A Murder

1.2K 35 5
                                    

Bumi menapakkan hutan yang tenang, dengan efek tyndall yang melewati dedauan kala sore itu. Suara serangga saling bersautan, gemercik air embun terdengar pelan setelah menetes dari ujung patahan kayu. Suara kicauan burung yang kembali kesangkarnya menandakan bahwa hari sudah mulai petang. Bias cahaya dari balik dedaunan kini memudar seiring matahari yang tenggelam di ufuk.

Cahaya kejinggaan terpancar dari langit-langit sekitarnya. Terang matahari tadi, kini berganti gelap dengan suasana yang lebih mencekam. Sangat berbanding terbalik dengan suasana sore tadi. Malam sudah menyelimuti hutan itu. Hutan yang tadi menjadi tempat untuk menenangkan pikiran sudah berubah menjadi hutan yang mengancam nyawa siapa saja yang masuk ke sana.

Hening, tak ada suara selain jangkrik dan katak yang bersembunyi dibalik dedaunan. Para predator malam pun membuka matanya untuk mencari mangsa. Melebarkan pupilnya untuk menangkap daging lezat yang akan jadi santapan makan malam mereka. Pupil mata yang mulai melebar dan menyala di tengah gelapnya hutan.

"AAAAA! TIDAAAKKK!"

Ditengah gelap hutan itu, seorang laki-laki berlari memecah dedaunan yang menjulang diantara jalan setapak. Keheningan malam itu hilang setelah suara gemeretak kayu saat kakinya menginjak beberapa ranting yang berjatuhan. Suara kibasan dedaunan saling menciptakan suara yang mulai pikuk di dalam hutan itu. Dia berlari dengan wajah ketakutan, sesekali menoleh kebelakang untuk memastikan bahwa jaraknya aman.

Dari cengkraman orang yang tengah mengejarnya.

Suara napasnya terengah-engah. Kaos dibalik kemejanya sudah basah dengan keringat, begitu juga dengan pelipisnya yang mengeluarkan embun yang deras. Matanya mulai melebar ketika ia berhenti dan menoleh kebelakang. Matanya dengan gelisah menyisir padang kayu di hadapannya berharap mencari celah untuk menemukan sosok itu. Pupilnya membesar untuk menyamakan intensitas yang minim cahaya di hutan gelap itu.

Sembari berjalan mundur, ia mengatur napasnya. Meluangkan waktunya untuk menetralkan kondisinya yang mulai pusing karena habis berlari kencang. Matanya tersirat ketakutan yang mendalam. Wajahnya mengawasi sekelilingnya, mengawasi setiap suara atau gerakan dari balik dedaunan.

Pikirannya kalut seakan tidak percaya dengan kondisinya saat ini. Ia meremas kepalanya lalu menggeleng. Kepalanya pening dan kacamatanya mulai berembun karena kabut dingin yang mulai menyelimuti hutan. Tubuhnya memanas karena semakin cemas sedangkan peluhnya semakin berjatuhan merespon rasa takutnya.

"Sayaannggg?"

Pria berkacamata itu menoleh ke arah sumber suara yang terdengar dari gelap hutan di hadapannya. Kedua tangannya menangkup mulutnya untuk menjaga agar tidak ada suara yang timbul dari bibir plumnya itu. Ia mundur perlahan lalu menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tempat perlindungan. Wajahnya semakin ketakutan dan napasnya sedikit tercekat saat siluet sosok jangkung itu, mulai mendekatinya.

Matanya terbuka saat melihat sebuah pohon besar di sebelah kirinya. Perlahan ia meraih batang pohon itu dan berbalik untuk menutup tubuhnya yang sudah kelelahan. Bersembunyi dari balik pohon besar itu. Tubuhnya jatuh kebawah, kakinya gemetar dan tangannya masih setia menutup mulut kecilnya. Matanya mulai meneteskan air mata, menangisi keadaannya yang tersudut dan tidak bisa kabur.

Pendengarannya ia buka lebar-lebar menangkap segala pergerakan dan suara yang ditimbulkan oleh sosok itu. Matanya menutup lekat dari balik kacamata. Pelipisnya semakin mengeluarkan keringat dingin yang sudah membasahi tubuhnya. Ia menahan napas saat sebuah napas berat terdengar di balik pohon besar dimana ia bersembunyi. Kerutan wajahnya menggambarkan betapa ia sangat ingin pergi dari suasana mencekam ini. Ia hanya ingin hidup.

"Kau tidak akan bisa pergi dariku..."

Matanya terbuka dan wajahnya mendongak ke atas. Disana seringai dengan taring besar sosok itu terpampang di depan wajahnya. "...sayangku."

LIVING WITH MEANIE | ONESHOT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang