11. 1 Good Hug

15.2K 890 218
                                    

Apa kabar brother and sister?? gimana self-quarantine-nya selama ini? Berjalan lancar atau penuh tugas seperti diriku? ( ꈨຶ ˙̫̮ ꈨຶ ) semoga sehat" aja ya semuanya! Chapter 11 bakal complicated tapi tetep fluffy seperti biasanya. Jangan sampai kalian berpaling! (◡ ω ◡)

Musiknya kaya biasanya aja. Happy reading! Jangan lupa votes dan komentar!


•°•°••°•°•°••

"Shani? Kok bengong sih? Ada aku lho di sini."

Sekedipan mata, Shani langsung kembali dari tercenung memikirkan segala keperluan untuknya juga Gracia nanti malam yang sebenarnya barusan telah diatur sedemikian rupa di dalam kepala. Sial. Kurang ajar sekali pikirnya orang yang telah membuyarkan lamunannya. Andaikata bukan teman baik mama, Shani pasti akan menggebrak meja di hadapan sebagai pelampiasan kesal juga tanda tak terima. Andaikata bukan permintaan sang ibunda, Shani tak akan rela mengeluarkan tenaga dan menjadikan waktu tidur siangnya untuk menemani sosok ini makan di restoran Jepang ternama Jakarta.

Ia akhiri lamunan barusan dengan sebuah dehaman kecil. Dalam upaya membasahi tenggorokan juga hitung-hitung menahan pelisannya untuk tak mengeluarkan sumpah serapah. Setengah hati, wajahnya ia palingkan dari sebuah lukisan Great Wave of Kanagawa di salah satu sisi dinding yang sempat merebut atensi menuju wanita di seberang. Terpaksa, dan akan selalu begitu selama dia ada di depan mata.

"Mikirin apa sih?" Tanya perempuan awal kepala tiga itu lagi, kini dibumbui senyum tipis. Alisnya sedetik terangkat seiring kekehan heran, namun sama sekali tak membuat Shani tertarik apalagi tertular hingga membuat ujung bibirnya ikut menyungging. Yang ada, ia menghela napas berat lalu melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. Sudah banyak kali dirinya memandangi rotasi jarum detik di sana dan berharap waktu segera berlalu. Naasnya, semakin dipikirkan membuat geraknya terasa makin lambat. Dan tak dipikirkan juga rasanya tidak bisa. Padahal tidak biasanya seperempat jam dilewati dengan sepelan ini. Jarum bahkan masih menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh.

"Nothing.." ia menyahut seraya menggelengkan kepalanya enggan. Si gadis berkaus hitam dengan ujung lengan digulung berusaha untuk tidak sekentara mungkin menujukkan geriknya yang masih tak rela waktunya direbut. "Tadi.. teh Lisa ngomong apa?" Melahap sepotong sashimi yang sempat diangguri, Shani kembali beradu pandang meski wajahnya masih tak memberi mimik berarti.

Di sisi lain, Shani tetaplah Shani. Perempuan yang bisa menutupi segala perasaan enggan dengan mengalihkan perhatiannya ke hal positif yang ada. Di balik ada rasa tak nyaman yang mendatangi, dirinya langsung teringat seseorang kala tak sengaja memainkan cincin yang memeluk telunjuk kanannya menggunakan ibu jari. Diserang cahaya kekuningan dari ornamen lampu di atas, pendar yang dihasilkan dari safir yang bertakhta di sana membuat hati Shani menghangat walau raut wajahnya tetap tidak senada dengan indah binar berkilauan sang permata.

"Kamu itu, wisudanya kapan? Deket-deket ini 'kan?" Lisa ucap sekali lagi pertanyaan yang belum Shani jawab. Lima jemari tangan kirinya yang menganggur dari jepitan sumpit mengetuk-ngetuk bidang datar meja secara bergantian. Deretan kukunya yang dikuteks merah terang menciptakan ritme kala ujung-ujung panjang nan lancip itu membentur teratur permukaan halus berbahan jati.

Shani, yang masih asyik memerhatikan aksesorinya hanya menggeleng ringan. Barulah agak lama terpaku di sana, bola matanya mau bergulir pada si wanita turtle-neck putih yang begitu menampakkan liuk badan. Ia dorong napasnya keluar dari mulut secara kuat-kuat menyaksikan sepasang mata Lisa tampak tak berkedip diapit bulu rapi berlapis maskara tebal dan melengkung tajam ke luar sisi. Pula senyumnya yang lebih pantas disebut seringai, wanita itu sudah seperti rubah yang melihat mangsanya dan siap diterkam juga dimakan.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang