Kok aku disini ? Arun terkejut kala mendapati dirinya terbaring di atas kasur padahal semalam dia masih duduk di sofa. Yaaa duduk disana dan akhirnya ketiduran. Dia menengok ke samping. Gara masih terlelap dalam tidurnya. Arun bangkit menyalakan lampu kamar lalu kembali. Maaf ya mas, padahal kamu udah capek pulang kerja. Kenapa nggak bangunin aku aja dan malah gendong kesini ? Arun menjelajahi tiap sudut wajah Gara yang terlihat begitu tampan namun kelelahan. Tentu saja Gara lelah karena seminggu ini dia lembur terus. Arun mendekatkan bibirnya lalu mencium kening Gara. Hatinya berdebar karena takut ketahuan.
“Mas, bangun yuk. Subuhan dulu” Arun membangunkan Gara. Selelah apapun kewajiban lima waktu itu tidak boleh ditinggalkan.
“Hm...jam berapa ?” tanya Gara menggeliat dengan mata terpejam.
“Udah hampir jam 5. Udah telat kalau jama’ah ke masjid. Alarmnya nggak kedengeran”
Mereka bangun. Mengambil wudhu lalu sholat jamaah berdua. Gara sebagai imam dan di belakangnya Arun menjadi makmum. Gara ijin tidur lagi karena dirinya terlalu lelah. Untung hari ini adalah Sabtu, salah satu hari liburnya selain hari Minggu dan tanggal merah di kalender. Arun membiarkan Gara tidur kembali, meski dia tahu bahwa tidak baik tidur lagi setelah subuh. Arun melanjutkan aktivitas paginya, membuat sarapan, lalu menjemur pakaian yang semalam telah dicuci dengan mesin cuci.
Seperti Amira, Arun juga menyukai tumbuhan. Dia menanam banyak tanaman hias di halaman rumah itu yang dulu begitu gersang cuma ada satu pohon mangga, itupun sudah layu dan hampir mati karena Gara tidak pernah menyiramnya hanya mengandalkan turunnya air hujan. Setelah menyirami tanaman hias di halaman depan, Arun menuju ke samping rumah dimana terdapat beberapa polybag kecil yang tertanami aneka jenis sayuran. Ada cabai, terong, tomat, daun serai, kucai, dan benih kemangi yang dia tanam beberapa minggu lalu terlihat sudah tumbuh.
“Rajinnya istriku”
Arun menoleh ke belakang. Jendela kamar terbuka lebar. Ada sosok Gara yang berdiri memandanginya di balik teralis jendela. Arun tersenyum.
“Mas udah bangun ? mau sarapan dulu atau mandi dulu ?” tanya Arun.
“Mandi dulu aja deh. Kemarin sore kan aku nggak mandi”
“Ya udah, mandi dulu sana. Aku angetin lauknya kalau gitu”
Arun mematikan kran air dan menggulung selang dengan rapi. Ia masuk rumah langsung menuju ke dapur untuk menghangatkan lauk yang sudah matang sejak pagi tadi. Gara yang sudah mandi tanpa insiden handuk ketinggalan, dengan terpaksa memakai kembali baju kotornya karena masih malu keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk. Kini Gara di kamar mencari pakaian ganti.
“Mas ? ayo makan” ucap Arun yang masuk kamar tiba-tiba.
“Iya sayang” dengan refleks Gara membelakangi Arun, karena masih bertelanjang dada.
Arun geli melihat tingkah suaminya. Setahu dia, cowok adalah lelaki yang tak punya rasa malu meski bertelanjang dada di hadapan lawan jenis. Arun tahu kalau Gara mempunyai tubuh atletis karena dia rajin jogging dan berolahraga, seharusnya Gara bangga memamerkan auratnya itu di hadapan Arun. Dari kesimpulan Arun, Gara termasuk sosok yang pemalu.
“Sayang ?” Gara kaget menyadari ada tubuh yang menempel di punggungnya.
“Aku kangen” ucap Arun mengeratkan tangannya di perut Gara.
“I-iya. Aku pake kaos dulu ya” ujar Gara.
“Kenapa ?”
“Kenapa gimana ?” Gara merasa pertanyaan Arun cukup aneh. Tentu saja dia berganti baju setelah mandi.
“Mas malu kayak gitu. Bukannya itu udah biasa buat cowok”
Gara mengerjap. Fakta itu memang benar. Lantas Gara membalikkan tubuhnya. Kini mereka saling berhadapan.
“Jadi kamu udah biasa liat cowok telanjang dada ?” tanya Gara. Arun mengangguk.
“Liat siapa ?”
“Ardi sama om di rumah. Hehe..” jawab Arun jujur.
Gara membalas pelukan Arun. Dia tak mempermasalahkan lagi keadaannya yang topless. Mereka berdua terdiam menikmati momen tersebut yang sudah jarang dilakukan akhir-akhir ini.
“Kalau aku lihat cewek telanjang dada boleh nggak ?”
“Issh... ya beda lah. Kalau itu mah mesum”
Arun cemberut dalam pelukan Gara. Meski ia tahu apa yang selalu menjadi imajinasi para lelaki termasuk Gara. Karena bagaimanapun juga Gara adalah lelaki normal.
“Kan ceweknya kamu, istri aku sendiri. Masa nggak boleh” goda Gara.
“Udah ah, ayo sarapan dulu” elak Arun.
Ia selalu merasa bersalah jika Gara sudah mengkode begitu. Dirinya masih belum bisa memenuhi kebutuhan batin suaminya. Mereka menuju meja makan. Menikmati santapan pagi itu dengan wajah segar.
“Semalem mas Gara pulang pulang jam berapa ?”
“Setengah dua belas sampai rumah”
“Kok malem banget. Itu bukan lembur lagi mas, tapi kerja rodi” ucap Arun tak terima.
“Heri sama Wawan malah nginep tidur disana” jawab Gara.
“Pasti mas Gara ikutan nggak pulang kan, kalau nggak ada aku di rumah” tebak Arun.
“Mungkin”
“Iya sekarang mas Gara masih muda, masih fit energinya. Tapi harus ingat kesehatan jangka panjang juga dong. Aku nggak mau-“
“Iya sayang. Cuma tadi malem aja kok. Nggak akan lagi.” potong Gara sebelum Arun mengomel lebih panjang.
“Kok semalem aku nggak dibangunin ? mas Gara gendong aku ke kamar ?”
Gara mengangguk karena mulutnya masih penuh.
“Maaf. Padahal niatnya aku mau nunggu mas dateng, ternyata malah ketiduran. Jadi nambah beban mas yang capek baru pulang.” Arun menunduk menyesali perbuatannya.
“Aku nggak selemah itu sayang. Tenang aja. Ngomong-ngomong kamu berat juga ya.” canda Gara.
“Masa sih mas ? aku harus diet kayaknya. Padahal ku kira berat aku turun karena stress ngerjain skripsi” dengan refleks Arun mengecek paha, lengan, dan perutnya.
“Nggak papa. Biarpun gemuk kamu tetep yang paling cantik buat mas” goda Gara.
“Mulai” Arun menyendok makanannya.
“Sayang...” panggil Gara dengan nada serius. Arun berdehem sambil memperhatikan Gara.
“Aku bakal dinas ke luar kota selama 3 hari”
Arun memaksa menelan makanannya yang belum terkunyah sempurna.
“Lagi ? kok sering banget. Bukannya bulan kemaren udah.”
“Kan beda urusan”
“Kenapa harus mas Gara lagi ? kok nggak staff lain ?”
Arun tak menyangka. Menurut cerita Shofi di biro sebelah, kebanyakan staff yang diberi tugas untuk pergi dinas adalah para senior atau sesepuh yang memiliki jabatan tertentu. Gara memang pekerja tetap bukan pegawai kontrak tetapi dia bukanlah staff yang cukup memiliki jabatan untuk pergi dinas sesering ini.
“Karena ini memang tugas aku.” Jelas Gara.
“Berangkat kapan ? Senin ?” tanya Arun.
“Iya. Senin malam aku berangkat. Kamis sore udah perjalanan pulang dari sana.”
“Ya udah, nanti mulai aku siapin keperluan mas. Pake tas yang biasanya kan ?”
“Iya. Makasih ya sayang” ucap Gara tulus.
Arun tersenyum mengiyakan. Sebenarnya hati Arun menjerit. Dia merasakan kekecewaan yang begitu dalam karena di antara hari tersebut ada momen penting yang dengan penuh harap Arun ingin Gara hadir untuk menemaninya. Kenapa mas Gara harus pergi di saat aku butuh energi tambahan untuk sidang skripsiku Rabu nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sailing With You [END]
RomancePerjalanan kisah cinta Gara seorang naval architect muda dengan Arunika mahasiswi magang yang bekerja membantunya. Siapa sangka pertemuan takdir itu mengungkap kisah masa lalu yang dipenuhi kesalahpahaman. Akankah bahtera Gara dan Arunika bisa terus...