Plester Sayang
Aku memandangi Hilda sedang asyik membaca koran di depan perpustakaan, yang ditempelkan pada triplek yang ditautkan di tiang. Ada apa gerangan hingga membuatnya asik membaca koran?
"Kok kamu liatin ke timur mulu?" tanya Gio yang berhasil membuatku berpindah posisi.
"Nggak kenapa-kenapa," jawabku malas, jangan sampai ada yang tau aku menyatakan rasa pada Hilda saat piket dua hari yang lalu, kecuali pengurus CCTV.
"Owh kamu suka Hilda?" tebaknya menggetarkan hatiku.
"Eh," jawabku kaget.
"Halah ngaku aja iya, aku kenal dia kok. Kan dia temen SMP." Ujarnya antusias, lalu beranjak karena dipanggil Pak Erick untuk penilaian shuttle run.
Aku memandangi Hilda sekali lagi, aku berjanji ini terakhir kalinya aku memandanginya untuk pekan ini. Agar tak ada yang menebak-nebak seperti Gio tadi, menjengkelkan memang.
"Carel kamu mau baca? Bagus lho!" ajak Hilda tanpa menengok ke arahku, masih fokus memandangi koran.
Hebat! Dia bisa mengetahuiku memperhatikannya tanpa menengok. Owh jadi ini yang membuat teman-teman pada enggan dengannya. Bisa membaca pikiran.
Setelah berdiam beberapa saat untuk menimbang apakah aku ke sana atau tidak, akhirnya aku beranjak menuju depan perpustakaan.
"Carel," panggil Pak Erick karena ini giliranku untuk penilaian shuttle run, aku hanya berjalan gontai agak malas tubuhku sedang tidak begitu fit.
"Siap!" Perintah Pak Erick yang akan meniup peluit.
"Belum! Beri saya waktu 10 detik." Sahutku tak kalah tegas, meminta dispensasi persiapan.
"Oke,"
1, 2, 3, 10 detik priittt.
Suara peluit melengking siap tak siap aku harus berlari secepat mungkin bolak balik dengan jarak 5 meter. Minimal 7 kali agar bisa menyentuh KKM.
Kurang 2 kali lagi Carel ayo cepat!
Akhirnya sampai juga pada batas minimal. Napasku tersengal-sengal aku harus segera duduk di koridor untuk beristirahat dan asmaku tak kambuh lagi.
Bugh
Sialan! Aku terjatuh karena tali sepatuku tak terikat, refleks aku langsung menopang dengan tangan. Semuanya menertawakan aku termasuk juga si Unik itu Hilda. Ternyata dia tak sekaku yang mereka kira. Tangan kiriku rasanya perih rasanya seperti tergores, saat kulihat ternyata benar telapak tanganku tergores sedikit dan berhasil membuatku meringis.
"Nanti obat merahnya kembaliin 'ya." Ujar Gio menyodorkan plester motif bunga-bunga dan obat merah.
"Ngokhey,"
Setelah aku membersihkan luka dan hendak membalutnya dengan plester. Di belakangnya ada tulisan yang kecil tapi masih bisa dibaca, kadang Hilda tulisannya seperti ini.
Kembaliin obatnya ke Hilda yang udah nerima. Sama bilang aku sayang Hilda.
Kritik : sudah lumayan, walau masih ada beberapa kesalahan
KhansaaOfiix
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala Yang Kehilangan Tubuh
Historia CortaKumpulan tugas cerita pendek Mi Casa