Si gadis Senja
Pukul lima sore dini hari, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke pantai titik mungkin melihat matahari terbenam disana akan membuatku senang.
Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di pantai menggunakan jeepney- angkutan umum khas Manila, tapi jika kalian berjalan kaki mungkin akan memakan waktu lebih lama.
Aku mulai memasuki area pantai. Kaki ku kini telah menginjak pasir putih yang agak lembut dan sedikit kasar.
Dari tempatku berdiri kulihat seorang gadis berdiri di tepi pantai, rambut yang dibiarkan tergerai melambai-lambai seiring dengan urusan angin sore.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu indah ketika diterpa sinar senja, bibirnya nampak sedikit tersenyum penuh kehangatan.
Ketika sang mentari sudah kembali ke peraduan dan langit mulai berubah menjadi gelap di hiasi gemintang terang, gadis itu menundukkan kepalanya. Senyum yang tadi terlihat jelas, kini berganti muram. Kulihat gadis itu berbalik, pergi menjauh dari tepi pantai dengan tubuh lunglai.
Sepertinya aku baru sadar sekarang. Aku telah memperhatikannya dari beberapa jam yang lalu, astaga aku ini kenapa?
Aku memutuskan untuk pulang, tapi sampai di rumah aku tidak bisa tidur.
Bayangan gadis itu terus berputar dengan jelas dalam memori kepalaku. Baiklah keputusanku besok adalah; pergi kembali ke pantai untuk melihat dirinya.
Keesokannya aku bersiap untuk pergi kembali ke pantai, kali ini menggunakan mobil pribadi. Aku berangkat lebih awal dari sebelumnya, pukul empat kurang dua puluh menit sore hari.
Sesampainya di pantai, aku belum melihat dirinya berdiri seperti kemarin. Tak apa, mungkin aku akan menunggu sebentar.
Pukul lima kurang, masih sama seperti sebelumnya. Ia belum datang.
"Membosankan sekali, kapan gadis itu akan datang?" Aku menggerutu sendiri, sesudahnya mataku membulat. Gadis itu datang lagi, tidak sia-sia aku menunggu.
Dari tempat yang sama seperti kemarin, aku melihatnya berdiri lagi. Senyum itu nampak lebih indah dari sebelumnya, wajahnya nampak lebih ayu saat di terpa sinar matahari sore.
Aku hanya bisa tersenyum dari kejauhan, aku mengeluarkan sebuah botol kaca bening yang di dalamnya berisi surat. Ya, surat itu kutulis tadi malam. Tentu saja untuknya, untuk siapa lagi?
Aku menggelindingkan botol itu kearahnya. Botol itu menabrak kaki jenjang sang gadis, ia meliriknya. Lalu mengambilnya dan membuka penyumbat botolnya, mengeluarkan kertas itu lalu membacanya.
Ia sempat melirik kearahku, lantas tersenyum lebar. Seperti terlalu banyak meminum wine, aku mabuk. Tapi dalam artian berbeda; aku mabuk dalam kemilau cinta.
Ku tatap gadis itu dengan lekat, lalu balas tersenyum lebih lebar dari pada dirinya.
Kira-kira siapa namanya?
Ia menghampiriku. "Maaf, apa ini milikmu?" Tanyanya, suaranya bagai benang-benang harpa yang di petik oleh sang pemain terbaik. Begitu lembut dan sedap di dengar.
"I-iya, ehm maksudku...itu milikmu. Aku memberikannya untukmu," suaraku seperti tertahan. Dadaku mulai berdetak kencang.
"Terimakasih, namaku Senja." Apa? Apa aku tak salah dengar?! Ia menyebutkan namanya padaku, nama yang ternyata sangat mudah untuk aku hafal.
"A-aku Reece," aku balas memperkenalkan diri. "Aku suka dengan-" belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya aku memotongnya lebih dulu, "Padaku? Kau suka padaku?"
"-tulisanmu, aku suka tulisanmu." Gadis itu melanjutkan ucapannya, aku hanya bisa tersenyum canggung. Mungkin saat ini wajahku sudah berubah jadi kepiting rebus.
"Sebenarnya kamu juga," aku melotot. Perkataannya terlalu abu-abu untuk aku simpulkan, "maksud mu?" Aku bertanya lebih jelas.
"Aku juga menyukaimu, saat pertama kali kamu melihatku kemarin sore."
Tunggu, ia benar berkata begitu? Ia juga menyukaiku? Apa ia juga tidak bisa tidur semalam?
Sial, ternyata efek jatuh cinta sekuat ini. Cinta yang membuatku berani untuk mengirim surat untuknya.
Dan cinta pula yang membuatku tahu siapa namanya; Senja.
Kritik : masih dalam penggunaan kata 'dan', tanda baca, dialog tag
a_snowland
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Short StoryKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa