Selamat membaca semua
🤗Mendapat persetujuan dari Caca, membuat Rasya tersentak. Caca memanggilnya dengan nama itu lagi.
Kenapa bisa?
Ia jadi mengingat kembarannya. Rai yang senang menukar panggilan mereka dulu. Dan, dia juga yang membuat panggilan khusus itu.
Aras emang bukan manusia biasa, batin Rasya sembari terkekeh, sebab dia memanggil Rai dengan nama panggilannya. Seperti yang Rai lakukan dulu, saat mereka masih bersama. Namun, yang membuat Rasya binggung sekaligus curiga adalah, mengapa Caca bisa memanggil dirinya dengan sebutan 'Rai'? Bukannya panggilan istimewa itu hanya diketahui oleh dirinya dan Rai saja? Lalu siapa Caca ini? Raisaa Kenziano ....
Rasya berpikir keras. Di dalam otaknya terdapat banyak pertanyaan dan ingin ia tanyakan langsung pada Caca. Namun ia urungkan, mengingat Caca baru saja pulang dari rumah sakit setelah beberapa minggu menjalani rawat inap di sana.
Tak ingin berdiam di depan kamar Caca lebih lama lagi Rasya pun membuka knop pintu kamar Caca, mengabaikan berbagai pertanyaan dan praduga yang memenuhi pikirannya. Ia harus mengecek keadaan Caca sekarang dan memastikan dia benar-benar pulih. Sebab banyak tugas dan pelajaran yang akan menanti Caca sebab ketertinggalannya selama dirawat.
Langkah kaki Rasya membawa dirinya memasuki kamar Caca yang bernuansa ungu muda di beberapa sisi dan putih di sisi lainnya dengan banyak sekali frame foto yang memenuhi dinding kamarnya.
Rasya tak melihat foto itu dengan jelas. Sebab atensinya langsung mengarah pada Caca yang tengah menangis di tepi kasur sembari memegang sebuah frame foto. Rasya yang panik pun langsung mendekati Caca.
"Ca. Kenapa?" tanya Rasya khawatir sambil mengusap punggung Caca. Rasya cemas dan bingung, mengapa Caca-nya menangis seperti ini. Apa dia kesakitan? Atau ada hal lain yang membuatnya bersedih? Apa? Katakan.
Lagi-lagi Rasya mengurungkan dirinya untuk bertanya dan memilih untuk menenangkan Caca. Rasya menepuk dan mengusap bahu Caca lembut. Caca menoleh menatap Rasya yang ada di depannya. Namun bukannya berhenti, tangis Caca justru semakin menjadi-jadi.
Tangis Caca tak dapat berhenti. Air matanya terus saja berjatuhan membasahi pipi Caca. Caca terus saja mengusap liquid itu dan sedikit menengadah kepalanya ke langit-langit kamar guna menghentikan laju air matanya. Namun tak bisa.
Rasya tak bisa melihat Caca menangis. Hatinya serasa dilukai sesuatu yang tajam, perih rasanya. Rasya pun membawa Caca dalam pelukannya. Dan pelukan itu tidak ditolak Caca. Bahkan Caca semakin mengeratkan pelukannya dan semakin menyembunyikan wajahnya di dada bidang Rasya. Tangis Caca semakin menjadi. Dan itu terdengar sangat pilu.
"Tolong, Ca. Jangan menangis,” pinta Rasya lalu semakin mengeratkan pelukan. Caca tak mengindahkan dan terus saja menangis dalam dekapannya.
"Apa perlu Asya panggilin Tante Cika sama Kak Aluna, hem? Atau Bi Siti?" Rasya bertanya dengan tutur lembutnya. Dirinya tidak boleh marah atau panik. Dirinya harus lebih tenang.
"Jangan!" sergah Caca. Dirinya mengusap air matanya dan menghentikan isak tangisnya, "Biarin Caca nangis dulu." Dan Rasya tidak punya pilihan lain selain menurut, membiarkan Caca menangis.
Dirinya hanya takut jika tangis Caca terdengar hingga keluar akan membuat orang salah sangka padanya dan mengira dia melakukan kejahatan pada Caca. Semoga saja tidak begitu. Karena sampai detik ini saja Rasya tak tahu mengapa Caca menangis seperti ini. Berusaha menghilangkan pikiran negatif Rasya membatin dengan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl (Revisi)
Teen FictionCerita pertama Amira Mazaya (Tahap revisi) Hidup dengan bergelimang harta serta eksistensi yang tiada henti. Masyarakat terkagum-kagum pada mereka. Berbagai pujian terlontarkan di dunia nyata maupun dunia maya. Tetapi, tentu saja ada sorot iri dan b...