DUA PULUH EMPAT

50 14 1
                                    

Bagi yang belum follow, follow dulu yuk!
aniday_ udah? Tengkiu!
Jangan lupa votenya ya! Makasih!




[Sepertinya, Rindu]

Diana menikmati teh hangatnya sendirian di balkon di pagi hari yang cukup dingin menurutnya. Menurut perkiraan cuaca, hari ini memang sedikit lebih dingin dari hari-hari sebelumnya dan sepertinya akan turun hujan.

Mira meninggalkannya sejak tadi setelah menerima laporan kalau ada pegawai cafenya yang bermasalah dengan kepolisian. Ya, wanita itu memiliki cafe yang tidak terlalu besar dan kecil juga meskipun keluarga Mira sebenarnya sangatlah kaya.

Dulu, sejak mereka masih SMA, dirinya sering mendengar keluhan wanita itu karena keluarganya mendadak kaya karena warisan kakeknya—OKB katanya. Dulu, Diana berpikir, bukannya punya banyak uang itu menyenangkan?

Ya, menyenangkan tapi kesenangan itu harus dibayar dengan mental yang kuat setiap harinya. Sama halnya ketika ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya—ia merasa sedikit lega. Banyak beban yang ia pikul karena jabatan itu.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Diana segera mematikan lagunya lalu mengangkat panggilan itu.

Unknown number.

“Halo?”

Tidak terdengar balasan dari ponselnya. Diana mengulanginya sekali lagi, namun tetap saja ia tidak mendengar balasan apa-apa.

“Salah sambung mungkin,” gumamnya sebelum ia ingin memutuskan sambungan telepon. Namun suara balasannya menghentikannya.

“Hai.”

Diana sangat mengenal mantan suaminya dari segi mana pun: suara, aroma tubuh, langkah kaki bahkan ia paham bagaimana emosi pria itu dari hembusan napasnya yang kasar. Kali ini ia sangat yakin kalau ini adalah suara Alvian.

“Aku gak nyangka kamu sampai block nomor mantan suami kamu sendiri.”

“Aku gak ngeblock nomor kamu. Ponselku emang nonaktif beberapa hari,” jawab Diana seadanya. Untuk apa pula ia melakukan hal yang sering dilakukan remaja labil ketika sudah putus. Saling memblock? Itu bukan pilihan yang bijak.

“Really? Hampir dua mingguan?”

“Iya. Kenapa? Kamu keberatan?” tanya Diana sambil beranjak dari tempat duduknya untuk menutup jendela balkon karena sepertinya gerimis sudah turun.

“Enggak. Aku gak berhak. Itu hak kamu.”

Diana menghentikan tangannya yang ingin mengunci jendela sesaat karena ia tidak bisa menahan senyumnya.

Setelah menutup semua jendela, Diana segera menuju kamarnya untuk mendapatkan kehangatan dari selimut tebal.

“Are you okay?” tanya Alvian dengan nada khawatir yang kentara.

Of course,” balas Diana seadanya sambil menghangatkan tubuhnya yang sedikit kedinginan.

“Kamu ... udah makan?”

Diana tidak yakin apakah intuisinya benar atau salah, tapi pria itu sangat aneh dari nada suaranya.

“Kamu aneh. Kita bukan lagi pacaran atau long distance relationship,” ucap Diana yang merasakan kejanggalan dari pertanyaan Alvian. Biasanya pria itu akan membahas sesuatu yang tidak jauh-jauh dari perceraian mereka.

“Ah! Eum, itu. Itu aku... aku lagi ada pers conference di Melbourne.”

Diana mengerutkan dahinya bingung. Setahunya jangkauan perusahaan Alvian hanya sampai sebatas Asia bukan Australia. Ia tidak menyangka kalau pria itu sangat cepat memperluas jaringannya. Ia turut bahagia mendengarnya.

Sepertinya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang