"Lurus lagi."
" ... "
"Kelewatan."
" ... "
"Yaudah, cari sendiri aja."
Gadis remaja dengan setelan piyama ala rumah sakit itu mematikan gawainya lalu membantingnya ke kasur tempat ia berbaring. Tampaknya ia tengah kesal, terlihat dari air mukanya.
Renald yang kasurnya bersebelahan dengan Caca menoleh. Menatap anak itu cukup lama, dari awal menerima telepon sampai mematikan telepon lalu membantingnya.
"Caca," cicit Renald, "Ayah boleh nanya?"
Caca menoleh, "boleh, yah. Kenapa?"
"Wajahnya kok keliatan kesal gitu, sih?" tanya Renald penasaran.
"Itu! Si Om tua. Manajer Caca. Mau jenguk kok banyak nanya. Kesel Caca, Yah," adunya penuh emosi.
"Hahaha!" Renald tergelak hingga matanya membentuk bulan sabit. Tawa Renald justru semakin menambah amarah Caca.
"Ish, Ayah! Kok ketawa, sih," kesal Caca.
Renald mengusap air mata yang keluar dari ujung matanya lalu menghentikan tawanya dan tersenyum.
"Kamu tuh lucu, tau," Renald berujar sambil turun dari kasur rawatnya, membawa tiang infus mendekat pada Caca.
Seketika Caca panik. Ayah Renald masih belum sembuh sepenuhnya.
"Ayah! Balik! Ngapain turun, sih," teriaknya kesal. Bukan kesal, lebih tepatnya khawatir.
Respon Renald sangat diluar dugaan, ia tetap melanjutkan pergerakannya tanpa mengindahkan larangan Caca. Baginya larangan adalah hal yang harus dilanggar.
"AYAH!"
Teriakan gadis kecil itu semakin kencang bagai sebuah kilatan masa lalu tentang ia yang memanggil sosok pelindungnya. Dengan air mata yang terus meleleh juga ingus yang makin meler. Wajah cantik kebanggaannya ia singkirirkan saat ini karena ada seseorang yang harus ia temui, Mamanya.
"MAMA, AYAH MANA? Kenapa belum sampai dari tadi?" renggeknya penuh kekesalan namun bukannya mendapatkan jawaban, ia justru ditatap tajam oleh Mamanya.
"Diam atau Caca ga boleh ketemu Ayah dan Aras lagi," bisik Valen penuh penekanan.
Caca kecil terdiam. Jika seperti ini tandanya Sang Mama tengah marah, kesal kepada dirinya. Jadi ia harus diam dan menjadi anak yang menurut dulu baru Mamanya akan mengajaknya untuk bertemu dengan Aras dan juga Ayah dan begitulah pola otaknya bekerja dan ia memilih diam dengan penuh kekesalan serta harapan.
Hari sudah berlalu tapi kehadiran Ayah dan Aras tak pernah tertangkap oleh retina Caca. Jika Caca bertanya pada Mama, wanita itu hanya akan menjawab bahwa Ayah dan Aras sudah datang namun Caca tengah terlelap. Caca tak suka dengan jawaban itu.
Kembali ke kamar lalu mengurung diri bukannya suatu hal yang buruk jika ingin keinginanmu dituruti.
Caca mengingat kalimat itu sebab Aras pernah membacakannya dari salah satu buku yang merupakan hadiah dari perayaan ulang tahun mereka.
Dan, dia akan melakukannya.
"Sampai keinginanku dituruti!" telaknya akhir.
Rasya menghela napasnya gusar. Mungkin Caca memang butuh dituruti akan permintaannya. Rasya mengalah, masih dengan setelan anak sekolah dia meletakkan tas yang ia gendong di sofa lalu beringsut keluar untuk membeli pesanan Caca. Seblak ekstra pedas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl (Revisi)
Teen FictionCerita pertama Amira Mazaya (Tahap revisi) Hidup dengan bergelimang harta serta eksistensi yang tiada henti. Masyarakat terkagum-kagum pada mereka. Berbagai pujian terlontarkan di dunia nyata maupun dunia maya. Tetapi, tentu saja ada sorot iri dan b...