DUA PULUH TUJUH

14 2 0
                                    

gemercik air yang tadinya deras kini perlahan mulai mereda,
kulit Rara mulai terasa ngilu, bibir nya pun ikut membiru

"perasan gue yang nyetir, ko lu yang pucet" teriak Alan, suaranya samar terdengar karna terhalang helm dan suara berisik dari air hujan

Rara bergidik "makanya cepetan, gua udh ga kuat nih dingin banget" ucapnya dengan nada gemetar

Alan mengerutkan dahi bingung " macet, sabar"

setelah kurang lebih memakan waktu sekitar 30 menit, dengan arahan Rara, Alan memberhentikan motornya tepat di depan rumah Rara

"masuk dulu sini, gua seduhin teh manis anget" ucap Rara sambil melangkah masuk

Alan mengangguk, membuka helm lalu mengikuti langkah Rara, ia duduk sambil menatap sekeliling, matanya terfokus kepada sebuah bingkai foto kecil di sudut ruangan

di dalam foto itu terdapat satu orang anak perempuan sedang tertawa dengan rambut yang di penuhi oleh jepitan pita, ditemani seorang pria dan wanita dengan memakai pakaian formal, itu adalah potret keluarga Rara yang diambil saat Rara masih berusia sekitar 3 tahun

"lo anak tunggal?" ucap Alan

Rara yang baru saja datang sambil membawa segelas teh mengangguk sebagai respon

"wih enak dong, btw ortu lu lagi gaada?"

"iya" sebuah jawaban yang sangat singkat, membuat Alan menaikan alis seolah meminta penjelasan

"kenapa ya, pandangan orang tentang anak tunggal tuh selalu enak " lanjut Rara

"loh bukannya emang enak? bisa dapet kasih sayang double tanpa harus dibagi dengan siapapun, dapet dukungan penuh atau minta dibeliin apapun tanpa harus merasa ga enak karna takut adik atau kaka lo iri"

Rara menggelengkan kepalanya "tapi sosok anak tunggal yang sekarang lagi duduk di depan lo adalah anak yang harus berjuang buat hidupnya sendiri, anak yang gapunya figur orang tua di sisinya, jangankan mau beli barang apapun, buat makan aja bingung harus gimana, ditambah harus hidup sendirian, mau sedih juga bingung ceritanya ke siapa" ucap Rara dengan nada yang sedikit gemetar

"dulu gua tinggal di sebuah rumah yang bener bener mewah, di kasih fasilitas dengan sangat baik, bahkan untuk nyuci kaus kaki aja pake pembantu, tapi gua ga pernah bahagia dengan itu. gua cuma pengen mamah sama papah makan di satu meja makan bareng gua, ngobrol atau sekedar nanya gimana keseharian gua"

"tapi tiba tiba papah selingkuh, dan semua harta yang papah punya dikasih ke selingkuhannya, sedangkan gua sama mamah ga dapet apa apa, mamah bilang ke gua untuk tetap bertahan, katanya semua bakal lebih mudah kalo di jalanin berdua. tapi tiba tiba mama pergi, kerja di luar kota, ninggalin gua sendirian disini"

"untuk seorang anak tunggal yang kaya gua, tanpa ada siapa siapa apa masih keliatan enak? "

"saat gua mulai mencintai seseorang, dan ngerasa bahwa dia bisa menggantikan sosok papah, tapi justru orang itu ga mencintai gua, dan malah ninggalin gua"

Air mata yang sedaritadi ditahan akhirnya Rara keluarkan, Penjelasan panjang yang sudah lama ia pendam juga akhirnya tersampaikan, Alan hanya duduk diam, sambil menatap Rara dengan tatapan teduh

Entah kenapa dadanya ikut merasa sesak

Rara menepis air matanya sambil tersenyum miris "gua cerita kaya gini bukan punya tujuan supaya di kasihanin atau bahkan mengajak orang untuk ikut prihatin, hanya sekedar cerita aja" Lanjutnya

Alan melangkah maju mendekati Rara, Tangannya meraih mengusap kepala Rara dengan sangat lembut "gapapa, Lo boleh nangis, keluarin semuanya sampe lega.  tapi setelah ini lo harus janji untuk ga nganggap kalo diri lo sendiri, karna ada gua" ucap Alan

"yaudah, gua pulang ya, udah malem, good night, lo itu wanita kuat" lanjutnya

Rara mematung memandangi punggung Alan yang kian menjauh, terkejut dengan perlakuan sekaligus ucapan manis Alan yang tanpa ia sadari bahwa itu sangat menenangkan suasana hatinya saat ini

gemercik air yang tadinya sangat deras, kini bahkan sudah tak terdengar, sunyi, namun entah kenapa hati Rara seperti terisi

"Alan... maksud lo itu apa sebenernya?...."

Do'Ra (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang