Jeremy Zucker & Chelsea Cutler - This Is How You Fall In Love
Happy listening, happy reading!!! LAGUNYA PLAY DULU. UDH BELOM?????
PLAYYY DULUUUUUUU. BUKA SPOTIFY TRS DIPLAYYYY. MET BACAAAA
Ada visual Arnold di media. LIHAT DULUUUUUUUU
•°•°••°•°•°••
Gracia menelan salivanya yang pagi ini masih sama rasanya.
Sepahit kopi tanpa gula.
Tak bisa dihitung. Ini benar-benar sudah usahanya yang kesekian untuk tetap waras dan terjaga demi menjalani hari meski kondisinya kurang baik. Oh tidak, bahkan sepertinya kini lebih dari itu. Tubuhnya yang lunglai jauh dari kata bugar. Hatinya yang terluka kian dipaksa tegar. Hidungnya pun merah. Terlampau sering tergesek kasar dengan tisu. Namun demi Shani, ia harus kuat.
Melungguh pada sofa hitam berbahan kulit di ruang tamu kediaman seseorang, dua tangannya bertumpuk di atas paha yang merapat. Jemarinya sekali-kali saling merangkum, sekali-kali juga mengusap cincin milik Shani yang kini ada di ibu jari kiri. Segenap bagian tubuh perempuan itu diam tanpa gerakan sama sekali, dan matanya yang memberat dipaksanya untuk mencerna segala objek di sekitar. Membunuh waktu selagi menunggu sang empunya rumah di dapur. Tadi berkata hendak membuatkan minuman.
Kediaman Arnold, kala itu. Sang pria paruh baya yang dikenalkan Harry kepadanya.
Gracia tak lelah mengedarkan pandangan pada ruang tengah yang jadi tempat ia bertamu. Sama seperti dua perempuan yang duduk di kanan kirinya, Anastasya dan Abigail masih berdecak kagum. Atensi tiga manusia itu jatuh pada furnitur-furnitur dari kayu walnut yang tersebar di ruang berukuran 6 × 6 meter. Ah, biar Gracia gambarkan sedikit bagaimana penampakan ruangan ini.
Tembok sisi kanan dan kirinya dicat cokelat gelap, lalu bagian depan dan belakangnya putih gading. Ada lemari kaca dengan rangka kayu untuk meletakkan berbagai bungkus biji kopi, kemudian di sampingnya ada televisi 55 inci, nakas, dan lemari jam ayun yang pendulumnya masih bergerak. Serangkai jendela kembar terletak di salah satu dindingnya, dan menghadap langsung ke halaman depan rumah. Di sebelah jendela itu, ada rak kayu yang berisi tiga baris deret buku.
Yang paling unik, ialah beberapa lukisan berukuran setengah meter pada dinding yang berseberangan dengan jendela. Semua lukisan itu tak membentuk sesuatu yang spesifik. Seperti coretan anak-anak yang menggoreskan tinta dengan bebasnya. Entahlah, Gracia tidak paham maknanya. Yang jelas perpaduan warna dan ornamen yang ada, menjadikan rumah ini tampak elegan. Menurutnya, hunian ini terlalu luas untuk ditempati seorang diri. Tinggal dengan siapa Arnold di sini, Gracia tak tahu.
Selang beberapa kala, aroma kopi menembus penciuman Gracia yang akhir-akhir ini sempat mampet. Matanya spontan beralih ke arah pria yang sedang berjalan dengan nampan kayu di tangan. Entah mengapa untuk wangi yang kali ini, rasanya langsung sampai ke kepala tanpa halangan. Masih jauh pun, aroma minuman hitam itu sudah sampai duluan di hidung.
"Mari mari, silakan." Berurutan, Arnold menaruh empat cangkir keramik bermotif wayang di atas meja beserta lepeknya. Kopi susu untuk Anastasya di ujung kiri, kopi pahit gula sesendok untuk Gracia di tengah, dan teh manis untuk Abigail di ujung kanan. Pria itu tak segan mengistimewakan tamu-tamunya pagi ini.
Terakhir, Arnold menaruh cangkir kopi di pinggir meja yang dekat dengannya. Pas. Semua sudah dapat minum termasuk dirinya. Maka nampan cokelat tadi ia letakkan di kolong meja, dan tubuhnya ia dudukkan di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
RHYTHM
Fanfiction"Suara drum, bass, keyboard bakal ganggu telinga lo, lo fokusnya ke gue aja. Ok?" "Emang lo kira gue fokusnya bakal kemana selain ke lo?" "You're trying to make me melt." "Eh, maksud gue bukan.. Anjir, salah ngomong! Sorry, maksud gue, gue fokusny-"...