31. Mertua

6K 663 377
                                    

Siapkan tissue, siapkan posisi nyaman, siapkan hati. Selamat membaca chapter ini!!

Jangan lupa kasih bintang, komen yg banyaaakkkk, follow, dan share ke temen-temen kaliann. Happy reading!

Lagu part ini: Jeremy Passion - Nothing.


•°•°••°•°•°••

"Tante mau ngomong serius sama Shani."

Satu kalimat dari Esya itu, cukup untuk membuat Shani ciut. Sangat sanggup untuk menjadikan ujung jemari kaki gadis 22 tahun melipat takut. Dengan dua tangan di atas paha, Shani remas celana kulot milik Gracia yang dipakainya sambil terus diamati. Seluar longgar berwarna krem itu dibuatnya lusuh beberapa bagian.

Di langit barat, mentari tak banyak berpindah tempat. Ini masih selang beberapa menit setelah Esya meminta Shani untuk berbicara berdua dengannya, empat mata delapan telinga. Angkasa kian cerah tanpa adanya awan. Cahaya benderang sang surya sukses menerobos jendela ruang kerja yang terbuka sempurna dan jatuh tepat pada tiga vas kaktus di kusennya.

Semesta terlihat tengah bahagia, tetapi tidak dengan salah satu makhluk di dalamnya. Shani, tentu saja gulana. Sofa empuk berwarna kelabu yang menghadap tepat ke arah jendela itu kini ditempati dua perempuan berbeda usia, berbeda perasaan. Lebih dari resah, rasanya hati Shani campur aduk jika harus bersebelahan dengan sosok seorang Esya apalagi dengan maksud tertentu.

Sehabis menyesap wedang, Esya kembali meletakkan cangkirnya di atas lipatan paha. Membiarkan gelas kaca itu menghantarkan sisa-sisa hangat ke sana. Menengok ke kiri, satu tangannya ia gunakan untuk menepuk-nepuk tempat kira-kira satu jengkal di samping. Shani terlalu jauh mengambil jarak, dan dirinya tak nyaman dengan itu.

"Sini, agak deket. Jangan jauh-jauh gitu," katanya, lembut. Dan Shani, dengan patuh langsung menggeser pantatnya ke kanan sampai pahanya dengan milik Esya menempel sebagian. Membikin debar jantungnya menjadi.

Shani makin gugup. Ia tautkan kedua tangannya, kali ini diletakkan di dalam lipatan paha. Mencoba menyembunyikan getaran-getaran samar yang sebenarnya tak perlu sulit-sulit Esya sadari. Mata perempuan dua anak itu jeli.

Posisi mereka sudah dekat. Esya juga bisa dengan mudah meraih Shani dari sini. Namun, ada yang kurang. Shani belum memberinya seluruh atensi meski ia tahu gadis itu benar-benar mendengarkan. Maka Esya yang paham dengan rasa takut dalam diri gadis itu, tersenyum maklum.

"Shani, lihat Tante," katanya. Tak akan memulai cerita sebelum Shani mengiyakan permintaannya.

Shani embuskan napasnya yang sempat tertahan di mulut. Pelan. Sepelan kepalanya yang bergerak terangkat dan menoleh ke kanan. Begitu sedetik sorot matanya bertemu dengan milik Esya, segumpal gentar dalam diri Shani terasa meluap. Dan sepertinya, usahanya untuk menyembunyikan perasaan itu tak berhasil.

Paras Esya tidak menakutkan, tidak. Bahkan wanita itu kini tersenyum hangat kepadanya, sehangat senyum Gracia yang selalu dirinya puja. Bedanya, senyum Esya tak muncul sendirian. Keriput-keriput halus tampak terlihat di wajahnya yang bersih terawat. Hal itu sama sekali tak menjadikan kecantikannya luntur.

Sehingga Shani paksakan saja senyumnya. Membalas guratan manis Esya selagi hatinya was-was menanti ucapan darinya yang entah kapan diutarakan. Ditambah, kali itu tak ada suara sama sekali selain suara detik jam dinding. Hening.

"Jadi, itu betul?" tanya Esya.

Shani mengedip sekali. Belum mengerti dengan pertanyaan Esya yang tertutur lewat nada lembut. Dan seolah paham akan kebingungan sang gadis bermanik cokelat kahwa, Esya berniat mengulang ucapannya. Kali ini lebih lengkap.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang