Inara sudah sampai di negeri tempat ia akan melanjutkan pendidikan.
"Apa harapan lo di negara orang ini?" Tanya Aiman
"Gue mau, keluarga gue maju dan ga di pandang rendah." Jawab Inara yakin.
"Lo tinggal di salah satu apartemen disini kan?" Tanya Aiman.
"Iya, biar deket sama kampus."
"Sebelah kamar lo, itu kamar gue." Ujar Aiman.
"Oooh. Heh, kok bisa?" kejut Inara yang awalnya tak sadar.
"Bisa lah, kan gue pesen khusus jalur dalem." Ucap Aiman sombong.
"Pftttt, hahahaha. Lo suka ngelawak juga ternyata Ai." ujar Inara tertawa. Aiman bingung dengan sifat Inara, padahal ucapannya serius. Inara masih tertawa geli.
"Gue? Ngelawak?"
"Iya, lucu juga ternyata yah. Hadeh, hufttt capek." Desah Inara menghentikan tawanya.
"Mau minum?" Tawar Aiman. Inara mengangguk meng-iyakan.
Mereka berjalan mengelilingi kota Cambridge. Mulai dari berjalan kaki, melihat sungai, dan masuk ke dalam cafe.
"Akhirnya nyampek juga." Ujar Inara lega. Setelah banyak perjalanan yang mereka lalui.
"Yaudah, sekarang lo masuk aja ke kamar. Istirahat, besok udah mulai kuliah."
"Iya, lo sendiri mau kemana?"
"Ada urusan bentar. Gue pasti balik!"
"Yakali lu ga balik Ai."
"Ehehehe, yaudah. Gue pergi dulu, lo istirahar aja."
Aiman pun pergi menjauh dari Inara.
"Shhhhhhh, dingin banget." Desah Inara tak tahan. Dia langsung lari masuk kedalam kamarnya.
Di kamar Apartemen, Inara sedang bersantai dengan laptop di depannya. Menyeruput teh hijau yang hangat.
"Aduh, iya gue lupa ga ngirimin email ke abang."
Inara langsung membuka akun emailnya dan mengirimkan alamat Apartemennya dan nomor hp yang bisa di hubungi.
"Semoga dibaca." Harap Inara.
*************
Chaira sudah kembali dengan seporsi soto ayam yang di inginkan Aigham.
"Nah, Gham jangan ngerengek lagi." Ujarnya membuka pintu. Namun langkah Chaira terhenti, dia melihat Aigham sedang di peluk oleh seseorang yang berpakaian sangat rapi bak direktor besar.
"Permisi?"
"Eh, Chaira. Lo udah dateng." Ujar Aigham melepas pelukannya.
"Ini Chaira?!" Tanya orang itu penasaran.
"Iya, Yah.." jawab Aigham.
'Ayah!' Batin Chaira terkejut.
"Makasih ya. Karena kamu, Om bisa balik ke Indonesia."
"O-oh, iya Om. Maaf juga aku sedikit emosi tadi malem."
"Gapapa, Om juga yang salah. Makasih yah, udah jagain Aigham." Ucapnya bersyukur.
"Soto gua dah dateng?" Tanya Aigham menyela.
"Eh iya, udah kok. Bentar, gua siapin dulu."
Sebari menunggu Chaira menyiapkan makanan, Ayah Aigham terus memandang Chaira dengan takjub. Aigham yang tau Ayahnya sedang memperhatikan Chaira langsung merasa ada hal aneh.
'Ayah kenapa liatin Chaira mulu ya? Jangan-jangan suka lagi, trus nanti gue jadi anak tirinya Chaira.' Batinnya ngeri.
"NO!" Jerit Aigham tiba-tiba. Membuat Chaira dan Ayahnya kaget.
"Gham, lo gapapa kan." Tanya Chaira panik.
"Ah, Mmmm ng-nggak kok gapapa. Cuman pikiran gua lagi panik." Ujar Aigham gugup.
"Nih, soto ayamnya dah jadi."
"Makasih ya, Ra!"
Tiba-tiba handphone Chaira berdering di saku celananya.
"Mmm, bentar ya. Gue angkat dulu, lo makan yah sampe habis."
"Iya." Jawab Aigham.
Chaira menjauhi Aigham dan Ayahnya lalu mengangkat telfon.
"Cantik, baik, sopan lagi." Ujar Ayah Aigham memuji.
"Trus kalo emang bener kenapa yah?" Tanya Aigham sensi.
"Cocok."
"APA!? Uhuk,uhuk,uhuk. Air yah!" Jerit Aigham kaget, lalu tersedak kuah soto yang tak sengaja masuk kerongga pernafasannya.
"Kalo makan hati-hati."
"Ayah Gila!"
"Kurang ajar kamu! Bilang Ayahmu gila."
"Bukan itu Yah, Ayah mau nikahin Chaira?" Tanya Aigham ragu, tak terima.
"Ishhhhhhh, kamu ini polos banget ya. Mana mau Chaira sama Ayah. Nanti jadi nikah paksa."
"Makanya itu. Satu aja, ibu tiri Aigham." Cercahnya.
"Astaga Igham. Bukan itu maksud Ayah."
"Trus?!"
"Om-Gham. Aku pulang dulu ya." Pamit Chaira menyela pembicaraan Aigham dan Ayahnya.
"Kenapa, nak?"
"Saya harus sekolah om, Insyaa Allah nanti saya kesini buat liat keadaannya Aigham. Aigham cepet sembuh ya, sorry gue tinggal dulu, jangan lupa minum obatnya." Ujar Chaira Mengingatkan.
"Iya, lo hati-hati."
"Iya, saya pergi dulu om. Assalamu'alaikum." Pamit Chaira pergi meninggalkan ruang rawat Aigham.
"Sama seperti Mamah kamu, Gham." Ujar Ayahnya lagi takjub.
"Ayah! Jangan yang aneh-aneh deh. Chaira tuh temennya Aigham."
"Emang kenapa kalo temenmu?" Sindir Ayahnya.
"Ya masak, Ayah mau nikahin cewek seumuran aku?!"
"Kamu ini, enggak lah! Maksud ayah dia tuh cocok sama kamu, bukan sama Ayah. Su'udzon mulu, heeeh."
"Hah?! Apaan sih Ayah." Jerit Aigham terkejut dan keki.
"Hayooo, kamu suka kan, sama dia? Tuh, tuh. Pipi kamu merah." Goda Ayahnya. Aigham yang juga merasa pipinya sedikit panas langsung menyentuh kedua pipinya memastikan.
"Maluuuu ni." Goda Ayahnya lagi.
"Duh, apaan sih Yah. Aku sama dia cuman temen. Tau ah males makan." Ujar Aigham malas.
'Apa iya, pipi gue merah? Tapi kok kerasa panas ya? Dih apaan sih, Ayah dateng-dateng malah ngejek gue.' Batinnya bingung.
"Udah, Abisin makannya. Jangan mikirin Chaira mulu, nanti Chaira khawatir lhoo sama kamu. Hahahahaha." Ujar Ayahnya masih menggoda sambil tertawa renyah.
"Apaan sih, Yah." Cercah Aigham. Ayahnya masih tetap tertawa renyah melihat kelakuan anak nakalnya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Minimum (AiRa) (End)
Acak"Aighaaaaaaaam!" Teriak Chaira frustasi. Melihat Aigham tidur disaat belajar bersama di rumah Chaira. "Parah sih Aigham." Lirih Zefanya tersenyum miris. Chaira menggoyangkan tubuh Aigham yang tidur di atas buku. "Banguuuuuuuun." Aigham masih saja...