New West - Those Eyes (Live Acoustic)
Met membaca janlup siapin tisu, play musiknyaa, votes yg banyakkk, komen yg banyakkk, dan share ke temen² keliann. Bilangin ke mereka ges, ini ridem udah apdet awkwkwowko
Happy reading!
•°•°••°•°•°••
Detik demi detik perpisahan mulai terhitung semenjak dua dara itu terpisah jauh, dan jumlahnya sudah tak bisa dihitung jari.
Menit berganti jam, jam menjadi hari, tanggal di kalender silih berganti. Pekan sudah tidak lagi sama, dan Shani tidak mengerti sudah berapa lama dirinya berada di tempat menyesakkan ini. Ini kamarnya sendiri yang sekarang terasa berbeda. Tiada kedamaian di dalamnya. Padahal semenjak kecil ia tumbuh dalam bilik tanpa kekurangan ini, tetapi kini rasanya begitu asing. Ditambah, segalanya membuat pening.
Untuk sekarang, si Indira begitu benci dengan Yogyakarta.
Shani benci pada rumahnya.
Gadis berlesung pipi itu tidak lagi di Jakarta sekarang. Semenjak dibawa pulang paksa dari rumah sakit saban hari tanpa melihat Gracia sepersekon pun, Shani langsung diantar pulang ke Yogyakarta bersama seluruh keluarganya. Tidak bisa menolak, terlalu lemah untuk berontak, mau tidak mau kini di sini ia berada. Berselimut tangis dan lara yang tiap hari tak pernah terlewat.
Lantunan bacaan Al-Qur'an setia menggema di ruangan merah muda itu. Iya, merah muda. Entah dari kapan ruang ini diubah warna dan ornamennya, karena Shani ingat betul beberapa tahun terakhir kamarnya berwarna putih tulang. Dahulu, dindingnya juga setia tertata rapi meski dihiasi banyak gitar dan perintilan. Akan tetapi, sekarang ke mana perginya alat musik yang satu itu? Kenapa tiada lagi gitar yang menggantung di sisi tembok yang kini ia pandangi penuh pilu?
Mendesah berat, Shani masih duduk bersila di kasur dengan sisa tenaga yang dipunya. Pancar matanya yang tak lagi bercahaya, pelan-pelan singgah ke arah pintu kayu jati yang terbuka lebar. Memandang keberadaan Hanny yang bersedekap, wanita itu terlihat menahan amarah juga penuh harap. Tiada rasa iba yang terpancar dari ekspresi sosok Ibu berkacamata tebal itu. Dan semakin lama dipandang, Shani merasa makin sakit.
Maka gadis itu pergi merunduk. Netra cokelat muda senada kahwa miliknya yang biasanya gagah memandang dunia, kali ini redup seakan tanpa nyawa. Kesadaran Shani hanya tersisa sedikit pada saat itu. Tubuhnya seakan mati rasa. Dia tidak merasakan apa-apa lagi selain pegangan tangan di tengkuk oleh seorang ustaz ke-sekian yang dibawa orang tuanya ke rumah.
Shani memang kehilangan sebelah pendengaran sekarang, tetapi bukan berarti tidak merasa muak karena dipaksa mendengar ayat-ayat yang sama sekali tak ia pahami. Ditambah, kondisi di dalam telinga kirinya kian memburuk tiap hari. Panca indera kesayangannya yang satu itu kini tak berfungsi bila tidak dibantu alat.
Lantunan senandung kitab tak henti keluar dari mulut sang uztaz. Namun bacaan-bacaan yang seharusnya menenangkan hati itu, kini membikin pikiran Shani jenuh, keruh. Entah mengapa setiap doa yang masuk ke dalam tubuhnya justru membuat nuraninya membara. Tiap detik, ada dorongan yang selalu menjadikannya tidak ingin jatuh begitu saja. Dia ingin menerjang apa pun yang menghalanginya. Apa pun itu, siapa pun itu, serumit apa pun.
Apa mau dikata, jiwa dan raganya kini berjalan tak selaras. Batin Shani memang senantiasa melawan sebab tidak mau kalah, tetapi kini tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar meronta. Yang ada, ia hanya bisa terus-terusan pasrah.
Diserang rasa pusing, gadis berpiyama hitam panjang itu memejamkan matanya. Masih membengkak juga terasa panas sebab sehari-hari dialiri tangis. Hasil dari memikirkan betapa buruk nasib yang menimpanya kali ini, juga kerinduan terhadap kekasihnya yang sekarang entah sedang apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
RHYTHM
Fiksi Penggemar"Suara drum, bass, keyboard bakal ganggu telinga lo, lo fokusnya ke gue aja. Ok?" "Emang lo kira gue fokusnya bakal kemana selain ke lo?" "You're trying to make me melt." "Eh, maksud gue bukan.. Anjir, salah ngomong! Sorry, maksud gue, gue fokusny-"...