32. Old Voice

1.1K 107 0
                                    

Suara kaca pecah terdengar nyaring dari kamar mandi. Sambil terburu, Gara membalut dirinya dengan handuk dan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Takut kalau sesuatu yang buruk menimpa Arun yang tengah memasak sarapan di dapur.

“Sayang ada apa ?” tanya Gara.

“Mas...” ucap Arun lirih dengan bibirnya bergetar.

Mata Arun nanar sambil melihat Gara dan seketika itu Arun jatuh ke lantai tepat mengenai pecahan piring yang tadi terjatuh. Tulang kaki Arun terasa lemas hingga tak mampu menopangnya.

“Sayang awas !!!” Gara berteriak memperingatkan, namun terlambat.
Pecahan itu mengenai lutut dan betis Arun yang tidak tertutup kain karena ia menggunakan daster pendek.

Gara mengangkat tubuh Arun, menggendongnya ala bridal style dan membawanya ke kamar. Ia langsung mencari kotak P3K yang seingatnya pernah Arun siapkan. Gara menyemprotkan antiseptic pada lecet-lecet di kaki Arun lantas menutupnya dengan handyplast. Arun menangis. Apakah sesakit itu lukanya ? Gara duduk disebelah Arun, membenamkan kepala istrinya di dada bidang miliknya dan menepuk-nepuk pundak Arun agar dia tenang.

“Cup..cup udah. Sakit banget ya ? kamu tadi kenapa ?” tanya Gara.

“Tadi ada panggilan masuk lagi mas” ungkap Arun.

“Kamu angkat ?” tanya Gara sedikit keras. Arun mengangguk.

“Kenapa diangkat segala ? dia ngomong apa ? ngancam kamu ?” buru Gara dengan pertanyaannya.

Belum sempat Arun jawab, Gara sudah bertanya lagi “Sekarang mana HP kamu ?”

“Kayaknya tadi jatuh di bawah meja dapur”

Gara langsung berdiri untuk mengambilnya. Tak menghiraukan panggilan Arun yang sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu.

“Jefri sialan” umpat Gara sambil berjongkok di dapur mencari ponsel Arun.

Gara mendapati ponsel Arun dalam keadaan mati, mungkin karena terjatuh. Dia lantas menghidupkan ponsel itu dan melihat ke daftar panggilan masuk. Kali ini ada nomor tak dikenal yang tertera disana. Gara menghubungi nomor itu dengan emosi yang tak terbendung lagi.

“Halo dengan siapa saya berbicara ?” tanya suara wanita di seberang dengan nada sopan. Bukan Jefri ya ? Gara mengurungkan niatnya untuk memaki.

“Nomor ini menghubungi saya beberapa menit yang lalu, tapi panggilan terputus tiba-tiba. Apakah anda pemilik nomor ini ? ada keperluan apa ?” tanya Gara sopan.

“Oh maaf. Saya mengangkat ponsel milik pasien yang sekarang sedang dalam kondisi kritis. Di sini tertera nama Arunika, panggilan masuk dari anda. Saya pikir anda adalah wali atau keluarga dari pasien” jelas suara itu.

“Benar. Boleh anda jelaskan apa yang terjadi dengan pasien ? dan dimana keberadaannya sekarang ?”

Gara mendengarkan dengan seksama apa yang tengah dijelaskan oleh wanita diseberang sana yang tak lain adalah perawat. Setelah berterimakasih atas informasi yang didapat, Gara menutup panggilan itu. Dia berjalan ke kamar untuk melihat kondisi Arun.

“Sayang ?” panggil Gara. Arun tak menjawab, dia masih sesenggukan. Gara memeluk Arun.

“Kamu yang sabar ya” hibur Gara. Dia tahu kondisi keluarga Arun, hubungannya dengan sang papa yang tidak begitu baik. Dan kini tiba-tiba terdengar kabar papanya Arun dalam kondisi mengkhawatirkan.

“Mau berangkat sekarang ?”

“Berangkat kemana ?” tanya Arun mulai tenang.

“Papa kamu kritis, kamu nggak pengen njenguk beliau ? ini operasi yang beresiko, kita harus siap dengan kemungkinan terburuknya” jelas Gara.

“APA !” teriak Arun terkejut.

“Lhoh. Bukannya kamu nangis karena denger berita ini ya ?” Gara ikut bingung.

“Aku malah nggak tahu itu mas. Gimana papa ? dimana papa sekarang ?” rengek Arun dengan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Eh...aku keceplosankah ? kok Arun malah nggak tahu ? terus dia tadi kenapa nangis ?

***

Di salah satu bangsal rumah sakit onkologi, seorang pria baruh baya ditemani kedua kakaknya sedang berdiskusi dengan dokter ahli. Mereka membicarakan jadwal operasi pasien yang harus secepatnya dilakukan. Wajah pasien itu tampak khawatir, bukan karena takut akan operasinya karena dia sudah bolak-balik ruang operasi yang tentunya dia sudah kebal akan kondisi tersebut. Dia memikirkan hal lain, seseorang yang dia rindukan dan takut tidak akan bisa ia temui, jika operasi yang ia jalani nanti tidak berjalan dengan lancar.

“Aku sama kakang pulang dulu. Kamu istirahat aja, nanti sore aku balik lagi” pamit wanita yang tak lain adalah mbakyu (kakak perempuan) pasien.

“Iya mbak”

Pria itu kembali sendirian di kamar inap yang cukup luas karena memilih fasilitas VIP. Dia membuka laci meja di sebelahnya dengan agak kesulitan karena tangannya diinfus. Sudah beberapa hari ia mencoba menghubungi putri tersayangnya. Namun perasaan malu dalam dirinya membuatnya ragu-ragu untuk melanjutkan bicara. Terlebih beberapa kali ini, suara yang menerima panggilan teleponnya bukanlah suara yang ingin ia dengar.

Jari-jari tangan yang mulai keriput dimakan usia itu menggeser-geser daftar kontak telepon yang ia simpan. Hingga telunjuk itu terhenti pada sebuah nomor bergambarkan profil seorang gadis berseragam SMP yang tersenyum manis. Itu adalah foto terakhir yang ia ambil saat putrinya memakai seragam baru putih-biru. Ingin sekali ia menemani putrinya tumbuh dewasa, menjadi saksi pubertas menuju remaja, mendukung dan menyemangatinya di ujian masuk perguruan tinggi, bahkan menjadi wali atas pernikahan putrinya kelak.

Pertengkaran batin yang ia alami selama bertahun-tahun ditambah dengan tumor otak yang ia derita saat ini mulai mengkhawatirkan, hampir naik ke stadium 3. Dia sudah menjalani serangkaian terapi untuk pencegahan dan beberapa operasi dini saat tumor itu masih masuk stadium awal, namun ternyata tumor itu terus berkembang.

Tumor yang dulunya jinak dan berkembang dengan lambat, kini terdiagnosa bisa menjadi ganas dan mematikan jika tidak segera ditangani. Operasi yang akan ia jalani adalah operasi penentu, berharap tumor itu berhasil ditangani hingga ke akar-akarnya. Pria itu ingin sekali melupakan semua rasa bersalah dan perasaan malunya sebentar saja, karena rindu melihat wajah cantik putri satu-satunya yang kini pasti telah tumbuh menjadi gadis dewasa.

Tut...tut...tut... hatinya berdebar-debar menunggu seseorang menjawab panggilan itu. Semoga Arunika yang mengangkat telepon.

“Halo ?” jawab suara wanita diseberang sana.

Tanpa sadar pria itu meneteskan airmatanya hanya karena mendengar sebuah kata. Lidahnya kelu. Ia berusaha keras untuk menyahutnya.

“Halo ? dengan siapa ?” tanya wanita itu lagi.

Dengan semua keberanian yang sedikit tersisa, pria itu membulatkan tekad untuk memanggil nama yang sudah lama ia pendam.

“A-run ni-ka..” pria itu akhirnya berucap meski dengan terbata.

“Pa- papa ?” tanya wanita diseberang dengan suara serak.

“Papa kangen kamu, nak”

Terdengar bunyi benda jatuh dan panggilan itu langsung terputus. Dia mencoba menghubunginya lagi namun tidak tersambung.

Apa kamu begitu membenci papa ? maafkan papa yang egois ini.

Perubahan emosi yang mendadak karena beban pikiran barusan, membuat pria itu mengalami kejang tiba-tiba. Ia mencoba menekan bel di samping ranjangnya bila keadaan darurat seperti ini terjadi. Setelah beberapa saat bel ditekan, sejumlah perawat dan dokter, berlarian masuk ke dalam kamar.

Sailing With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang