34. Hugging All Your Wounds

7.6K 695 241
                                    

Jangan lupa votes, share, bagikan ke teman-teman, kasih bintang, follow, dan jangan lupa komen yg banyaaaaaak. Happy reading!

Song: The Overtunes - I Still Love You


•°•°••°•°•°••

"Shani langsung masuk ruang operasi. Operasi cito dia."

Penuturan Gracia menjadikan pundak Harry seakan dihantam benda berat. Membuatnya lunglai dalam sekejap. Berbalik badan dan duduk menghantam kursi besi, empasan punggungnya menimbulkan bunyi cukup nyaring. Ia lampiaskan segala energi yang masih dipunya ke sana. Volumenya berhasil mengalihkan sejenak perhatian beberapa pasang mata yang berada di sisi lain lorong.

Meletakkan tas hitam berisi pakaian milik sang adik di lantai, Harry lanjut mendorong napas kuat-kuat. Dia sudah dibuat kaget tadi, ketika sang ibu menghubunginya tiba-tiba padahal ia masih sibuk mengurus kafe yang masih ramai. Wanita itu serta-merta marah padanya. Menuding bahwa Harry tak bisa menjaga Shani dengan baik selama di Jakarta. Sebagai orang yang pertama kali dikabari akan permasalahan ini, tentu ia tak lantas mengerti.

Harry yang tak terima, langsung bertanya maksud sang mama. Dan setelah tahu apa yang membuatnya jadi begitu, ia hanya bisa membisu. Ditambah, saat itu juga ibunya meminta nomor Gracia. Beliau ingin segera berbicara dengan perempuan itu setelah menghubungi Shani sesudah ini. Lalu tanpa tedeng aling-aling, teleponnya dengan Harry diputus begitu saja.

Pergi ke ruang istirahat di balik kafe berharap akan sempat menelepon sang adik, usaha Harry gagal karena nomor Shani sudah sibuk. Jadilah, ia segera menelepon Gracia. Meminta izin untuk membagikan nomornya sekaligus mengutarakan hal gawat yang terjadi.

Sisanya, Harry cuma terdiam di dalam sana sebab taksanggup lagi mengurus pekerjaannya. Sibuk menerka-nerka apa yang kini terjadi di rumahnya, di Yogyakarta. Juga menghubungkan segala kemungkinan yang bisa saja terikat dalam benang merah.

Sayang, malam ini keterkejutannya tak cuma sekali. Untuk kali kedua, jantungnya dibuat riuh oleh debar ketika beberapa menit setelahnya, Gracia mengabari bahwa Shani kecelakaan. Harry sudah mengeluarkan kunci mobil dari saku demi langsung menyusul ke rumah sakit, tetapi Gracia menolak. Perempuan itu memintanya untuk pulang terlebih dahulu untuk mengambil pakaian Shani yang kemungkinan akan opname.

"Habis dirontgen tadi, ternyata jempolnya dislokasi. Jadi harus langsung dioperasi. Kalau enggak, katanya bisa pengaruh ke syarafnya."

Harry mengerjap, sadar dari lamunan oleh ucapan yang Gracia katakan. Menoleh ke samping, ia dapati Gracia yang kian lesu. Dilihat lebih jeli, matanya juga terlihat sedikit bengkak. Seperti habis menangis cukup lama, dan memang benar adanya.

Gracia kerutkan jemari kakinya yang dibalut pantofel. Dingin. Helaan angin bersemilir melewati punggung tangannya, membuat badannya makin tak nyaman. Sekarang sudah pukul 10 malam, dan dia seharusnya sudah ada di rumah. Membungkus badannya dengan selimut hangat, menanti kantuk datang lebih kuat, lalu tidur. Kalau Shani menelepon, dirinya bisa tidur lebih malam.

Namun apa daya, takdir tak berpihak padanya dan membuat waktu terasa begitu lambat.

Lorong ini. Lorong tunggu ini, entah mengapa kini terasa begitu mencekam juga menakutkan. Padahal sehari-hari Gracia melewati jalur ini untuk sampai ke ruang kerja.

Sebagai tenaga medis, tak dapat dipungkiri bila perasaanya seringkali ikut terluka. Turut merasakan pilu setiap kali melihat orang-orang yang menanti salah satu anggota keluarga mereka bertarung melawan maut di dalam ruang bedah sana. Mencari kesembuhan, menunggu titik terang dan keberhasilan. Doanya selalu mengalir pada mereka, juga pada segenap rekannya yang bekerja.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang