Harvard

10 3 1
                                    

Hari ini, adalah hari dimana Inara akan pergi mengejar mimpinya di Universitas Harvard. Dia sedang bersiap-siap dengan sekoper besar yang isinya adalah kebutuhan sekunder. Koper sedang untuk kebutuhan belajarnya, tas selempang, laptop, dan banyak lagi barang yang ia bawa.
"Banyak banget neng barangnya. Mau pindahan? Kenapa ga sekalian nih rumah bawa. Hehehe" goda Syevan kakak kandung Inara.
"Apa sih bang." Lirih Inara masih sibuk mengemasi barang-barang.
"Bakalan gada yang tereak-tereak ga jelas lagi dong disini." Ucap Syevan melihat sekitar kamar Inara yang hampir kosong tanpa barang-barang.
"Abaaaaaang udah deh gausah godain adek." Ucap Daisy di ambang pintu.
"Hehe.. nggak kok Mah." cengir Syevan menggaruk-garuk kepala belakangnya yang tak gatal.
Daisy mendekati kedua anaknya itu lalu merengkuh mereka berdua kedalam pelukannya.
"Kalian anak Mamah yang paling Mamah sayang." Ucapnya sendu penuh kasih sayang. Pelukannya di balas balik oleh kedua anaknya.

*************
3 hari sebelum Inara berangkat melanjutkan pendidikannya. Inara bertemu dengan Aiman di lapangan basket. Saat itu, Aiman sedang bermain sendiri dan Inara sedang berjalan-jalan sore.
Aiman mendribling bola pantul itu ke tanah lalu melemparnya ke dalam ring.
"Argggghhhhhhhhh." Teriak Aiman frustasi. Mengacak-acak rambutnya lalu bertekuk lutut. Inara yang melihat kejadian itu langsung kaget dan ingin sekali menenangkan Aiman. Tak berhenti sampai disitu, Aiman menangis sendu seperti orang yang sedang mengeluarkan masalahnya. Kini, Inara memberanikan diri untuk mendekat dan melihat keadaan  Aiman. Inara berdiri di depan Aiman yang sedang menunduk. tanah semen yang dia tunduki basah karena air mata yang mengalir dari matanya.
"Ngapain lo kesini?" Tanya Aiman menahan isakan.
"GUE TANYA NGAPAIN LO KESINI?" sentak Aiman mendongak dengan wajah kaku penuh emosi, namun air matanya tak bisa berbohong.
"Oke... kek nya lo gak butuh kehadiran siapa pun." Jawab Inara paham akan keadaan Aiman. Lalu, pergi menjauhi Aiman. Tapi, tangan Inara berhasil Aiman cegah untuk menjauh.
"Gue butuh.." lirih Aiman menggantung. "Gue butuh elo." Ucapnya tegas. Inara terkejut, jantungnya berdebar tak beraturan. Inara mencoba untuk normal dan stay untuk tindakan Aiman selanjutnya. Aiman berdiri di samping Inara, mencoba untuk tenang. Aiman sangat lemah saat ini, Inara merasakan tangan Aiman gemetar. Inara mengerti dan paham apa yang dibutuhkan Aiman, pelukan. Ya, hanya pelukan untuk menguatkan dan memberi kekuatan. namun, tanpa aba-aba Aiman sudah merengkuh Inara kedalam pelukannya.
"Lo kenapa?" tanya Inara bingung wajahnya mencoba untuk terlihat. namun Aiman semakin mengeratkan pelukannya.
"Biarin posisi ini, gue lagi butuh." pinta Aiman menutup matanya. Inara bingung harus membalas atau tidak. namun, dia tau Aiman mungkin sedang membutuhkan kekuatan.
Aiman mulai melepas pelukan. semua melenggang dan suasana menjadi canggung. Aiman melihat Inara sedang kebingungan.
"Ss..so..sorry." ucapnya terbata-bata dan canggung. Inara hanya tersenyum manis di depannya. Aiman yang melihat respon manis Inara langsung merasa ada guncangan aneh di jantungnya. Jantung Aiman tak tenang, dia gemetar. senyuman Inara terlalu manis. Lalu, senyuman manis itu mulai datar dan hilang, berubah menjadi wajah khawatir.
"Lo tadi, baik-baik aja kan?" ucap Inara.
"Gue gapapa, Gue baik-baik aja. gue cuman lagi kangen kakek gue." jelas Aiman canggung.
"Mmmmmm.. Lo salah kalo cara kangen lo kek gini. Lo cuman bikin kakek lo khawatir sama lo. btw kakek lo dimana?" Aiman sadar dengan ucapan Inara. dia diam disaat Inara menanyakan keberadaan kakeknya. "Mau duduk? biar enak bicaranya." tawar Inara sopan. Aiman mengangguk.
Setelah sudah menemukan tempat nyaman untuk bercerita. Aiman mulai membuka pembicaraan.
"Kakek gue udah meninggal." Ucap Aiman datar.
Inara diam, dia terkejut dengan fakta yang Aiman katakan. "Maaf, gue ga tau soal itu." mohon Inara tak nyaman.
"Gapapa, makasih juga udah mau redain emosi gue." jawab Aiman. "Aneh,.." ucap Aiman gantung.
"Aneh kenapa?" tanya Inara tak mengerti.
"Gue biasanya kalo udah emosi, susah buat ngontrolnya. kecuali, kakek dateng dan meluk gue. tapi, ini lo. tiba-tiba dateng, gue biasanya ngelampiasin amarah gue ke siapapun orang yang ada di depan gue. tapi, kenapa ke lo beda?"
Ujar Aiman heran, dengan peristiwa yang terjadi tadi. Dia memandang Inara yang juga sedang bingung.
"Mungkin emang hanya pelukan yang buat lu tenang." Ucap Inara tersenyum. Aiman gemetar disaat melihat senyuman tulus Inara. Jantungnya tak terkendali. Dia mulai bergetar, namun kali ini bukan karena emosi.  Entah mengapa rasanya Aiman ingin kabur dari bumi sekarang juga. Detak jantungnya mulai terasa dua kali lebih cepat, seperti orang yang sedang berlari.
'DAMN!... JANTUNG GUE.' Geram Aiman. Wajahnya memerah, kedua tangannya mengepal erat menimbulkan urat tangannya nampak. 'GUE HARUS PERGI DARI SINI, ATAU GUE BISA MATIII.' Aiman berdiri dari duduknya. Inara melihat Aiman heran.
"Kenapa Ai?" Tanya Inara ikut berdiri.
"Gue harus balik, ceritanya gue lanjut di telfon nanti. Oya nanti gue mau telfon lo. Tolong diangkat yah." Ujar Aiman terburu-buru. Inara hanya melihat nanar Aiman bingung.
"Aneh." Heran Inara. Lalu, pergi dari lapangan.
***
Matahari telah tenggelam menidurkan dirinya yang kini berganti rembulan. Aiman benar-benar menelfon Inara saat ini. Mereka sedang membicarakan Universitas yang akan mereka datangi untuk menuntut ilmu. Ternyata tujuan Universitas mereka berdua sama.
"HARVARD" Ucap mereka bersamaan dalam sambungan telfon.
"Kok sama?" Tanya Inara.
"Lah, gue udah daftar. Waktu kita pertama kali ketemu dua minggu lalu, gue udah daftar. Terima tawaran abi sama nerima beasiswa dari pemerintah." Jelas Aiman.
"Ga kerasa yah.. bentar lagi pergantian tahun ajaran aja. Temen gue besok udah masuk sekolah. Untung gue berangkatnya malem. Kalo enggak, gue bakalan ga ketemu mereka." Ujar Inara sedih campur bahagia.
"Perjalanan manusia ga selamanya bakalan bareng terus. Ada waktunya mereka harus berpisah, meskipun hanya 5 detik." Tutur Aiman halus. Inara tak menyangka Aiman bisa bicara sebanyak ini.
"Gue kaget." Ucap Inara sengaja menggangtung.
"Kaget kenapa?" Tanya Aiman bingung.
"Kalo lo itu lucu juga ternyata. Hehehe.." ucap Inara tertawa kecil.
"Lo ketawa?" Tanya Aiman.
"Iya, kenapa?" Tanya balik Inara bingung. Raut wajahnya seketika berubah takut. Inara takut Aiman marah jika dia tertawa.
"Kurangin ketawa, Jantung gue keganggu pas lu ketawa.." ujar polos Aiman. Mata Inara langsung membesar lalu berubah menjadi raut wajah seperti orang ragu. Alis Inara hampir sangat dekat dan menyatu. Dia terlalu bingung untuk mengerti.
"Udaaah lupain. Gue becanda." Ucap Aiman menetralkan suasana yang mulai agak memanas oleh ucapan Aiman.
"Inaaaa," panggi Daisy dari luar kamar.
"Iya, Mah. Ai, Gue makan dulu yah. Lanjut besok. Daaaah. Assalamu'alaikum." 'Tut tut tut' Inara langsung memutuskan sambungannya sebelum Aiman menjawab salamnya.
"Wa'alaikumussalam." Lirih Aiman menjawab salam Inara dengan lesu.
Flashback off...

***

Revisian sudah selesai.. hayooo dibacaaa..
Yuks kepoin terus!

Minimum (AiRa) (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang