Bagi yang belum follow, follow dulu yuk!
aniday_ udah? Tengkiu!
Jangan lupa votenya ya! Makasih!Shut down.
.
.
.“AAA!!! Ma-Mataku!!!!” Dengan cepat Alvian menghampiri Gisella yang sedang menutup matanya.
“Mataku pedih! Aw! Panas! Hwa!!!” teriak Gisel yang tidak bisa berhenti menangis karena matanya yang pedih.
Gadis itu sedang menangis di balik dinding yang bersebelahan dengan balkon. Hampir saja Gisel melihat keduanya, kalau itu benar ..., Alvian tidak akan bisa hidup tenang di rumahnya sendiri.
“Kamu kenapa?” tanya Diana sedikit panik karena Gisel sedari tadi tidak mau membuka wajahnya.
“Mataku! Perih!” ucap Gisel sambil menangis dan berteriak. Diana kemudian melihat minyak kayu putih yang tergeletak tak jauh dari mereka. Botolnya terbuka dan sedikit tumpah.
“Karna minyak kayu putih?” Gisel hanya menganggukkan kepalanya pada pertanyaan Diana.
Diana lalu melihat Alvian sementara pria itu hanya mengangkat bahu —tidak mengerti.
“Apa?”
“Gendong Gisel ke kamar mandi,” ucap Diana yang membuat Alvian terkejut.
“Untuk? Matanya yang sakit, bukan kakinya.”
“Dia gak bila lihat jalan, Al! Cepetan!”
Alvian tidak bisa menolak permintaan wanita itu sekarang atau pun mendebatnya karena Gisel semakin menangis keras.
Ia kemudian menggendong Gisel yang masih menangis dan membawanya ke kamar mandi.
Diana kemudian membantu Gisel untuk membasuh wajahnya dan matanya dengan air yang mengalir untuk beberapa saat.
“Perih, Kak,” ucap Gisel sambil terus menangis. Sementara Diana menyuruh Alvian untuk mengambil tisu atau saputangan. Mau tidak mau, Alvian harus melakukannya.
“Okay-okay,” ucap Alvian sambil mengangkat tangannya pasrah lalu mencari tisu yang ia sendiri tidak tahu dimana karena Gisel dan Callista sudah mengatur ulang semua yang ada di rumahnya.
Sementara itu Gisel sudah bisa mulai membuka matanya yang perih meskipun harus menahan perih luar biasa. Diana membantu Gisel supaya air yang dialirkan ke matanya tidak masuk ke hidung atau telinga gadis itu.
“Udah mendingan atau masih perih?” tanya Diana. Gisel bercermin dan melihat matanya yang memerah. Ia lalu membasuh seluruh wajahnya dengan air.
“Masih perih tapi udah mendingan kok, Kak.”
“Perlu ke klinik gak?” Gisel menggeleng.
“Tadi cuma kena dikit doang kok, Kak,” ucap Gisel. Bersamaan dengan itu Alvian datang membawa handuk kecil untuk wajahnya. Ia tidak tahu dimana tisu di letakkan gadis itu, jadi ia menggunakan handuk wajah yang kemarin ia beli di supermarket.
Gisel tentu saja menolak handuk yang diberikan Alvian. “Apa ini? Jangan-jangan ini lap kotor.”
“Nih, liat! Masih ada label barunya, lagian. Kamu tuh ya, udah baik——”
Diana mengambil handuk kecil yang masih di tangan Alvian lalu mengeringkan wajah Gisel.
“Kamu tadi ngapain sih? Kok bisa sampe kena mata?”
Gisel kemudian menjawabnya dengan menahan malu luarbiasa lalu menunjuk dahinya. “Jerawat. Aku pikir bakal hilang semalaman kalo pake minyak kayu putih.”
“....”
“....”
“Aku liat blog orang bilang pada bisa. Tutorial juga sih, hehe.”
Diana tidak menertawakan kebodohan Gisel yang memercayai tips bodoh itu.
“Besok aku mau jalan sama temen. Aku malu kalau ada jerawat gede kayak gini. Pasti mereka ilfeel. Jadi, ya gitu deh,” ucap Gisel lagi dengan cengirannya.
“Kan itu cuma sebiji. Orang gak bakal langsung ilfeel juga,” ucap Alvian lalu melirik Diana yang sedari terdiam.
Alvian tahu kalau wanita itu pasti mengingat masa lalunya.
“Kalian gak bakal ngerti pertemanan zaman sekarang,” ucap Gisel sambil bercermin dan mengipasi matanya yang sudah membaik.
Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Sekarang itu temen-temenku body shamming semua. Emang toxic sih. Tapi aku gak punya temen selain mereka.”
Tiba-tiba Diana memeluk Gisel erat. “Kamu tuh, ya. Jangan bikin orang khawatir. Awas kalo pake minyak kayu putih lagi.”
Diana tersenyum menatap Gisel, sementara Alvian bisa menangkap hal lain dari senyumannya.
Kesedihan.
———
———“Kamu kenapa?” tanya Alvian ketika melihat Diana yang terdiam sejak Gisel menceritakan cicle pertemanannya.
Wanita itu duduk di ruang depan sendirian sambil menikmati teh hangatnya. Gisel sudah lebih dulu kembali ke kamarnya.
“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Diana sambil menyesap teh hangatnya.
Alvian duduk di samping wanita itu berkata, “Karna kamu belum tidur.”
Diana meletakkan gelasnya lalu menatap Alvian yang berada tepat di sampingnya. “Kita bukan suami-isteri lagi, Al. Kamu gak perlu nungguin aku kalo belum tidur.”
Tadinya Diana ingin segera pulang, tapi Alvian tidak memperbolehkannya karena alasan tidak masuk akalnya.
Pertama, Alvian takut kalau Diana mengingat masa lalunya dan hilang kendali lalu kecelakaan.
Kedua, ini sudah tengah malam dan tentunya banyak pemabuk yang berlalu-lalang di jalanan.
Ketiga, alasan paling tidak masuk akalnya. Gisel mungkin masih membutuhkan Diana untuk tetap di sini.
“Aku gak bisa. Sama kayak kamu yang gak bisa gak peduli sama aku. Kamu bahkan gak mau jelasin alasan yang sebenarnya kenapa kamu mau cerai.”
“Bukannya aku udah bilang? Aku mau fokus sama karir?”
“Dengan kamu yang resign? Alasan kamu klise banget, Na.”
“....”
“Kamu masih mencintai aku. Kamu bukan mau fokus ke karir kamu karna kamu resign. Kamu butuh liburan? Waktu? Aku bahkan selalu nyediain waktu buat kamu. Alasan kamu jelas gak make sense sedikit pun.”
“....”
“Just tell me why.”
“....”
“Kamu bukan orang yang gak peduli, Na. Kamu peduli sama Bian yang suka kulit ayam padahal aku tahu kalau kamu juga suka.”
“....”
“Kamu peduli sama Gisel yang takut sama jerawatnya dengan ngasi krim kamu padahal kamu juga masih butuh.”
“....”
“Kamu peduli sama aku dengan ngorbanin jabatan kamu.”
Diana dengan cepat membantah kalimat terakhir Alvian. “Itu bukan karna kamu, Al. Aku resign——”
“Bullshit. Liburan? Kamu bisa liburan tanpa harus resign.”
Diana tidak ingin menjawab pertanyaan Alvian atau berdebat dengan pria itu. Ia segera menghabiskan tehnya lalu beranjak ke dapur untuk mengembalikan gelasnya. Namun pria itu mengikutinya dan mengoceh ria di belakangnya sementara ia tidak ingin mendengarkan.
Setelah mengembalikan gelasnya, Diana berbalik dan menatap Alvian. Ia berjalan ke arah pria itu dan menepuk-nepuk pipi Alvian kemudian tersenyum lebar.
Kemudian meninggalkan pria itu sendirian. Seperti yang selama ini dilakukan wanita itu —memberikannya harapan lalu meninggalkannya sendirian.
——To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepertinya Rindu
ChickLit| Chicklit Romance | Selesai | Kalau saling mencintai saja sudah cukup untuk memberikan kebahagiaan, semuanya akan terasa mudah. Diana memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, Alvian karena dirinya terlalu sibuk bekerja dan ingin mengejar karirnya...