sad girl || 29

6 3 0
                                    

Yippi, update lagi🤩
Kali ini gak sampai sebulan yah🤭
Happy reading, all

Jangan lupa vote dan comment di tiap paragrafnya, yaw

***

Tidak bisa memilih kelompok sendiri ketika diberikan tugas kelompok adalah salah satu kesulitan di hidup rasya. Padahal guru IPS sudah membebaskan memilih kelompok diskusi agar para murid dapat memilih teman yang dirasa dapat saling berdiskusi dengan baik. Dan Rasya membenci situasi seperti ini karena dirinya tidak bisa memilih kelompoknya sendiri.

Satu kelompok diskusi ditentukan beranggotakan empat orang yang berpasangan. Maksudnya, tidak boleh dalam sekelompoknya hanya cowok saja atau hanya cewek saja. Harus digabung. Para murid pun bersorak kecewa lalu mulai merombak kelompoknya lagi.

“Yah, gak bisa bareng kita, Sya,” ujar Dean. Tadi Rasya sudah dapat kelompok yang dibentuk Dean yang beranggotakan dirinya, Dean, Zaki, dan Zarga. Namun karena Bu Gina meminta agar sekelompok itu berpasangan, maka mereka tidak bisa sekelompok dan harus mencari anak cewek dikelas untuk diajak bergabung membentuk kelompok.

“Iya, Dean. Makasih ya tadi udah ngajakin aku gabung. Aku mau cari kelompok dulu.” Rasya pamit setelahnya bersiap beranjak mencari teman sekelas untuk membentuk kelompok baru. Kalau ini bukan tugas sekolah udah Rasya tinggalin sih momen yang begini.

“Rasya! Zarga! Sini yok, sekelompok sama kita!” teriak Haina dari sudut kelas sambil melambaikan tangan.

Dirinya tengah duduk di samping Caca agar dapat sekelompok dan tengah mencari dua orang cowok lagi untuk bergabung di kelompok dia dan Haina langsung teringat dengan dua anak adam satu ayah itu.

“Loh! Kok sama mereka, sih?” tanya Caca dengan wajah sebal, “Caca lagi gak mau sama mereka berdua,” cicit Caca pelan dengan nada kelewat gemas.

“Ulu uluuu! Gemasnya adik aku! Dek, dengerin kakak, ya. Kan dedek Caca ini udah gak sekolah hampir sebulan, nih. Pasti banyak banget ‘kan materi yang ketinggalan. So, kalau sama mereka kita bisa bahas materinya sama-sama. Mulai dari pelajaran IPS sampai pelajaran-pelajaran lainnya. Lagipula mereka juga gak bodoh-bodoh amat, kok.” Caca menenggelamkan kepalanya di kedua lipatan tangannya yang berada di atas meja.

“Gak mau!” teriak Caca yang teredam tangannya sendiri.
Namun Caca tak bisa menolak saat mendengar derap langkah dua anak adam yang sudah semakin mendekat lalu mulai menyusun meja menjadi berhadapan agar dapat mulai berdiskusi mengenai tugas yang sudah diberikan. Caca gak sanggup buat ngangkat kepala dia. Tapi ini napas dia udah sesak banget karena kelamaan menyembunyikan kepalanya diantara lengan.

Melihat Caca yang sepertinya enggan mengangkat kepalanya membuat Haina menjadi semakin keheranan. Ini gue ketinggalan berita apa aja, sih? Perasaan ini baru hari kedua Caca sekolah. Tapi sikap dia ke Rasya sama Zarga udah lain aja. Hadeh!

Haina mengelus pucuk kepala Caca dan menggengam tangan Caca. Dingin. Ia pun berbisik pelan, “bangun dulu, yuk. Selesaikan tugas yang ini dulu. Kalau ada urusan lain diantara lo, Rasya, sama Zarga dikesampingkan dan bisa kalian bicarain lagi setelah tugas ini selesai, ya. Tenang. Gue gak bakal ikut campur.”

Dan, voila! Caca mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis saat matanya bertemu dengan Rasya yang ternyata duduk di hadapannya.

“Sorry. Tadi kepala Caca pusing dikit,” alibi caca asal.

“Terus sekarang masih pusing, gak?” tanya Rasya dengan raut khawatir yang kentara sekali.

“Lo gak mau ke kantin aja?” ujar Zarga yang langsung dihadiahi pukulan di bagian lengannya oleh Haina.

“Ih, bego. Ngapain ke kantin, astaga. Kalau ada orang sakit tuh ke UKS. Bukan ke kantin.”

“Ih, yaudah sih. Ya ‘kan mana tau si Caca sakit kepala karena lapar, ya. Jadi, dia bisa sarapan dulu ke kantin. Pasti dibolehin sama guru. Iya kan, Ca?” Zarga mengeluarkan pembelaan khas dirinya lalu bertanya pada Caca. Sepertinya Zarga tengah berusaha mencairkan suasana dengan guyonannya. Dan hal itu ditangkap baik oleh Haina. Haina manusia terpeka, de best deh pokoknya.

* De best : The best : terbaik.

“Siapa bilang gue sakit kepala?” celetuk Caca membuka suara, “gue pusing ye, Zarga. Bukan sakit kepala.”

Yash! Caca menanggapi guyonan Zarga. Itu artinya Caca mau sedikit mengakrabkan diri dengan Zarga dan Rasya. Semoga.

“Eh, astaga,” Zarga memegang kepalanya, “ya pusing tu kan sakit kepala, sih. Iya ‘kan, Sya?”

Rasya hanya terkekeh. Masih sedikit kaku. Mungkin masih merasa kurang nyaman dengan Caca dan Zarga. Kenapa? Ya, apalagi kalau bukan mengenai hubungan mereka yang ternyata adalah saudara sedarah.

“Iya.”


***


Tok tok.

Terdengar suara ketukan pintu dari depan kamar inap baru Renald. Usai Caca pulang dari rawat inap, Renald meminta tolong pada anaknya, Rasya dan Zarga untuk memindahkannya ke kamar biasa, bukan kamar VVIP lagi. Saat itu Rasya dan Zarga sudah berusaha membantu tapi pihak rumah sakit menolak dikarenakan mereka masih di bawah umur dan sangat tidak dianjurkan untuk menjadi wali pasien. Alhasil Renald harus bertahan dikamar ini lebih lama lagi, sampai seseorang yang dirasa usianya cukup untuk bisa mengurus kepindahan kamarnya. Atau bahkan pulang ke apartemen. Kan Renald sudah sembuh.

* VVIP : Very Very Important Person, artinya menerima hak istimewa terpenting.

“Masuk!”

“Halo, Mas. Apa kabar?” ujar seorang wanita yang baru saja memasuki kamar inapnya. Itu Valen, masih dengan setelan necisnya.

Apa Valen baru pulang kerja dari luar kota? Lalu, mengapa dia langsung kesini? Dia gak capek, ya? Batin Renald bertanya-tanya.

Tak mendapat jawaban dari Renald membuat Valen tersenyum kecut. Mungkin Renald masih terkejut dengan kehadirannya yang serba tiba-tiba. Valen pun kembali membuka suara, mencoba menjelaskan hal-hal yang mungkin ada di benak Renald. Yang menjadi pertanyaannya, mungkin.

“Aku baru pulang dari luar kota, Mas. Jalur darat. Makanya si Rudi gak ada di sini. Soalnya ku suruh jemput.” Sambil menjelaskan kepulangannya dan bagaimana pekerjaannya di sana, Valen bergerak ke sana kemari untuk meletakkan barang bawaannya. Mulai dari tas dan koper kecilnya sampai belanjaan makanan yang ia simpan di pendingin makanan.

Selama Valen menjelaskan sembari berkeliling ruang kamar, selama itu juga pandangan Renald mengejar objek Valen, wanita yang selalu menjadi nomor satu di hatinya walau banyak wanita yang sudah pernah menghampirinya tapi Valen, “You're still my number one, Baby” gumam Renald.

“Kenapa? Ada yang sakit, Mas?” ujar Valen sambil mendekat pada kasur, tempat Renald menghabiskan hari-harinya.
Renald tersentak lalu menggeleng cepat.

“Engga ada, kok.”

“Yang bener, Mas?”

Baik Valen maupun Renald kembali pada kesibukan masing-masing. Valen dengan barang bawaannya dan Renald dengan mata yang terus mengejar keberadaan Valen, juga dengan jantung yang berdetak semakin kencang.

“apakah ini yang dinamakan cinta?”


***


“Mas! Besok Caca sama Rasya ultah loh, Mas,” Valen berjalan mendekati brankar Renald. Lalu duduk di kursi yang berada persis di samping Renald. Renald yang merasa tidak enak pun mengubah mode brankarnya menjadi duduk, dengan setengah bagian kasur yang menjadi penyanggah punggungnya. Valen menggenggam tangannya mantap.

“Mas ada niatan buat ngasih tau ke anak-anak?” Dengan hati-hati Valen bertanya. Renald tertunduk.

“Saya gak sanggup, Len. Saya sudah jahat banget sama anak-anak,” Renald membuang mukanya ke arah jendela luar, “dan kamu.” Jawab Renald, yang membuat Valen tersenyum dan semakin yakin dengan tujuannya untuk memperbaiki semuanya bersama Renald.

“Kita ini manusia, Mas. Penuh dengan dosa dan kesalahan. Dan, Valen rasa, ini sudah waktunya mereka untuk tau. Lagipula, Caca dan Rasya juga udah akrab banget ‘kan, Mas?” Renald tak menanggapi pertanyaan Valen. Masih setia menatap jendela. Helaan napasnya terdengar cukup keras. Keduanya terdiam beberapa saat, ribut dengan pikiran masing-masing.

“Oke,” ujar Renald memecah hening, “Kita jelasin semua ke anak-anak, besok."

To be continue

Jum'at, 18 Maret 2022



Sad Girl (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang