35. Another Cliff

8.6K 802 433
                                    

jangan lupa votes, komen, subscribe, share, and klik tombol lonceng awkwkw. Happy reading!


Song: Daniel Caesar - Death & Taxes

•°•°••°•°•°••

Perawakan Hanny itu ... mirip Shani. Tentunya. Mereka hanya berbeda sifat saja. Dan, oh, bukan saja, karena perbedaan yang satu itu benar-benar drastis. Efek yang ditimbulkan pun jauh berkebalikan. Sebab bila bertemu Shani membuat Gracia bahagia, maka jika harus bertemu ibunya ... Gracia rasanya ingin pulang saja.

Wanita berjilbab instan merah hati itu masih bersedekap di hadapannya. Setia memborgol banyak kata di balik bibir berlapis gincu tipis yang entah kapan terungkapkan. Duduk bersandar di sofa yang Tio singgahi sebelum ini, matanya sinis meniti Gracia dari bawah ke atas. Gelagatnya persis seperti yang dilakukan sang suami.

Dari sepatu kulit yang dipakai, celana kain hitam, kemeja biru muda sepanjang pergelangan tangan yang dilapisi jas putih pendek kedokteran. Kartu identitas yang dijepit ke saku, jam tangan, juga beberapa helai rambutnya yang jatuh ke bahu. Terutama paras resahnya yang tertunduk takut. Berada dalam posisi seperti ini, Gracia seolah kehilangan wibawa. Juga asa.

Saksama Hanny perhatikan wajah milik kekasih sang putri. Berusaha mencari alasan mengapa Shani mencintai perempuan ini—meski tak mungkin semudah itu untuk ditemui. Karena demi apa pun, ia tak pernah menyangka bila manusia bernama Gracia ini, ternyata pacar Shani, anak gadis semata wayangnya. Parahnya, mereka berdua kaum Hawa. Dan lebih parahnya lagi, mereka berbeda agama.

Biar Hanny perjelas. Gracia dan Shani diciptakan dalam gender yang sama, tetapi lahir dengan keyakinan yang berlainan. Mereka ditakdirkan untuk memiliki rahim, juga ditakdirkan untuk tidak sejalan dalam urusan keimanan.

Sudah ditentang agama, nekat pula. Bagaimana Hanny tidak kecewa bila begini ceritanya? Habis ini, mau ditaruh mana harga dirinya sebagai orang tua?

Ribuan istigfar tak kunjung tuntas ia gaungkan dalam hati. Semenjak insiden foto malam itu hingga siang ini. Semua tidak lain sebab anak yang begitu ia sayang, telah membuat sesalnya tercetak amat dalam.

Mengingat fakta bahwa mereka berdua sama-sama perempuan, menjadikan Hanny sekali lagi menggeleng. Jantungnya telah tertohok oleh bilah tajam, dan saking sakitnya, kini ia tak bisa menangis. Pedar hatinya terlalu melimpah hingga menutupi sekian rasa perih yang mencuat. Sebagai ibu, ia merasa gagal. Kepercayaannya dibuat pudar.

Sementara itu, sosok yang ia pandangi masih membisu dalam ketakutan. Tidak kuasa menatap Hanny, Gracia taruh perhatiannya pada ubin di bawah dan memasang telinga tajam-tajam. Dua tangannya bertaut cemas di atas paha. Menemani debar jantungnya yang saling mengejar dengan ritme hujan di luar sana. Derai yang dengan begitu ciamik telah menambah kegelapan di hari kelamnya.

Gracia selalu berangkat kerja 2 jam lebih awal sejak Shani dirawat inap di sini. Sama sekali tak bosan untuk menemani gadis itu sebelum ia harus pergi dinas di lantai lain. Selain itu, dirinya juga pergi ke tempat Shani saat jam istirahat. Berharap punya waktu lebih banyak bersama kekasihnya sebelum Hanny tiba di sini—dan sekarang saat itu tiba. Dan tentu, ini tidak semudah yang Gracia kira.

Karena tiap gerakan apa pun yang Hanny lakukan, sungguh menjadikan dirinya renyang. Bimbang. Maka dari itu, sejak Hanny tiba tadi pagi, Gracia mencoba membangun tembok tinggi-tinggi di dalam hati. Menguatkan dirinya sendiri dengan apa pun yang ia bisa. Membalut perasaannya dengan lapisan kokoh agar tidak mudah goyah. Menghindar bila belum diperlukan.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang