Bagi yang belum follow, follow dulu yuk!
aniday_ udah? Tengkiu!
Jangan lupa votenya ya! Makasih![Sepertinya, Rindu]
“Aku baik-baik aja, Nek. Oh, ya, Nenek udah sarapan? Aku belum sarapan ke sini. Kita sarapan sama-sama ya, Nek,” tanya Diana mengalihkan pembicaraan mereka.
Saras memegang pipi Diana, “Ini udah jam sepuluh pagi dan kamu belum sarapan? Cia, kamu kenapa? Lihat, pipi kamu yang dulunya gembul sekarang jadi tirus,” ucap Saras dengan nada sedih. Diana meraih tangan neneknya yang sangat keriput di pipinya.
“Kamu ada masalah?” tebak Saras yang tepat sasaran.
Diana menggigit bibir bawahnya—gugup. “Jangan mengigit bibir kamu, astaga. Kayaknya hari kamu berat, ya. Sini cerita sama Nenek,” ucap Saras dengan lembut.
Diana tidak dekat dengan Saras. Dulu, saat SMA, dirinya hampir tidak pernah mengunjungi Neneknya meskipun Raina selalu mengajaknya. Setelah kuliah pun dirinya tidak pernah mendekatkan diri dengan keluarga besarnya. Hanya sebatas formalitas untuk menjaga agar hubungan tetap ada.
“Enggak, Nek. Aku cuma ... capek. Kerjaan aku banyak,” kilahnya menghindar.
Saras terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia menghembuskan napas. “Kamu pembohong yang buruk. Mungkin orang lain akan percaya, tapi Nenek sudah terbiasa dengan kebohongan.”
“Kamu berhak untuk capek, Cia. Sangat berhak. Tapi kamu gak berhak untuk menyakiti diri kamu sendiri. Gak ada yang berhak untuk itu. Makan kamu gak teratur. Badan kamu mengurus,” sambungnya.
Diana terdiam.
“Ah, kalau papa Johan masih hidup, mungkin dia lebih berhak menasehati kamu.”
Saras kemudian beranjak berdiri dan membuat Diana melakukan hal yang sama. Ia memegang Saras dan memastikan neneknya yang tua itu berjalan dengan baik. Ia memperlambat langkahnya dan menyamakannya dengan Saras. Sementara neneknya itu menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan.
“Kamu lebih baik sarapan dulu daripada mendengarkan nenek tua ini bercerita,” ucap Saras yang membawa Diana ke dapur untuk mengambil makanannya. Diana dengan cepat menghentikan neneknya yang berusaha mengambil piring yang cukup tinggi dari jangkauan neneknya yang sudah membungkuk.
Diana menghembuskan napas kasar. Tidak Raina, neneknya, mereka membuatnya jantungan setiap saat.
“Nenek duduk aja,” ucap Diana setelah memastikan Saras duduk di meja makan. Ia kemudian mengambil beberapa lauk untuk menjadi sarapannya lalu duduk di depan neneknya yang telah menunggunya.
“Makan yang banyak,” ucap Saras melihat piring Diana hanya berisi sedikit nasi.
“Kamu ini ya,” kesal Saras ketika Diana hanya terkekeh atas ucapannya sebelumnya.
Saras kemudian bercerita panjang lebar kepada Diana tentang Johan. Tentang bagaimana kisah cinta ayah dan ibunya dulu yang tidak pernah diketahuinya.
“Papa kamu adalah orang paling bodoh yang pernah Nenek kenal. Sudah jelas-jelas Lara mencintai semua kekurangan Papa kamu, tapi laki-laki itu ... Astaga. Meninggalkan keluarganya karena alasan tidak masuk akal.”
Diana terdiam lagi. Seperti dirinya.
“Nenek membenci Papa?” tanya Diana ragu-ragu.
“Iya. Nenek tidak bisa tidak membenci Papa kamu ketika dia meninggalkan keluarganya tanpa alasan yang jelas dan masuk akal. Semoga kamu gak seperti Johan. Kamu pasti punya alasan, 'kan? Bercerai dengan suami kamu.”
Diana terdiam lagi. Matanya memanas untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan. Bagaimana bisa ... ia semirip itu?
Setelah bercerita panjang lebar tentang kisah lama itu, Diana menghantarkan Neneknya untuk beristirahat sendirian di taman belakang untuk menghirup udara segar dan berjemur beberapa saat.
Diana melewati beberapa lorong yang menyimpan sekilas kenangan masa kecilnya. Tempat ia bermain sendirian tanpa siapa-siapa. Sendirian. Ia terbiasa untuk sendirian.
Namun dengan cepat matanya menangkap sesosok wanita yang terlihat merindukannya—ibunya.
Tubuh ibunya terlihat sehat, bugar dan membuat Diana tidak terlalu khawatir akan kesehatan Lara karena Raina dan Budi dengan sangat baik menjaga ibunya.
“Ma—”
Lara menjatuhkan semua yang ada di tangannya termasuk belanjannya untuk memeluk putri sulungnya. Putri yang selalu bersedia menerima keluh kesahnya, yang terpaksa menanggung beban berat keluarga mereka sejak dulu.
“Akhirnya kamu mau menemui Mama kamu yang udah tua ini!” kesal Lara.
Diana tersenyum. Namun senyumannya berubah menjadi senyuman sedih. Matanya memanas menahan tangis. Kakinya lemas dan terduduk tanpa aba-aba. Buliran air itu akhirnya jatuh dan membasahi pipinya.
“Ma, maafin aku. Aku—aku gak tahu apa-apa. Aku... Aku bodoh, Ma,” ucapnya di sela-sela tangisnya yang menjadi-jadi.
Lara menunduk dan memeluk putri sulungnya. Dia tahu lebih dari siapa pun yang mengenal Diana, kalau putrinya ini sangat cengeng. Tak jarang ia menemukan putrinya ini menangis di kamar dan tidak ingin satu pun mengetahuinya.
“Astaga! Wajah kamu kenapa? Kamu diapain sama mantan suami kamu, ha?!” pekik Lara ketika melihat wajah Diana yang basah karena air mata. Dalam hati Diana membenci air matanya yang sering keluar tanpa seizinnya. Make up-nya pasti sudah luntur sekarang.
“Aku gak papa, Ma,” ucap Diana sambil memeluk ibunya namun tetap menangis di bahu Lara. Ibunya tidak banyak bicara dan membiarkan putrinya menangis sepuasnya di bahunya.
“Mama pikir kamu membenci Mama,” ucap Lara ketika Diana sudah tidak menangis lagi. Mereka duduk di ruang depan yang sangat sepi.
Ibunya adalah orang yang sangat menentang perceraiannya dengan Alvian. Beberapa kali ia berdebat dengan ibunya saat masa-masa perceraian dan bertengkar hebat sehingga Diana memutuskan untuk menjaga jarak dari ibunya. Ia tidak ingin membenci ibunya sendiri dan memilih untuk menjauh.
“Mama dengar dari Warren kalau kamu melepaskan jabatan kamu. Kamu mau kemana? Meninggalkan Mama? Sebegitu bencinya kamu sama Mama?”
Diana menggeleng sambil memeluk ibunya. “Aku gak pernah benci sama Mama. Aku ... benci diriku sendiri.”
Lara mengelus kepala putrinya dan berkata, “Kenapa wajah kamu? Kantong mata kamu kelihatan jelas. Kamu juga kurus banget. Lihat ini tanganmu,” ucap Lara sambil memegang tangan Diana.
“Keputusan kamu turun jabatan udah tepat. Kamu harus menambah berat badanmu sekarang. Astaga, kamu udah kayak tulang berjalan!” kesal Lara.
Diana tidak mengacuhkan ucapan ibunya dan tetap memeluk ibunya dari samping. Menghirup aroma ibunya yang ia rindukan.
Hening untuk beberapa saat sampai akhirnya Lara membuka percakapan sambil membawa wajah Diana tepat di depan wajahnya, “Ya ampun, Diana..., matamu...,” ucap Lara ketika menyadari mata Diana yang semakin membengkak karena menangis tadi.
Diana menurunkan tangan ibunya yang berada di wajahnya. “Aku baik—”
“Kamu gak baik-baik aja, love. Kamu ada masalah lagi sama mantan suamimu?” Diana menggeleng.
“Jadi?”
“Mama marah sama aku?” Lara menggeleng. “Kamu punya alasan sendiri. Kamu udah dewasa dan Mama gak berhak mengatur hidup kamu.”
“....”
“Kalau kamu punya masalah, jangan disimpan sendiri, okay? Kamu masih punya Mama untuk dengar semua keluh kesah kamu. Kamu gak sendirian, Diana.”
Saat itu pula, Diana merasa sebagian bebannya jatuh entah kemana. Setidaknya lebih ringan daripada sebelumnya.
Sepertinya, ia menyelesaikannya dengan baik.
[Sepertinya, Rindu]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepertinya Rindu
ChickLit| Chicklit Romance | Selesai | Kalau saling mencintai saja sudah cukup untuk memberikan kebahagiaan, semuanya akan terasa mudah. Diana memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, Alvian karena dirinya terlalu sibuk bekerja dan ingin mengejar karirnya...