57. Ayah

1.1K 88 0
                                    

Gara bersandar di balik dinding yang memisahkan dirinya dengan Arun dan Adi yang tengah mengobrol di luar. Ia disana sejak tadi dan hampir mendengarkan semua percakapan mereka.

"Kamu yang sabar ya ngadepin Gara. Kadang dia banyak maunya, sulit menerima sesuatu yang menurutnya tidak sesuai. Gampang nggak cocokan" pesan Adi.

"Iya kek. Tenang aja. Mas Gara aman kok sama Arun" Arun mengiyakan.

Padahal selama ini Arun merasa kalau Gara tidak pernah protes apapun terhadapnya. Gara selalu membuat Arun senang. Apalagi setelah mereka ehem-ehem, Gara semakin lengket dan sangat jinak pada istrinya.

"Gara masih belum selesai ? kereta kalian berangkat jam berapa ?" tanya Adi.

Arun baru sadar kalau ia harus segera bergegas.

"Aduh sampai kelupaan kalau mau pulang sekarang. Keasikan ngobrol sama kakek sih."

Mengetahui Arun akan masuk, Gara berlari menuju kamarnya. Tak lama kemudian Arun dan Adi muncul di ambang pintu.

"Gimana mas ? kok lama banget" tanya Arun.

"Hehe..maaf tadi mules" bohong Gara sambil memegangi perut.

"Ya udah ayo berangkat sekarang" ucap Adi.

"Kakek yakin mau nganter kita ke stasiun ?"

"Yakin" jawab Adi.

Mereka bertiga menaiki mobil menuju stasiun. Gara yang tadi sedikit ragu, ia dibuat terksima oleh kehebatan menyetir kakeknya yang tidak pudar seiring bertambahnya usia. 

###

Seorang pria baru saja selesai memanjatkan doa. Ditaburnya bunga yang masih segar di atas sebuah pusara. Nisan tanpa nama yang berhiaskan tanaman rosella.

"Aku datang, Nita" ucapnya.

"Tidak banyak yang berubah. Aku masih menjalani kehidupan seperti biasa" Dika mulai bercerita.

"Tapi aku senang. Melihat Gara sudah tumbuh dewasa dan bahkan sudah berumah tangga" lanjut Dika di posisi duduk ternyamannya meski hanya beralaskan tanah.

"Anak-anak itu. Ah, maksudku putra dan menantumu. Mereka hidup bahagia, tidak sepertimu atau sepertiku."

"Namun aku bersyukur karena menjadi saksi atas kebahagiaan itu yang akan terus berlangsung. Andai kau disini melihatnya"

"Aku ingin membagikan semua yang ada denganmu"

Dika mengingat yang apa barusan terjadi. Ucapan dari seorang gadis (ralat, dia sudah tidak gadis lagi) yang memeluknya erat dengan semua perkataannya yang mampu meruntuhkan dinding besar yang sangat tebal sebagai bentuk penyesalan yang selama ini terus menghantui.

"Mulai sekarang aku tidak akan menyesali apapun. Berkatnya, aku bisa keluar dari rasa bersalahku" Dika bangkit.

"Oh iya, apa kau keberatan jika aku menyebut Gara sebagai anakku? selama ini aku turut merawat dan membesarkannya. Yaah walaupun kau yang melahirkannya sendiri, tapi jangan lupa aku juga membantumu. "

Angin lembut menyapu, hingga menggerak-gerakkan tanaman  yang ada. Bahkan sempat menggugurkan beberapa bunga. Dika memungutnya. Hatinya terasa begitu teduh.

"Kuanggap itu sebagai jawabanmu" ujarnya tersenyum.

"Meski sangat sebentar aku mengenalmu, kau telah memberikan kebahagian besar dalam hidupku. Terimakasih Nita"

"Karenamu, aku bisa tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ayah tanpa pernah menikah"

"Aku pergi ya ? Tapi aku pasti akan kembali"

"Aku janji akan selalu kembali. Hingga suatu hari nanti hanya ragaku saja yang tersisa. Aku akan menemanimu, berbaring disini"

"Tapi sebelum itu, ada tempat lain yang harus ku kunjungi. Bersabarlah, jangan buru-buru memintaku datang."

"Tenang saja aku pasti menepati janjiku. Kau tidak perlu cemburu"

Dika pergi meninggalkan area pemakaman dengan perasaan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya setiap ia berkunjung kesana. Perasaan lega. Tanpa beban. Tanpa penyesalan. Setelah sekian lama, akhirnya ia menerima untuk berdamai dengan masa lalunya.

Sailing With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang