Cinderella and Peterpan

1.2K 57 1
                                    


Dua insan yang disatukan oleh Tuhan tidak akan terpisahkan. Ingin sebesar apapun masalahnya, sebesar apapun bebannya, mereka berdua tidak akan bisa melepaskan diri satu sama lain. Bak pangeran yang mencintai hingga mati seorang putri yang telah ia selamatkan. Tidak peduli nyawanya terancam, keselamatan cintanya adalah nomor satu.

Tapi sebaliknya, sang putri tidak akan rela pangeran menyerahkan nyawanya ke tangan manusia bahkan Tuhan sekalipun. Hingga akhirnya mereka akan sangat egois dan murka pada diri masing-masing. Sang putri lebih terima jika mereka pada akhirnya mati berdua dalam pelukan. Seperti mendeklarasikan kepada dunia bahwa cinta mereka nyata. Tidak ingin kehilangan tapi sangat ingin mengorbankan diri sendiri untuk pasangannya.

"Seperti dirimu." Seorang pria berkacamata itu menutup buku yang ia baca lalu melirik seseorang yang sudah menemani hari-harinya menjadi lebih cerah.

"Maksudmu kita?" ujar lawan bicaranya.

Ia tersenyum sesaat menyusuri lekuk wajah yang sangat ia cintai. Wajah yang tidak akan ada habisnya ia pandang setiap pagi saat ia bangun dari tidur. Wajah yang akan menyapanya saat pulang dari kantor. Wajah yang akan memberikan banyak kecupan manis di bibirnya. Ia sangat mencintai pria dihadapannya itu.

"Iya Mingyu, kita." ujarnya sedangkan pria itu tersenyum lalu mengusap surainya lembut, menyalurkan segala cinta disetiap sentuhan itu.

"Kenapa sih membaca buku itu? Saat kau baca bagian itu, kesannya hubungan kita itu jelek." Ia terkekeh mendengar penuturan Mingyu.

"Sudah ku bilang kita itu bucin. Kamu ingat tidak saat kau keluar mau membelikan bubur dan memintaku tiduran karena sedang sakit padahal aku tidak ingin kamu pergi barang sedetikpun." Ucapnya sambil merubah posisi bergelayut manja di lengan besar kekasihnya. Sofa besar di ruang tengah memang sangat nyaman untuk dipakai pacaran.

"Yeah I know. Akhirnya sakitmu tambah parah karena tidak sarapan."

"Dan akhirnya kau menyalahkan dirimu sendiri. Padahal aku yang menyuruhmu jangan pergi."

"Aku hanya ingin merawatmu dengan baik sayang."

"Tapi kan–"

"Cukup."

Mingyu memotong ucapannya lalu menghela nafas. Baginya jika pria manis itu sakit karena tidak memberikan segala perhatian, itu adalah salahnya. Dia tidak mau pria manisnya terluka walau itu luka karena nyamuk sekalipun. Tidak boleh ada yang menyisakan bekas di kulit seputih susu milik kekasihnya. Protektif, itulah Mingyu.

Wonwoo yang tau Mingyu sudah tidak ingin membahas masalah itu lagi hanya cemberut menatap kekasihnya. Ia tidak ingin membuat Mingyu marah karena wajah tampan itu akan menakutkan dan ia tidak bisa mengelaknya. Walau sejujurnya wajah datarnya lebih menyeramkan dari apapun.

"Kamu mau makan apa malam ini Wonwoo sayang?" Mingyu memecah keheningan yang dibuatnya. Berlarut-larut marah juga tidak baik untuk hubungan mereka. Mingyu hanya tidak ingin berakhir Wonwoo yang malah menyalahkan diri sendiri karena ketidaktelatenan dirinya.

"Eumm..." Wonwoo menerawang langit-langit, jari telunjuknya mengetuk dagunya dan berusaha berpikir. Mingyu yang melihat pergerakan gemas Wonwoo makin gencar mengusak surai rambut hitam itu. "Bagaimana kalau sup kacang merah dan nasi goreng kimchi?"

Sebagai seorang kekasih yang seharusnya sefrekuensi, Ia tak pernah mengerti pola pikir Wonwoo yang malah memilih sup kacang merah dan nasi goreng kimchi untuk makan malam. Bahkan pernah sekali Wonwoo meminta topoki pedas untuk sarapan, padahal kekasihnya itu memiliki masalah lambung. Hingga akhirnya mereka bertengkar dan Mingyu harus mengalah.

LIVING WITH MEANIE | ONESHOT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang