Apa ini sebuah kebetulan untuk awal dari sebuah kebenaran?
♡"Awas!"
Dentuman keras jelas terdengar oleh mereka berdua. Rasya yang tidak siap saat mendapatkan dorongan lantas terhempas dengan posisi yang sangat menggenaskan. Kepala bagian belakangnya langsung terbentur dengan lantai sedangkan punggungnya tidak karna terhalang oleh tas yang ia sandang di bahunya.
Raisa jadi merasa bersalah melihatnya. Dengan sigap ia mengulurkan tangannya untuk Rasya raih agar bisa berdiri.
"Aduh!"
Rasya langsung menarik tangan Raisa. Ia menepuk-nepuk bagian badannya yang berpasir akibat terjatuh tadi.
Lain halnya dengan Raisa. Ia langsung mengelilingi badan Rasya. Takut kalau lelaki itu terluka.
"Lo gak papa? Ada yang luka gak?" tanya Raisa dengan raut cemas.
Rasya tersenyum, "engga papa kok mbak. Asya gak ada yang luka."
Caca tersenyum lega "oh, syukurlah. Gue kira lo luka tadi."
Asya tersenyum canggung, "maafin Asya ya Mbak. Karena tadi main peluk saja. Padahal kan kita baru kenal," ujarnya kikuk.
Caca tersenyum tipis, "iya gak papa," lalu terdiam sejenak, "maafin gue juga karena dorong lo tiba-tiba."
Rasya mengganguk lalu menampakkan deretan gigi putihnya, "iya Mba'."
Caca mengangguk.
"Oh iya satu lagi, jangan panggil gue mbak. Kan kita seumuran. Panggil Caca aja."
Rasya menoleh, "iya, Caca."
Mereka cukup lama terdiam. Ingin bergerak namun nyaman diposisinya. Caca sendiri tengah berusaha menahan keinginannya menanyakan kenapa nama belakang Rasya itu sama dengannya. Iya, ia melihatnya saat membaca daftar pembagian kelas yang tertera di papan pengumuman tadi dan ia melihat dengan jelas bahwa nama belakang Rasya juga tersemat nama 'Kenziano' seperti dirinya.
Apa Rasya ini masih ada hubungan keluarga sama gue? Hah! Kalau keluarga, kok kak Aluna gak ada? Kenziano itu kan bukan marga, terus apa dong? Apa gue coba tanyain aja yah. Eh jangan deh, takutnya dia tersinggung.
Pertanyaan itu menghantui pikiran Caca. Dan sepertinya kali ini ia kalah dengan gengsi yang ia junjung tinggi selama ini.
Baiklah. Dengan segala kehormatan dari anak-anak yang hormat ke bendera merah putih dan Raisa juga ikutan hormat pastinya kalau upacara senin pagi, Caca yang sok dingin ini akan bertanya pada seorang Rasya mengenai kesamaan nama belakang mereka.
"Asya."
"Iya, kenapa?"
Caca menghela nafas, "gue mau nanya...."
Belum selesai Caca berbicara, perhatian Rasya terdistraksi oleh dering handphone miliknya.
"Maaf Ca! Saya angkat dulu ya."
"Oke"
Huft, Caca gagal. Padahal ini perdana loh ia bertanya pada seseorang.
"Iya! Apa? Kok bisa tante?"
Caca tidak bisa mendengar apa yang disampaikan si penelfon kepada Rasya, namun yang jelas raut wajah Rasya terlihat terkejut dan berubah khawatir. Sepertinya ia bukan mendapatkan kabar yang baik. Caca pun memilih untuk mengurungkan niatnya untuk bertanya.
"Iya. Asya sudah pulang. Asya kesana sekarang."
Rasya menutup telponnya. Wajahnya terlihat panik.
"Maaf Ca! Saya harus pergi, Ayah saya sakit. Sampai jumpa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl (Revisi)
Genç KurguCerita pertama Amira Mazaya (Tahap revisi) Hidup dengan bergelimang harta serta eksistensi yang tiada henti. Masyarakat terkagum-kagum pada mereka. Berbagai pujian terlontarkan di dunia nyata maupun dunia maya. Tetapi, tentu saja ada sorot iri dan b...