Chaira sedang berpikir bagaimana beralasan terbaik kepada orang tuanya. Sampai dia merasa frustasi, meninggalkan Aigham sendiri disaat seperti ini sangat memberi beban pikirannya.
"Makin gila nih gua kalo ga langsung ngomong ke Bunda." Monolognya kesal. Chaira merogoh handphone nya dari saku celananya dan mencari log panggilan yang ia berinama Bunda. Setelah menemukannya, Chaira langsung menghubungi nomor kontak itu. Tak butuh waktu lama panggilan itu langsung di terima oleh Megan.
"Assalamu'alaikum, Ndok? Kunaon?" Tanya nya lembut seperti seorang ibu biasanya.
"Mmmmm, Bund. Chaira mo nginep di rumah temen boleh ga bund?" Ujar Chaira ragu.
" Bade mondok dimana teh? Atos wengi kieu." Ujar Megan khawatir.
" Chaira ngendong di bumina Zefanya, sakantenan bade ngerjakeun tugas, bunda."
" Tadi kan, bunda udah nyarios enging wengi teuing." Ujar bunda mengingatkan.
" Tapi bun ini mendadak. Chaira harus selesai wengi ayeuna,wios nya bun. chaira janji enying langsung uih." Mohon Chaira.
" Yaudah, bunda izinin. Tapi, kade jaga kelakuan, cing sopan ke orang rumah diditu. Jaga babasaan, ulah begadang juga." Pinta Megan.
"Makasiiiiiiih, Bunda. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, jaga kelakuan." Ujar Megan mengingatkan.
"Siap." Jawab Chaira semangat, lalu memutuskan hubungan telfon.
"Hufffffffffffft." Desahnya lesu. Chaira menatap Aigham yang sedang tertidur lelap. 'Gua ga habis pikir sama keluarga lo Gham. Apa lo jadi nakal karna keluarga lo ga pernah perduli sama lo?' Pikir Chaira melamun.
***
Seorang kolektor besar sedang dalam keadaan gundah dan sedih si meja besarnya. Di istana nya yang penuh dengan kerlipan duniawi yang telah dia dapatkan dengan penuh usaha. Kursinya yang besar dan lembut sudah tak berguna untuknya saat ini. Dia menghadap kearah jendela besar yang ada pada ruangannya. Menampakkan keramaian kota Jepang yang sedang Ia pandang. Kota maju penuh kerlipan dunia. Namun, kini sudah terasa asing baginya. Pikirannya berkecamuk untuk menentukan arah jalannya. Hingga Akhirnya Adzan Subuh berkumandang lewat radio yang ada di meja besarnya. Adzan Subuh selalu hadir di radio itu. Biasanya, Kolektor besar ini selalu mengubah acara radio yang memperdengarkan Adzan. Namun, kali ini berbeda. Dia merindukan suara panggilan Sang Khaliq.
"Sudah berapa lama aku tidak Sholat?" Tanya nya pada diri sendiri. Kini dia bersedih merindukan Ibadah spiritual yang mengikat batinnya sejak dia lahir. Namun, sejak dia menjadi orang besar dan Istrinya meninggal dunia. Dia menjadi lupa bagaimana mengikat batinnya lagi.
"Ya Allah. Maaf kan Hamba Mu ini yang penuh dosa. Apakah Hamba Mu ini, masih bisa kembali kepadamu." Ujarnya
Sedih dan pilu. Dia merasa sulit untuk bernafas, Kolektor besar ini, kini lemah. Sampai akhirnya salah satu pelayannya datang. Pelayan itu langsung menghampirinya karena cemas kepada keadaannya.
"Tuan mau saya ambilkan obat?" Tanya nya khawatir.
"Tidak. Ambilkan aku sajadah dan peci di lemariku." Perintahnya lemah. Di salah satu bingkai fotonya terdapat gambar keluarga kecil bahagia yang dulu pernah ia rasakan. "Maafkan aku, aku lupa akan janjiku padamu. Raisya, maafkan aku yang lupa mengirimkan Al-fatihah untukmu. Maaf, bila aku tak mendidik anakku secara baik. Kini, aku berjanji pada diriku. Aku akan mendidik Aigham sampai dia menjadi orang baik dan murah hati sepertimu." Monolognya memeluk bingkai itu.
"Ini tuan." Ujar pelayan memberikan alat Sholat pada Kolektor itu. "Apa ada yang perlu saya bantu lagi tuan?" Tanya pelayan itu lagi.
"Siapkan penerbangan ku secepatnya ke Indonesia." Perintahnya.
"Baik tuan." Jawab pelayan itu, lalu pergi.
"Ayah pulang Nak. Kamu harus bisa bertahan." Ucapnya yakin pada dirinya sendiri.
**************
Jam menunjukkan pukul 02.57 dini hari. Chaira terbangun karena kedinginan. Setelah berhasil membujuk Megan untuk menginap dengan alasan ada tugas. Chaira menjadi perawat pribadi Aigham yang waspada. Mulai dari mengecek selan infus, sampai memeriksa detak nadi Aigham.
"Udah mau jam 3 aja." Ujarnya melihat jam tangannya. "Mending Sholat nih. Tapi, disini ada mukenah ga ya?" Ujarnya berpikir. Chaira mencoba keluar dari ruangan rawat Aigham, berharap ada Mushola disini dan sudah menyediakan Mukena. Dia melewati lorong rumah sakit, sampai dia tiba di ruang administrasi. Disana, ada seorang perawat yang mungkin sedang berjaga malam ini.
"Permisi sus."
"Iya mbak, ada yang bisa saya bantu?"
"Disini ada Mushola ga sus?"
"Ada kok, mbak tinggal lurus aja kesana. Di bagian kanan ada tempat wudhu' sama Mushola." Tunjuk suster itu.
"Ada mukenanya juga kan sus? Trus boleh saya bawa ke ruangan yang disana?"
"Boleh kok mbak, Asalkan setelah memakai langsung di kembalikan di tempat semula."
"Ohh.. iya sus, makasih ya sus."
"Sama-sama mbak." Jawab suster itu ramah.
Chaira langsung mendatangi tempat itu, dan benar saja sudah lengkap. Chaira langsung berwudhu' dan mengambil alat Sholat. Lalu, langsung pergi keruangan rawat Aigham dan langsung melaksanakan Sholat Sunah di samping kanan ranjang Aigham.
"Shhhhh" desah Aigham mulai sadar.
"Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh"
Aigham mendengar lantunan ayat Sholat yang sedang Chaira laksanakan. Kepala Aigham sedikiti berat untuk bergerak. Tangan bagian kanan pun susah untuk bergerak karena sakit dan menjadi tempat dimana tranfusi darah dialirkan. Aigham berusaha bangun untuk melihat suara siapa kah itu. Tangan kiri Aigham sudah bisa bergerak, kini dengan bantuan tangan kirinya, Aigham mulai berusaga berdiri. Namun sayang, tangan kirinya masih lemah untuk menahan beban Aigham, sehingga Aigham merasa nyeri di bagian pergelangan tangan.
"Aww." Teriaknya kesakitan.
Chaira yang mendengar teriakan Aigham langsung sigap berdiri dan melihat keadaannya.
"Lo gapapa?" Tanya Chaira khawatir.
"Elo?!" Tunjuk Aigham kaget.
"Gue? Kenapa?"
"Kok bisa ada disini sih?"
"Ya bisalah." Jawab Inara. "Makanya kalo banyak masalah, jangan curhatan sama Aspal. Diajak ciuman kan."
"Siapa juga yang mau ciuman sama aspal." Sewot Aigham.
"Lah ini apa? Hadeuuuuuh sampek butuh tranfusi darah, lu vampir?" Tuding Chaira.
"meskipun gue vampir, gue gamau ngisep darah kotor elo." Ejek Aigham.
"Padahal sakit, masih aja nakalnya ada."
"Heh yang sakit itu cuman fisik gue. Batin gue masih sehat."
"Kupikir kau tak punya batin." Nyinyir Chaira.
"Apa lo-Awww." Jerit Aigham kesakitan tak sengaja mengangkat paksa tangan kanannya.
"Eh, lo gapapa kan?!" Chaira sepontan dan panik mengelus tangan Aigham. Aigham yang melihat tindakan Chaira yang tak disangka itu langsung kaget.
"Maaf." Lirih Aigham.
"Kenapa?"
"Gue ngerepotin elo."
"Ga kok."
"Pasti yang nemuin gue itu, elo." Ucapnya tak enak hati.
"Siapapun yang nemuin elo,Yang penting lo gapapa." Ucap Chaira manis.
"Sebenernya gue ga kecelakaan." Ucap Aigham terus terang.
"Trus, kenapa sampek begini?" Tanya Chaira penasaran.
"Gue di keroyok sama preman suruhannya Albhar."
"KAK ALBHAR!" Jerit Chaira kaget.
"Jangan ngegas gitu neng. Gue masih pengen punya jantung."
"Masalah apa sii, kok bisa sampek gini?" Tanya Chaira tah habis pikir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Minimum (AiRa) (End)
Random"Aighaaaaaaaam!" Teriak Chaira frustasi. Melihat Aigham tidur disaat belajar bersama di rumah Chaira. "Parah sih Aigham." Lirih Zefanya tersenyum miris. Chaira menggoyangkan tubuh Aigham yang tidur di atas buku. "Banguuuuuuuun." Aigham masih saja...