23. Luka, Kado, Obat Nyamuk

13.4K 760 369
                                    

Jangan lupa lihat media, klik bintang dan komen yang banyakkkkjshshd.

Happy reading! Lagunya terserah yang penting selaw


•°•°••°•°•°••

Dan, Gracia makin bungkam.

Kehilangan kata-kata dan makin membatu dibuatnya. Langit makin gelap dan mulai menurunkan gerimis yang semalam seolah belum puas melampiaskan, makin deras seiring waktu. Tiap derainya jadi lagu latar dua insan yang mendadak bisu.

Shani tidak banyak bertingkah. Hanya bernapas tenang dengan wajah tak secerah biasanya. Senyumnya terkadang pudar juga mengembang. Berubah-ubah hanya dengan menjadikan Gracia sebagai objek penglihatannya yang sayu. Tidak ada yang dipikirkannya selain betapa nyaman di dekat sang kekasih saat itu.

"Aku ada buat tempat cerita kamu, kok." Gracia mengembalikan sorot matanya pada telaga cokelat Shani setelah menatap jam di dinding beberapa jenak. Dalam pancaran cemasnya yang terlihat jelas, selalu ada tempat bernaung bagi Shani dan segala isi kepalanya yang terkadang rumit, "Tapi, aku ngga bisa maksa. Kamu sekarang udah ngga apa-apa beneran, 'kan?"

"Udah ngga apa-apa."

"Kamu tuh, keren."

Mata Shani langsung menyipit, "Kok bisa?" tanyanya. Menunggu jawaban, tatapannya mengarah pada tahi lalat yang ada di pipi kiri Gracia. Seolah setitik noda pada permukaan kue lembut yang ingin selalu dirinya cubit.

"Kamu bilang dulu hidup kamu ngga enak, beda dengan sekarang. Berarti kamu udah berhasil ngelewatin masa-masa berat hidup kamu dong, dan hasilnya bagus. Kamu tuh hebat, tau. Kamu keren," terdengar jelas ada nada bangga di balik balasan Gracia yang satu itu. Dia tersenyum geli melihat ekspresi Shani yang tiba-tiba saja jadi lebih menggemaskan.

Di antara gigitan gigi seri yang terbenam di bibir belah bawah, Shani juga tersenyum amat kecil. Dadanya seakan bergemuruh kala perkataan Gracia barusan terulang di dalam kepala, letupnya  terus menguat sampai ke titik maksimal. Sukses menenggelamkan jantungnya dalam perasaan nyaman pun hangat yang jarang didapat.

Satu kedipan lambat, kelopak mata Shani serta-merta merembes basah. Itu puncak dari getar dalam dirinya yang barusan sudah menggila. Senyum tulus dari Gracia yang memunculkan diri, seolah memberi kabar baik bagi badannya yang baru saja terperenyak. Di detik selanjutnya, ibu jari perempuan itu sudah menyeka air yang tidak kunjung hilang di kelopak mata.

"Aku, a-aku.. ngga pernah diapresiasi sama orang lain begini. Maaf ya jadi mellow." Shani terkekeh tak nyaman saat Gracia masih telaten menyeka. Sandingan jiwanya itu menggeleng, lalu mendekat. Mengecup dahi Shani cukup lama dan baru kembali setelah benar-benar puas menghantarkan ketenangan di sana.

"Bukan cuma aku kok, yang keren, tapi banyak banget," Shani merasa harus melanjutkan, "Aku, orang-orang terdekat aku, kamu, orang yang pertama kali ngenalin aku sama gitar," Kepalanya tiba-tiba saja penuh dengan sekian rupa bayang manusia yang menyeruak entah dari mana. Satu yang paling terlihat jelas. Bukan Gracia yang saksama mendengarkan dengan tangan terus membelai pipi.

"Mungkin kalau ngga ada dia, aku ngga bakal ada di depan kamu sekarang. Aku ngga bakal kerja di tempat bagus, punya kucing lucu, punya pacar baik kayak kamu, punya keluarga kedua dari kamu, ngabisin waktu bareng, masih banyak lagi."

Masa lalu sempat menorehkan banyak luka di tubuh Shani yang rapuh. Terlalu banyak menumpahkan tinta hitam di kertasnya yang sudah penuh coretan kasar. Meskipun sudah berhasil dilewati, masih tampak jelas betapa banyak yang mencabik paksa lembaran itu. Sehingga bila kini dia terlihat sempurna di luar, terkadang ada waktu di mana luka tadi tidak bisa disembunyikan.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang