Salah Dermaga - Sherlina

7 0 0
                                    

*Salah Dermaga*
By Sherlina D

Dia Defana perempuan yang ku kenal 5 bulan ini lewat bakti sosial korban gempa. Perawat manis dan berjiwa penyayang. Perempuan yang mamapu meluluh lantakkan hati ini dalam waktu sekejap. Siapa yang tidak terpincut, tatkala waktu itu mengobati seorang anak kecil dengan perasaan yang sangat tulus, menguatkan dan menenangkan bak anak sendiri. Pula menangisi seekor kucing yang kakinya sedang terluka. Remeh memang tapi entah mengapa membuat hatiku berdesir tatkala mengingat senyum manisnya kala itu.

"Def kamu, sudah makan?" tanyaku pada Defana yang sedang sibuk di depan komputer.

"Belum sih Dok, kenapa?" tanyanya sambil menghadap ke arahku. Iris coklat matanya menatap lekat terarah padaku.

"Yaudah, makan siang bareng aja yuk, di kantin." ajakku padanya sambil memasukkan kedua tanganku pada kantong snelli.

"Beneran?" ucapnya dengan berbinar menyipit. Senyumnya seakan membuat kadar gula meninggi menyebabkan diabetes seketika. Hanya ku balas dengan anggukan saja sebagai tanda persetujuan.

Buru-buru ia merapikan tempat kerjanya, menyimpan _file-file_ yang telah ia kerjakan, tak lupa mengambil _handphone_ serta dompetnya.

"Widih kencan nih," seru Dimas sambil menaruh nampannya di meja kami dan ikut duduk bergabung. Dimas juga salah satu Dokter di rumah sakit umum ini, tepatnya dokter gigi.

"Apaan dih Dokter Dimas, enggak ih," jawan Defana dengan tersenyum manis. Aku benar-benar tak bisa memalingkan mataku ketika melihatnya tersenyum. Senyum Defana membawa virus yang menular pada diriku untuk ikut tersenyum. Aku sudah tak tahu lagi dengan hatiku, pada intinya saat ini aku membuka hatiku untuknya.

"Noh liat noh, psikiaternya ikutan gila tuh. Senyum senyum sendiri." tak sadar dengan ucapan Dimas, lantas ia menepuk jidatku dengan keras.

"Adohh sakit bego," ucapku sedikit keras, persetan dengan ucapan kasarku. Pukulan Dimas memang sakit membuatku langsung tersadar.

"Dokter Agam, ucapannya!" tegur Defana menyadari omongan kasarku. Aku langsung menggatuk tengkukku yang tidk gatal sama sekali.

" _Sorry_ Def, abis si setan Dimas mukulnya kayak kuli, keras banget." ucapku sambil menekannkan kata setan.

"Dasar monyet, enak aja ngatain gue setan," ucap Dimas yang hendak memukulku lagi namun tertahan oleh suara Defana yang memisahkan pertengkaran kami.

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah satu tahun aku mengenal Defana. Hubungan kamipun baik-baik saja, dan aku semakin mengenal baik Defana. Maka dari itu aku ingin menyampaikan perasaanku saat ini. Aku ingin membawa hubungan ini ke dalam jenjang yang lebih serius lagi. Sudah bukan waktunya bagi diriku untuk main main prihal perasaan.

Aku berencana menyampaikan perasaanku siang ini bersamaan dengan makan siang. Aku bergegas menuju tempatnya berada dengan perasaan optimis. Sesampainya di poli anak aku melihat Defana sedang mengobrol riang dengan seorang pemuda seumuran denganku. Dengan lengan kemeja yang tergulung sampai siku serta tubuh tegap yang menampilkan dirinya seperti seorang pria kantoran. Aku berpikir apakah ia wali dari pasien kah atau apa? Namun jika dia wali pasien dimanakah pasiennya? Tak mau membuat diriku bingung langsung ku hampiri saja mereka berdua.

"Def," ucapku membuat Defana menoleh ke arahku. Lantas bangkit dari kursinya.

"Eh Dokter Agam, kenalin dok ini Mas Ibra, yang insyallah minggu depan jadi pendamping hidup Defa. Mas Ibra ini Dokter Agam yang sering aku ceritain ke kamu," ucap Defana saling mengenalkan ku. Bak di sambar petir, hati ini langsung remuk redam. Hancur berkeping-keping. Baru saja merasakan arti di mabuk cinta namun harus jatuh dalam jurang tak berdasar. Sungguh menyakitkan.

Menyalahkan pertemuan, menyalah kan hati sendiri dan menyalahkan takdir yang telah di tentukan. Itulah yang kurasakan saat ini. Kapal melabuh pada dermaga yang salah. Kapal tidak karam namun kapal tak pantas berada di dermaga tersebut.

Ahh lagi lagi, cinta akan kalah dengan kepastian. Seperti pepatah siapa cepat dia dapat. Dua kali aku merasakannya, sama-sama bersanding dengan yang lain. Bedanya yang pertama bersanding dengan yang lain di taman alias di selingkuhi, kemudian yang kedua ini juga sama bersanding dengan yang lain, namun di pelaminan yang sudah jelas hatinya bukan untukku. Entahlah memang aku yang terlalu lambat. Atau dia yang terburu-buru. Hanya tuhan yang tahu.

"Eii yoo, sakit gak? sakit gak? sakit lah masa enggak," seru Dimas salah satu sahabatku dan menggiring tamanku yang lain untuk menyorakiku, lantas tertawa renyah di atas penderitaanku. Dasar teman terlaknat!

"Sakit lah, ya kali enggak," ucapku sok mendramatisir.

"Makanya bro, kalau ada mawar lagi mekar itu di serang bukan di biarin doang, telatkan lo. Sekarang nyesek sendiri. Berharap bersanding di pelaminan eh gak taunya cuma tamu undangan, hahaha," ejeknya lagi. Sontak ku lempar tisu bekas yang ku pakai mengelap tangan dari noda minyak gorengan yang ku makan.

"Eist santai dong," dia balik melempar tisu tadi.

Seperti itulah kisahku berakhir, dipatahkan oleh takdir yang sudah jelas untuknya. Terlalu lama melihat bunga mekar sampai terpesona, tanpa sadar bunga tersebut adalah milik orang lain. Lucukan? takdir memang selucu ini.

Bukan Kepala Yang Kehilangan TubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang