak lupa alamat rumah lo, kok."

Runa terkekeh ringan saja. Dika pernah mengantarnya, satu kali setelah mereka sempat belajar bersama.

"Lagian, gue bawa mobil. Jadi nggak perlu hujan-hujanan, yuk,"

Dika berdiri. Menaikkan satu tangan bermaksud ingin merangkul bahu Runa. Sayang, Runa malah maju satu langkah dari tempatnya. Dika tatap tak suka cowok yang menarik lengan Runa, hingga rangkulannya tak terlaksana.

"Lo siapa?" tanyanya ketus.

"Rivan, Ka," Runa menunduk, melepas tangan Rivan yang masih mencekal lengannya. "Maaf, gue udah janjian pulang bareng dia," (dialog tokoh A dan B jangan disatukan dalam satu paragraf)

Dika tak diberi kesempatan menjawab, saat Rivan menggenggam tangan Runa lalu berkata, "cewek gue suka hujan." Satu tangannya yang menggenggam jaket hitam tebal perlahan naik, menyampirkannya pada bahu Runa. Satu tangan lain yang masih saling menggenggam membantu memasangkan. Ditepuk puncak kepala Runa gemas.

"Jadi, dia lebih suka naik motor sama gue,"

Runa lumayan terbuai, namun masih bisa memikirkan manusia lain di antara mereka.

"Maaf, Ka," pintanya.

Runa belum mendengar suara Dika karena Rivan lebih dulu menariknya, berbalik meninggalkan Dika.

"G-gue duluan, Ka!"

"Heh!"

Runa menoleh. Menatap kesal Rivan. "Apaan?"

"Nggak usah mikirin anjing satu itu."

Runa sukses menjitak kening mulus Rivan. "Van! Dia temen aku. Bukan hewan."

Rivan melengos. Genggamannya ia lepas, menghentikan langkah.

"Van!"

"Apa sih, Sayang?"

Runa lumayan salting. Apalagi menyadari suara serak dan dingin seorang Rivan. Juga, tau-tau Rivan berada di depannya.

"Na,"

Runa mendongak, walau awalnya ragu. Ia terkejut, melihat ada kilatan marah dari mata hitam Rivan.

Tiba-tiba, Rivan mendekat. Mata hitamnya mengunci, hingga bibirnya mengecup sisi wajah Runa. Runa belum mengedip saat ada tubuh yang merengkuhnya.

"Lo milik gue," Rivan mengecup puncak kepala Runa, "jadi, cuma gue yang boleh nyentuh lo."

anista_126

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang