TIGA BELAS

45 12 0
                                    

Bagi yang belum follow, follow dulu yuk!
aniday_ udah? Tengkiu!
Jangan lupa votenya ya! Makasih!

***

Sial!

Diana tidak tahu kenapa kesialan akhir-akhir ini mendekatinya. Pertama, ada skandal mengerikan di kantornya. Dirinya dianggap tidak professional karena resign disaat perusahaannya sedang naik. Kedua, ia terpaksa membatalkan tiket yang telah ia pesan sejak minggu lalu karena skandal tambahannya dirinya akan berbulan madu dengan kekasih gelapnya.

Ini menjijikkan! Ia bahkan belum pernah berbulan madu dengan mantan suaminya, apalagi kekasih gelap! Punya saja tidak! Ah, kenapa ia jadi mengingat pria itu?!

Belum lagi sekarang dirinya harus terjebak di situasi menjengkelkan ini!

Kenapa pula ia harus bertemu dengan Alvian saat makan siang. Pria itu menghampirinya dan duduk di depannya. Jarak mereka tidak terlalu jauh karena mejanya berukuran kecil.

"Kenapa? Kamu gak suka aku duduk di depan kamu?" Diana menggeleng.

"Kamu gak sama Shelia?" Alvian memakan mie gorengnya tanpa menjawab pertanyaan Diana.

"Apa topik yang kamu punya cuma Shelia?" yang Alvian sambil tersenyum manis.

Diana memakan saladnya tanpa melihat senyuman mantan suaminya. Astaga, kenapa semakin hari, pria itu semakin tampan? Membuat gila saja.

"Jangan makan mie goreng terus, Al. Kamu punya uang tapi gaya kamu kayak anak kost aja," kesal Diana. Gisel sering bercerita kalau dirinya terpaksa memasak dua kali karena Alvian sering meminta mie goreng.

"Kamu butuh gizi yang cukup juga." Alvian tersenyum lagi dan membuat Diana kesal. "Gisel yang bilang. Pantesan aja kamu kurusan sekarang. Gizi kamu aja gak terpenuhi."

Namun Alvian hanya membalas kekesalan Diana dengan tawa. "Aku gak ngerasa kurusan. Lagian kalau pun aku kurusan, aku bukan suami kamu lagi."

Diana menghentikan gerakan tangannya sebentar lalu melanjutkan acara makannya. "Kamu kenapa bisa di sini? Ini jauh dari kantor kamu."

"Biar bisa ketemu sama kamu, Honey," ucap Alvian sambil tersenyum dan tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari Diana.

Diana tersedak karena ucapan Alvian lalu meminum tehnya. "Ho-ney? Aku perlu ke THT kayaknya.

Alvian tertawa karena wajah Diana yang merona karna ucapannya. "Aku senang karena kamu masih mencintai aku, Na. Dan aku akan mengejar kamu lagi. Aku yakin kali ini pasti bisa," ucap Alvian yang membuat Diana terdiam.

Diana tidak tahu ini sindrom apa, tapi sekarang ia merasa sangat gugup. "Aku memang mencintai kamu, Al. Tapi aku gak berniat untuk berkomitmen sama kamu."

"I'll try. Kamu cuma diam dan menunggu aku untuk mengeluarkan kamu dari hati batu kamu. Kamu gak perlu ngapa-ngapain."

Diana tidak tahu harua menjawab apa. Ia membenci dirinya sendiri.

"Shelia? Aku pikir dia orang yang kamu suka sekarang."

"Apa kamu gak punya topik lain selain Shelia? Jadwal rujuk kita, misalnya? Hm, atau first date kita? Kita belum pernah bener-bener dating, by the way."

Selama masa pacaran bahkan pernikahan mereka, Alvian selalu mengajaknya untuk kencan tapi Diana selalu menolak. Ya, jadwal mereka berdua selalu bertabrakan dan agensi kecilnya masih perlu banyak pembenahan.

Mereka hanya makan siang bersama atau makan malam di luar sebagai pengganti kencan dan itu tidak dihitung Alvian sebagai kencan yang sebenarnya.

"Aku ga bisa, Al. Harus berapa kali harus aku bilang, Al. Aku gak mau ngasi kamu harapan hanya karna aku diam," ucap Diana dengan suara bergetar. Sungguh, setiap kali dirinya membantah perasaannya, hatinya semakin sakit. Ia tidak bisa selamanya menyakiti perasaannya sendiri.

"Hey, jangan nangis. Kamu tuh ya, ngomongnya aja keras tapi cengeng," ucap Alvian sambil menjulurkan tangannya meraih pipi Diana yang basah.

"Plis, Al. Aku dukung kamu sepenuhnya buat deket sama Shelia. Aku bantu kamu kalo perlu. Tapi jangan aku. Aku ... aku gak bisa." Diana berusaha menahan tangisnya agar tidak menjadi bahan perbincangan orang-orang sekitar.

Tapi terlambat, beberapa orang terlihat saling membisiki sesuatu dan menatapi Alvian dengan tatapan menghakimi.

Diana segera mengambil tasnya dan beranjak dari tempat duduknya.

"Na, Diana!"

"Shit!" umpatnya ketika sedang membayar makanannya. Ia tidak menunggu uang kembalian dan segera mengejar wanita itu.

Untung wanita itu masih belum jauh sehingga Alvian masih bisa meraih tangannya.

"Aku gak tahu apa masalah kamu sama pernikahan kita. Yang jelas kita berdua sama-sama gak punya kesalahan dan kita masih saling mencintai. Aku tahu kamu nyembunyiin sesuatu dari aku. Aku menghargai keinginan kamu untuk berahasia, Na. Tapi jangan bersikap seolah-olah kamu bukan bukan sesuatu di hidupku."

Alvian mengangkat wajah Diana yang terlihat sedih. Dari matanya saja Alvian tahu kalau Diana juga sama-sama terluka karena perceraian mereka. Tapi wanita yang ia cintai adalah wanita paling keras kepala yang pernah ia kenal.

"Aku yang mengejar kamu, Na."

"...."

"Kamu tahu kenapa? Karna aku udah nyoba berkali-kali sama perempuan lain. Ya, aku udah nyoba untuk tertarik sama perempuan lain termasuk Shelia dan aku tetap gak bisa lepas dari kamu."

"...."

"Aku gak mau menyesal di hari tua kalau aku gak mengejar kamu hari ini. Aku gak mau menyesal seumur hidup aku kalau faktanya aku yang gak kembali untuk kamu."

"Al, no."

"Aku gak suka liat kenyataan kalau akhirnya ada laki-laki lain yang akhirnya bisa menggandeng tangan kamu."

Diana tahu ini bodoh. Ia tahu bahwa sejak awal yang bersalah adalah dirinya. Ia tahu kalau Alvian adalah laki-laki yang paling ia cintai dan mencintainya.

Masalahnya adalah satu. Dirinya tidak bisa membahagiakan Alvian. Ia tidak punya apa-apa untuk membahagiakan pria yang mencintainya sepenuh hati. Ia tidak punya kecantikan melebihi model-model di agensinya atau sikap hangat seperti adiknya Raina. Ia tidak punya apa-apa yang bisa membuat Alvian bahagia.

Ia benci dirinya sendiri. Sangat.

Alvian membawa Diana ke dalam dekapannya dan menenangkannya. Sementara Diana memeluk mantan suaminya erat. Ia tidak bisa tidak merasa nyaman ketika satu-satunya pria yang mengerti dirinya sedang memeluknya.

"Kamu tahu apa yang bikin aku bahagia, Na?" tanya Alvian yang seolah-olah bisa membaca pikiran Diana.

Diana tidak berkutik dari pelukannya atau pun menjawab pertanyaannya.

"Ketika kamu balas pelukan aku aja, aku udah senang, Na. Ketika kamu gak nolak aku buat mencium kamu, itu aja udah bikin aku senang. Kamu gak perlu mikirin yang aneh-aneh tentang aku atau tentang pernikahan kita."

"...."

"Dan kamu tahu waktu kapan aku paling bahagia? Waktu kamu nerima lamaran aku di gala premier kamu yang pertama." Alvian terkekeh lalu melanjutkan ucapannya, "Jadi, please, jangan nolak aku untuk mengejar kamu sekali lagi. Kalau ini gagal, aku bakal beneran berhenti untuk ngejar kamu."

"...."

"So, give me a chance."

Harusnya Diana merasa bahagia. Ya, seharusnya. Tapi perasaan yang muncul adalah perasaan bersalah sedalam-dalamnya. Kenapa pria itu bisa mencintai dirinya sedalam itu sementara dirinya setiap harinya berusaha untuk melupakannya?

Diana merasa menjadi manusia paling egois di muka bumi ini karena ia juga menginginkan mantan suaminya kembali padanya. Ia ingin menolak tapi hatinya tidak bisa.

Otak dan hati adalah saudara kembar yang tidak identik. Sifat keduanya sungguh berbeda dalam banyak hal. Tapi ketika mereka bersatu, itu akan menjadi momen yang paling nyaman yang pernah ada.

Hatinya ingin menerima tapi otaknya menolak. Sungguh situasi yang menyulitkan jiwa dan raganya setiap hari.

[Sepertinya, Rindu]

Sepertinya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang