Cinta Untuk Nay
rikha_03“Sini, lempar padaku!”
Gadis itu hanya diam. Napasnya memburu, kedua tangannya terkepal kuat hingga ujung jarinya memutih, melihat tas sekolahnya dilempar-lempar menjadi mainan.
Seseorang berhasil menangkapnya. Pemuda dengan surai hitam itu menatap intens geng sekolahan. Langkahnya tegap menghampiri.
Lantas dia berkata, “jika kau mengganggu perempuan, kau payah!”“Apa kau bilang?! Kurang ajar sekali kau!” Satu diantara mereka maju satu langkah. Mendorong bahu lawan bicaranya.
Tanpa aba-aba, pemuda itu langsung menarik lengan sang gadis, mengajaknya berlari.
“Kau baik-baik saja?”
Tak ada jawaban, gadis berkuncir satu di belakang itu hanya menunduk seraya mengambil pelan tas miliknya.
“Ah, namaku Reynan.” Pemuda itu mengulurkan tangan.
“Nayara.” Sang gadis meraih ulurannya.
“Baiklah, aku panggil kau, Nay. Sampai jumpa kembali, Nay.” Seraya melambai, Rey beranjak pergi.
Nay menarik napas panjang. Baru kali ini ia mendapat senyuman dari seseorang selain ayah dan ibunya. Selama ini, tidak ada teman atau sahabat di dalam kamus hidupnya.
**
Untuk kesekian kalinya, Nay terbangun di ruangan bercat putih dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bau obat-obatan kembali menyeruak menusuk hidung, meski terhalang dengan selang alat bantu pernapasan. Ruangan yang begitu hening, hingga derap langkah seseorang berbalut jas putih itu bisa ia dengar di balik kaca.
Perlahan. Ia membuka selang oksigen, lalu turun dari ranjang. Duduk di kursi roda dengan cairan infus yang harus setia di bawanya. Entah mengapa rasanya ia merindukan seseorang yang ia temui kemarin. Senyuman selalu terukir kala mengingatnya. Tiba-tiba pandangnnya beralih, melihat seseorang di kursi roda yang tengah berbicara serius dengan wanita berbalut seragam putih.
“Reynan?” Nay mengucek mata. Tak mungkin Ray di disini. kenapa dia memakai kursi roda? Juga … kenapa dia mengenakan pakaian pasien? Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.
Nay memacu kursi roda, hendak menghampiri.
“Rey ….” panggilnya pelan. Tapi berhasil membuatnya menoleh.
Rey tampak mengakhiri pembicaraanya dengan suster itu.“Rey, kau sedang apa di sini?” Nay bertanya.
Rey hanya menunduk. Menatap jemarinya yang memainkan ujung baju.“Rey, kau sakit apa?” untuk ke dua kalinya Nay bertanya, dengan manik yang hampir mengeluarkan bulir beningnya. Namun, Rey masih enggan menjawab.
Rey beranjak memutar kursi roda. Hendak meninggalkan. Namun isak tangis itu mengurungkan niatnya. Ia berbalik menghampiri Nay. Tangan yang terpasang infus itu mengusap pipi Nay yang basah.
“Kenapa kau menangis?”
“Aku hanya sedih.” Nay masih terisak.
“Kau sedih?” Rey menurunkan tangannya. “Aku sering di sini, kok,” lanjutnya.
“Apa kau sakit serius?”
“Tidak, tubuhku hanya sedang tidak baik-baik saja,” jawab Rey enteng.
“Aku bodoh, ya. Merasa khawatir pada seseorang yang baru aku temui kemarin.”
“Aku juga bodoh, sudah rindu pada seseorang yang baru sekali aku temui,” balas Rey.
Senyuman mereka sama-sama melengkung. Mereka tenggelam, terjebak dalam manik indah. Waktu serasa berhenti, terjeda. Membiarkan semesta menyaksikan. Nay seolah tak ingin berpaling, barang sedetik. Bola mata cokelat itu … tampak begitu teduh dengan alis hitam tebal. Hidung mancung serta garis rahang yang kuat melengkapi satu kata. Tampan.
Sementara bulu mata lentik, hidung mungil serta pipi yang sedikit chubby itu masih Rey tatap lekat-lekat. Entah, sepertinya ia larut di sana.**
Pagi ini, Nay masih membuka mata di tempat yang sama. Namun, ada hal berbeda yang mampu menyunggingkan senyum simpulnya. “Rey ….”
“Selamat pagi, semoga lekas sembuh, ya.” Pemuda yang masih mengenakan pakaian pasien serta infus yang terpasang di punggung tangannya itu mengulurkan bucket bunga. Tanpa dipersilahkan, ia masuk, lalu duduk di samping ranjang Nay.
“Kau sudah bisa jalan tanpa kursi roda?”
“Memangnya aku kenapa? Aku masih kuat, kok.”
“Baiklah, syukur kalau begitu.”
“Mau jalan-jalan?”
Nay mengangguk bersemangat. Mereka berjalan, meski perlahan. Beberapa kali Nay hampir terjatuh, tapi Rey selalu menahannya. “Nay, aku berjanji akan selalu menjagamu.”
“Janji?” Nay mengacungkan kelingking.
“Janji.” Rey menautkan jarinya.
Namun, Tiba-tiba Rey menunduk. “Rey, kau bai-baik saja, ‘kan?” Nay mencari-cari pandangan Rey.
Tepat saat itu. Ray ambruk. Tubuhnya terjatuh ke lantai. Bersama Nay yang tak mampu menahannya. “Rey, kau kenapa? Bangun.” Nay menepuk pelan pipi Rey.
“Aku hanya ingin bersamamu.” Tiba-tiba Rey membuka mata. Membuat Nay mendengus. Sedikit memajukan bibirnya.
“Mungkin terlalu cepat untuk kita berdua. Tapi aku mencintaimu tak berwaktu.” Ray terduduk. Lalu beberapa suster tampak menghampiri. berdiri mengelilingi mereka seraya mengulurkan setangkai bunga mawar berwarna merah.
“Aku juga mencintaimu, Rey.” Tepat saat itu, para suster melempar bunganya ke udara. Diiringi sorak gembira.
The End.
Krisar : kata 'namun' diikuti koma setelahnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Short StoryKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa