DUA PULUH

40 12 1
                                    

Bagi yang belum follow, follow dulu yuk!
aniday_ udah? Tengkiu!
Jangan lupa votenya ya! Makasih!


[Sepertinya, Rindu]


Diana merapikan rambutnya lalu bercermin beberapa kali untuk memastikan matanya baik-baik saja. Ia mengoleskan concealer¹ untuk menutupi kantong matanya yang semakin terlihat. Lalu menutupinya dengan taburan bedak tipis untuk menambah kesan segar pada wajahnya.

“Masih kelihatan,” gumam Raina adik kedua Diana yang duduk di sampingnya saat ini. Raina memang menghabiskan waktunya semasa hamil bersama ibunya dan neneknya.

Bukan rahasia lagi kalau Raina adalah cucu kesayangan neneknya yang sudah sangat berumur itu.

Raina beranjak berdiri dengan perutnya yang membesar dengan pelan. Dengan cepat Diana membantu adiknya yang sedang kesulitan berdiri itu.

“Aku bisa sendiri, Na. Lebih baik kamu mengoleskan concealer itu lebih natural.”

Diana tidak mendengarkan kekesalan adiknya karena dirinya sudah terlanjur kesal melihat adik yang kesulitan berdiri, berjalan —semuanya karena perut besarnya.

“Dimana suami kamu, Rain? —Astaga pelan-pelan!” pekik Diana ketika Raina hampir saja terjatuh di lantai yang licin karena berjalan terlalu cepat.

Diana memegangi dadanya yang berdetak dengan cepat ketika melihat Raina dengan perut besarnya hampir jatuh.

“Astaga, kamu memang lebih baik tinggal di rumah Mama daripada sama suami kamu. Kamu bisa aja jatuh! Kamu gak mikirin kandungan kamu? Astaga kepalaku!” kesal Dian bertubi-tubi. Sementara Raina hanya terkekeh.

“Di mana suami kamu yang bodoh itu?”

“Aku gak tahu dan gak peduli juga. Concealer nya udah? Coba kulihat,” ucap Raina sambil menatap wajah Diana yang menurutnya mengerikan. Kantong mata besar dan mulai menghitam dan mata Diana yang menyipit kian hari. Belum lagi matanya yang terlihat jelas kalau ia menangis semalaman penuh.

“Aku tahu, aku bisa pake sendiri.”

“Lebih baik kamu menemui Mama besok atau ... lusa? Itu lebih baik daripada sekarang.”

Diana menggeleng. Beberapa hari lagi adalah jadwal kepergiannya ke Melbourne. Ia sudah mempersiapkannya lebih cepat daripada perkiraannya dulu. Ia pikir ia akan pergi minggu depan setelah pengangkatan resmi Andika, ternyata ia sadar kalau ia tidak bisa berlama-lama bertemu dengan Alvian. Tidak ketika ia merasakannya sakit setiap harinya.

Raina menemani Diana berjalan di rumah Saraswita, neneknya. Ibunya juga tinggal bersama neneknya dan menemani wanita tua itu di ujung usianya sejak dirinya dan Raina menikah.

Rumah Saraswita tidak memiliki kesan modern sedikit pun. Masih banyak tiang-tiang kayu dengan ukiran-ukiran masa lampau.

“Mama mungkin belum pulang. Mama biasanya pergi jam segini buat belanja sendiri. Nanti siang sih kayaknya udah pulang,” ucap Raina menjelaskan.

“Kalau nenek biasanya lagi di perpustakaan belakang. Nanti kalau kamu mau ke sana bawain teh juga ya. Nenek suka lupa minum,” ucap Raina lagi. Diana hanya mengangguk. Ia tahu kalau meskipun Saras sudah sangat tua, neneknya itu sangat mencintai buku. Tak jarang ia menemukan neneknya itu tertidur saat membaca buku. Sungguh keajaiban kalau neneknya masih sehat meskipun beberapakali mengalami gejala penyakit umur.

Rumah Saraswita adalah rumah yang sangat luas seperti kerajaan kecil kalau katanya Raina. Taman belakang dan samping, perpustakaan belakang dan perpustakaan mini di beberapa tempat, ada lagi ruang makan dan ruang istirahat dan beberapa ruangan yang tidak terlalu berguna menurut Diana. Sangat tidak minimalis tapi juga tidak norak.

Sepertinya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang