Kamis, disaat jam menunjukkan pukul tujuh lewat limabelas menit, Aku berdiri didepan gerbang yang sudah terkunci rapat oleh gembok sekolah dari dalam. Aku merutuki diriku sendiri yang sudah melakukan kesalahan.
'Aiiiiiih gimana dong.' rutukku dalam hati.
"Lo telat?" Sahut seseorang yang entah dari mana datangnya.
Aku mencoba mencari arah suara. Tampak seorang laki-laki yang sedang berdiri dengan minuman soda kaleng di tangannya. Aku terbelalak di saat melihatnya.
'Dia' Batinku terkejut.
"Lo bisu?" Tanyanya lagi lalu mendekat padaku.
Aku mulai gemetar dan jantungku mulai berdebar lebih cepat. Ntah kenapa bisa begini, Aku juga tak paham. Namun, aku berusaha untuk tetap stabil dan biasa saja. Disaat dia sudah kurang selangkah lagi di depanku dia menundukkan wajahnya mendekat kepadaku. Aku berpaling ke kanan untuk menjauhi wajahnya.
"Lo beneran bisu? Gua udah tanya beberapa kali ga lu jawab lhoo." Tanya nya lagi heran.
"Iya gue telat dan gue ga bisu." Jawabku sedikit gemetar. Dia menjauhkan wajahnya dari ku lalu melipat kedua tangannya di dada.
"Nah, dari tadi kek ngomong. Kan gua tau lu telat apa diusir gitu." Ucapnya santai.
"Mau masuk ga?" Katanya santai. Sontak membuatku kaget dan langsung membelalakkan mataku.
"Santai-santai... gua ga bakalan ngapa-ngapain lu kok. Mau masuk ga?" Ucapnya terkekeh.
"Gimana bisa masuk?" Tanyaku padanya sedikit ragu.
"Ikut gua!" Perintahnya tiba-tiba dan langsung mengambil tanganku membawaku ke gerbang belakang sekolah yg yaaaa lumayan tinggi.
"Maksud lu kita manjat gitu?" Tanyaku.
"Kita. Lu aja kali sendiri. Hahahahahaah". dia tertawa puas.
"Sumpah ga lucu." Kataku sambil memutar bola mata.
"Iya iya maap.. kita ga manjat kok tuh ada pohon berakar panjang.. dan tuh ada tangga." Tunjuknya mantap.
"Lu duluan apa gua duluan?" Tanyanya pada ku.
"Lu aja." Jawabku ragu.
"Dih... bege deh lu. Ya ellu lah yg duluan, baru gua. Kalo lu jatuh gimana kan gada yg megangin nih tangga." Jawabnya sambil memperbaiki posisi tangga. Aku berpikir.
'Bener juga siiii katanya. Tapi keenakan dia lah..' pikir ku lagi.
"Ayooo manjat!" Perintahnya dengan memegang erat tangga itu.
"Mmmm.. lu jangan liat ke atas disaat gua manjat bisa kan!" Kini aku yang memerintahnya.
"Iyaaaaa. Sono cepet manjat!" Ucapnya lagi
"Emang gada guru yang bakalan liat?" Tanyaku heran.
"Banyak bacot, gue pergi nih ga jadi bantu." Pekiknya lagi lalu berpura-pura ingin pergi.
"Jangan weiiii.. iya iya gue manjat nih. Tapi janji jangan liat ke atas. Janji."
"IYAAAAAAAA, UDAH PERCAYA KAN UDIN?" ucapnya meyakinkan ku.
Aku menaiki tangga itu satu persatu. Untungnya aku memakai celana dalam yang panjang. Satu persatu anak tangga ku lewati dan akhirnya aku sampai di puncak tembok nya. Aku menoleh ke bawah untuk mengajaknya masuk juga. Tapi, tidak ada tanda-tanda dia di bawah. Hanya ada botol kaleng yang mungkin sudah habis isinya.
Aku turun lewat akar pohon yang panjang dan menempel ke tembok sekolah sehingga mudah untuk menuruninya.
Setelah sampai di bawah aku melihat situasi sekolah sudah tak ramai lagi. Tak ada satu pun murid yg ada di luar hanya beberapa osis dengan almet khasnya yang mungkin berjaga. Aku bingung harus apa. Tanpa sengaja aku melihat Inara sedang berjalan ke arahku. Yaaa, Inara salah satu osis di sekolahku.
"Inaaaaa, Inaraaaaa" panggilku hati-hati pada Inara takut ada yang mendengarnya. Inara yang telah mendengar panggilanku langsung mendekat ke arahku.
"Lah lu ngapain disini Ra?" Tanya nya.
"Gua telat dan panjang ceritanya.. gua mohon bantuin gua" ucapku sendu pada Inara. Inara yang banyak ide langsung sigap berpura-pura memegang tas ku dan merangkul ku seperti sedang membawa orang sakit ke uks.
"Ayok!" Perintahnya. Aku langsung mengikuti dia dengan berpura-pura sakit.
Sesampainya di depan kelasku masih belum ada tanda-tanda guru masuk. Kelasku masih rusuh dengan tugas rumah sejarah dua hari yang lalu. Selama di perjalanan tadi, tak ada yg mencurigaiku. Ini semua sebab Inara adalah murid teladan. Semua orang yang melihat Kami hanya diam dan tak ada rasa curiga.
Jam istirahat sudah tiba, aku masih di dalam kelasku dengan Zefanya yang masih menatapku menuntut penjelasan.
“Lo beneran tadi telat?” tanya Zefanya kepadaku.
“heem.” jawabku santai.
“Bisa-bisanya lu telat. kenapa?” tanya Zefanya heran.
“Mungkin lagi mimpi enak kali.” sela Inara tiba-tiba masuk ke kelas.
“Hih sa’ Ae lu In. tapi emang bener?” ucap Zefanya masih tak percaya.
“Lu percaya sama Inara berdosa lu…” Ucap ku kekeh lalu keluar kelas tanpa menghiraukan kedua temanku itu. mereka mengejarku dan berjalan di sampingku.
“Yang bener ih.. gue serius nih.” Zefanya tetap kekeh dan penasaran dengan ku, kenapa aku bisa telat.
“Ceritanya panjang. gue laper mending cerita sambil makan yok.” ajakku kepada kedua anak rusuh ini.
“Gass” ucap Inara Semangat.
kami bertiga memilih meja kosong yang biasa kami tempati. tidak terlalu sampai pojok hanya saja kami ingin terkena angin segar setelah pusing memikirkan pelajaran.
“Gue yang pesenin baksonya yee.. seperti biasakan kalian?” tawar Zefanya kami berdua hanya mengangguk meng-iyakan.
“Lo kenapa ga ke ruangan osis?” tanyaku kepada Inara yang biasanya sibuk dengan rapat osis.
“Gaaaa.. kan udah ada pengganti wakil ketos, jadi ngapain gua kesana.” ucapnya dengan mata malas seperti baru begadang.
“Lemes banget kek kerupuk keanginan.” ucap ku miris kepada Inara yang tertunduk lesu.“Sa’ Ae lu ubur-ubur.” ucapnya tak terlalu nyaring.
“Hisss”
selama lima belas menit kami menunggu bakso pesenan kami dan akhirnya datang juga dibawakan oleh bang Ayyub sang penjual. selama itu juga aku menceritakan kenapa aku telat dan siapa yang membantuku.
“Waaaaaaaaaaah si Chairaaaaaa.. bisa-bisanye lu diselametin sama pangeran ubur-ubur.. hahahahahahaha” ini adalah reaksi Inara yang terlalu berlebihan dan membuatku merasa geli.
“Gue pikir pahlawannya disini cuman gue loh.” sambungnya lagi. aku hanya diam dengan wajah datar yang ku tampilkan disaat merasa jijik dengan sikap Inara.
“Lo tau tuh cowok siapa?” tanya Zefanya kepadaku.
“Sayangnya gue gatau. gue juga lupa melihat tanda nama di dadanya.” jawabku sambil memasukkan bakso ikan yang berukuran kecil kedalam mulutku. yaaaaa, aku tak suka daging. bukan alergi, tapi memang tak suka serasa memakan hal yang ingin ku muntahkan jika memakan daging. dan untungnya bang Ayyub menyediakan dua varian bakso. bakso daging dan ikan.
“Haiiiiiiiiiiiih susah kalo gini jadinya.” saut Inara
“Apanya yang susah?” tanya Zefa.
“Lo udah bilang makasih?” tanya Inara tiba-tiba, dan yaaaaah benar sekali ucapan Inara aku belum menucapkan terima kasih kepada anak itu.
‘Astagfirullah bener juga.. trus gimana dong. mana gatau dia kelas sebelas apa’ pikirku lalu aku mulai dengan kebiasaan burukku melamun.
“Noh kan kebiasaannya kambuh.” Inara mulai risih dengan kebiasaanku lagi. Zefanya yang duduk di sampingku mengayunkan tangannya kearah wajahku.
“Oy!” kejut Inara, sontak membuatku kaget. Bukan aku saja yang terkejut tapi orang di sekitar meja kami ikut kaget dengan teriakan yang seperti laki-laki.
Hai...
Ini revisian dari ceritaku...
Yuks kepoin terus.
Jangan lupa voment..
Happy reading readers😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Minimum (AiRa) (End)
Random"Aighaaaaaaaam!" Teriak Chaira frustasi. Melihat Aigham tidur disaat belajar bersama di rumah Chaira. "Parah sih Aigham." Lirih Zefanya tersenyum miris. Chaira menggoyangkan tubuh Aigham yang tidur di atas buku. "Banguuuuuuuun." Aigham masih saja...