45. Belum Terjawab

1K 95 0
                                    

"Mama sering buat kue di rumah ?" tanya Arun.

"Sering ?" Dewi malah balik bertanya.

Mereka berdua menyiapkan bahan-bahan dan peralatan untuk membuat kue. Arun yang tak begitu tahu hanya bisa menjalankan instruksi dari Dewi karena sebelumnya ia tidak pernah melakukan ini.

"Fajar nggak cerita ?" tanya Dewi.

"Ha ? Oh..." Arun sempat zonk. Untuk seperkian detik ia lupa nama suaminya.

"Disini mas Gara biasa dipanggil Fajar ?" tanya Arun.

Dewi mengangguk. "Dari dulu begitu. Tapi kadang ayah manggil dia Gara, soalnya selalu bikin gara-gara"

"Ternyata begitu"

"Kenapa ? Kalau disana temen-temennya gimana ?"

"Semua manggil pake nama Gara. Kayaknya nggak ada yang manggil Fajar" jawab Arun.

"Nama lengkap kamu siapa sayang, maaf mama lupa"

"Arunika Kirana Fazaira" jawab Arun.

"Panggilannya ?"

"Temen-temen manggil Nika. Cuma mas Gara dan papa mama yang manggil Arun"

"Arunika. Ngomong-ngomong nama kamu unik juga. Artinya apa ?"

"Kata mama, Arunika itu matahari terbit. Kirana itu cahaya kalau Fazaira artinya lahir di waktu Fajar" terang Arun.

"Berarti arti nama kalian hampir sama dengan Fajar Kanigara. Sama-sama fajar"

"Iya Ma. Kebetulan aja." Arun menuangkan tepung ke timbangan sambil melihat target berat yang diminta Dewi.

"Nggak ada yang namanya kebetulan. Itu berarti kalian emang jodoh" jawab Dewi sambil memecahkan beberapa telur di atas wadah.

Jodoh ? Arun teringat akan suatu hal. Kali aja mama tahu, mumpung ada kesempatan ngobrol berdua.

"Hmmm...ma." panggil Arun.

"Kenapa ?"

"Aku boleh tanya sesuatu ?"

"Tanya apa ?"

"Soal perjodohan Arun dan mas Gara"

Arun sengaja memanggilkan nama depannya. Sejak tadi Adi juga memanggilnya begitu. Kini ia tak masalah kalau panggilan Arun terucap pada beberapa orang yang kini juga menjadi keluarganya. Dewi menghentikan aktivitasnya. Ia memandang Arun begitu dalam.

"Kenapa ? apakah ada sesuatu ? apa kalian ada masalah ? bukannya Ary tadi melihat kalian mesra di kamar ? bukankah hubungan kalian baik-baik saja ? jangan bilang kalian ingin bercerai ? apa selama ini kalian terpaksa menikah karena menjadi korban perjodohan " Dewi membombardir Arun dengan segala jenis asumsinya. Tampak raut wajah Dewi berubah menjadi khawatir.

"Bu-bukan begitu, Ma" jawab Arun mencoba menenangkan Dewi. "Arun cuma pengen tahu. Soalnya Arun nggak bisa tanya ke mama Amira. Arun hanya penasaran"

"Kamu ini bikin mama jantungan aja" Dewi menghembuskan napas lega.

"Arun pengen tanya ke papa Danu tapi mungkin aja mama Dewi tahu"

Dewi diam sejenak. Dia mencari slot memori yang ditanyakan Arun.

"Kita semua kaget sih waktu Fajar telepon minta pendamping buat ngelamar kamu. Kirain lagi bercanda, soalnya selama ini Fajar nggak pernah cerita kalau punya pacar"

Ha ? Arun ingat dan akan selalu ingat. Saat pertama kali Gara bertamu di rumahnya dan langsung mengajak menikah tanpa proses pengenalan atau pacaran terlebih dahulu. Seminggu setelahnya, Adi, Danu, Dewi, dan Ary datang bertamu sambil membawa seserahan. Di pihaknya, Arun ditemani oleh Hendra, Salma, Ardi dan beberapa kerabat, sesepuh serta pengurus desa sebagai saksi proses lamaran serta penentuan tanggal ijab qabul sekalian resepsi pernikahan. Lucunya, Gara tidak disana karena sedang mengikuti incliningtest yang mengharuskannya berlayar selama beberapa hari. Tuntutan pekerjaan yang tidak bisa ia tolak. Mendengar jawaban Dewi, Arun merasa aneh.

"Papa mama kaget ? bukannya papa Danu ikut menjodohkan Arun dan mas Gara ?"

"Tunggu ya, masih ada lagi satu orang. Keluarga yang belum kamu temui" jawab Dewi tersenyum penuh misteri.

"Oiya, ngomong-ngomong Fajar nggak pernah cerita tentang mama dan keluarga disini ?" Dewi meneruskan kegiatannya lagi.

"Cerita soal apa, ma ?" Arun masih menimbang beberapa jenis tepung yang berbeda.

"Ya seputar pekerjaan, atau masa kecilnya atau yang lain mungkin"

Selama ini Gara tidak bercerita terlalu detail tentang keluarganya. Dia selalu berhasil membuat Arun penasaran bahkan curiga yang tidak-tidak. Nanti aja kalau ketemu langsung, kamu tanya sendiri ke semua orang disana. Jawab Gara bila Arun mendesak ingin mendengar lebih. Malam itu Arun dan Dewi mengobrol banyak hal sambil membuat kue. Sayangnya sudah terlalu malam baru selesai dan acara incip hasil karya mereka berdua itu harus tertunda. Ia tak mau ambil resiko jika berat badannya naik karena terbiasa ngemil malam.

"Mama seneng deh, punya anak cewek gini. Ada yang mau bantuin mama di dapur." ucap Dewi sambil membereskan sisa-sisa hasil berkarya.

"Mbak Ary ?" Arun membantu mencuci peralatan yang habis dipakai.

"Haaah...boro-boro masak. Masuk dapur aja kayak pantangan. Nggak tau deh, kanapa bisa jadi gitu. Mama nih ya, kalau sehari aja nggak bikin kue, rasanya itu stress banget."

"Waaah sama dong ma. Arun kalau lagi stress, bawaannya pengen masak terus. Entah masak apa pokoknya di dapur gitu deh." Arun sudah beradaptasi dan berbicara santai tanpa perlu tegang menghadapi mama mertuanya. Ia senang karena memiliki hobi yang sama dan bisa lebih dekat seperti ini.

"Makanya, disini aja dulu. Nanti mama ajarin kamu bikin kue dan pastry sampai bener-bener mahir"

"Nanti Arun bicarain dulu sama mas Gara. Arun juga masih ada tanggungan di kampus." jawab Arun tidak bisa langsung mengiyakan permintaan Dewi.

"Yaaah, sayang sekali. Tapi usahaain ya tanggal 3 masih disini" bujuk Dewi.

"Memangnya ada agenda apa hari itu , Ma?"

"Peresmian bakery baru. Sekarang mama mau buka usaha sendiri udah resign dari tempat kerja yang dulu. Mama capek, kerja sama orang terus" jawabnya bercanda.

"Serius ma ?"

"Ya begitulah."

"Yaah padahal Arun pengen banget kerja kayak mama, bisa berlayar gratis kemanapun"

"Tenang aja, minta sana sama Fajar sekalian honeymoon. Pasti dikabulin. Mama punya banyak koneksi yang bisa kasih rekomendasi buat kalian."

"Mama yakin melepas pekerjaan itu ?" tanya Arun.

"Memang pekerjaan itu menyenangkan buat mama. Tapi, asalkan mama bisa terus melakukan hobi mama, dimanapun itu tidak masalah. Mama nggak mau menyesal dikemudian hari karena mengabaikan keluarga dan hanya fokus bekerja saja."

Arun menyayangkan hal tersebut. Baru beberapa jam yang lalu ia tahu kalau Dewi adalah seorang pastry chef di sebuah kapal pesiar (cruise ship) kelas dunia. Tapi ternyata kini sudah mengundurkan diri karena ingin membuka usaha sendiri dan ingin lebih dekat dengan keluarga. Pengorbanan yang sepadan demi keluarga. Arun salut dengan keputusan Dewi yang pastinya telah dipikirkan ribuan kali sebelum mengambil aksi.

"Iya ma, semoga bakery mama rame pelanggan, biar mama bisa di dapur terus"

Dewi dan Arun tertawa bersama. Setelah berbenah dan berberes mereka berdua menuju kamar masing-masing menuju suami mereka yang mungkin menggerutu karena menunggu giliran.

Sailing With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang