29. Schadenfreude

8.8K 597 243
                                    

Cari tempat nyaman, dengerin lagu kesukaan kamu, lihat media, met membacaa.

Happy reading!

•°•°••°•°•°••

Dari meja nomor 35 di ujung ruangan, seorang pelayan lelaki dengan vest hitam berjalan menuju dapur. Membawa kembali buku menu serta secarik kertas bertuliskan beberapa jenis pesanan yang akan dimasak oleh koki. Gemuruh hujan terdengar dari luar, getarannya menembus jendela. Jadi background music bagi tiga manusia di meja bernomor ganjil tadi selama belum ada yang bersuara.

Dan di situlah Gracia juga Shani berada. Duduk bersebelahan pada meja yang berada tepat di samping tembok kaca, menampakkan langsung area luar restoran. Memberikan atensi tanpa kata pada wanita 30 tahunan yang memandangi mereka lamat-lamat. Restoran bernuansa klasik itu tak cukup ramai untuk ukuran akhir pekan, apalagi kapasitasnya dikurangi. Menjadikan suasana yang sudah sepi, makin sepi.

"So.. hai."

Lisa.

Ia akhirnya membuka obrolan. Menyandarkan badan, bibirnya terlipat. Kuku akrilik hitam dihias berliannya menggaruk taplak putih meja, tak setenang biasanya. Berbeda dengan pertemuan terakhirnya dengan si gadis pujaan  dua tahun yang lalu, pertemuan malam ini diawali oleh jantungnya berdetak ngilu.

Sapaan singkatnya kala itu dibalas senyuman manis oleh Gracia. Tidak sesamar Shani yang cuma menaikkan beberapa milimeter sudut bibirnya. Duduk berdekatan, posisi mereka malam itu membuat Lisa harus menelan ludah untuk ke sekian kali. Tahankah ia jika beberapa menit ke depan diberi pemandangan seperti ini? Apakah ini uji nyali?

"Shani, ini ... Gracia, yang bikin channel Youtube berdua sama kamu itu ya 'kan?" Menatap Gracia lebih lama, ucapan keduanya terlontar untuk Shani. Jangan salahkan Lisa yang masih tak yakin, bahkan tidak ingin yakin. Tadi, saat Shani dan 'sahabatnya' baru saja datang, meja mereka langsung dihampiri oleh waiter. Menjadikannya tidak sempat berkenalan di awal pertemuan.

Shani tak langsung menjawab. Mengalihkan tatapannya pada sosok yang dimaksud, ia tersenyum begitu pandangannya dengan Gracia bertemu. Sangat cukup untuk membuat jantung Shani terpacu. Pacarnya cantik, selalu. Meski kali ini berdandan sederhana dan hanya pakai blouse hitam juga celana jeans. Mirip dengannya, beda di bagian atas saja. Tentu, mereka tak mempersiapkan baju khusus untuk dinner dadakan ini.

Kemudian Shani mengangguk sebagai balasan. Ia kembali menatap Lisa dengan tenang ditambah sedikit senyuman. Oh Tuhan, ini untuk pertama kalinya Shani merasa senang bertemu dengan wanita genit di hadapannya. Dia sangat berterima kasih pada keberadaan Gracia hingga menjadikan Lisa tak secerewet dulu. Shani pun, sepertinya bukan lagi yang menjadi perhatian utamanya malam itu. Karena sejak tadi ia mendapati Lisa memandang Gracia, entah mencari apa darinya.

Benar sudah apa yang Lisa sangka. Akhir-akhir ini, Shani memang sering terlihat bersama manusia bernama Shania Gracia ini. Lisa lagi-lagi menelan saliva, kemudian memperbaiki posisi duduknya yang tak nyaman. Seakan kurang menyusuri Gracia dari atas ke bawah sekali saat mereka datang tadi, kembali ia menyorotnya dengan mata sedikit memicing.

Lisa berani mengakui kalau Gracia ... cantik. Teramat. Bulu mata perempuan itu lentik, matanya indah. Hidungnya mancung, berbentuk roman sehingga tampak patah di bagian tengah. Gracia itu, gambaran sosok mempesona untuk ukuran perempuan. Paling tidak bagi standar Lisa pribadi yang tentunya berada di titik tinggi.

Ditambah, nada bicaranya begitu nyaman didengar. Tadi saat membacakan nama menu saja, ucapan yang keluar dari pelisan Gracia terasa pas di telinga. Rendah tetapi ringan, elegan. Benar-benar khas penyanyi. Andai Lisa punya suara seperti Gracia, ia tak akan pernah absen bernyanyi barang sehari.

RHYTHMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang