Aku duduk sembari menundukkan kepala, merasa bersalah dihadapan Mama dan Kak Hanbin. Aku memang tidak melirik wajah Mama sama sekali, tetapi aku yakin kalau saat ini kedua alis Mama berkerut marah dengan kedua mata yang melotot tajam kearahku.
Sedangkan Kak Hanbin kebingungan karena terseret dalam keadaan yang seharusnya hanya ibu dan anak yang ada disana.
"Maksudnya apa, Le?" Mama menuntut penjelasan dariku sembari mengetuk meja dengan jari telunjuknya. "Kamu terlambat les sama Hanbin sampai waktunya terpotong setengah jam karena kamu ikut tryout UTBK di bimbel deket sekolah kamu? Kalau sekali-dua kali sih masih bisa ditoleransi. Lah, ini udah enam kali pertemuan kamu begini terus. Boleh kok ikut tryout, tapi apa jadwalnya nggak bisa ambil selain hari kamu les sama Hanbin?"
"Nggak bisa, Mah. Senin sampai rabu udah ada tambahan di sekolah. Terus kuota tryout hari sabtu dan minggu penuh."
"Ya kalau begitu apa kamu nggak bisa prioritaskan mana yang lebih penting? Sebenarnya kamu ini mau masuk ke universitas mana? Kamu serius ke UI sampai kamu ikut ngejar UTBK?"
Aku diam. Jika diberi pertanyaan serupa dengan yang dilontarkan Mama, aku masih belum bisa menjawab.
"Le, Mama tanya gini supaya nanti hasil akhirnya bisa maksimal. Kamu sudah dewasa, seharusnya sudah bisa memilih mana yang harus kamu prioritaskan." Aku mendengar helaan napas Mama. Beliau melanjutkan perkataanya, "mama serahkan semua keputusannya ke kamu, Le. Apapun itu, Mama akan tetap mendukung kamu. Sudah, sekarang silahkan dimulai les-nya."
Begitu Mama beranjak pergi, suasana diantara aku dan Kak Hanbin masih sama mencekamnya. Hingga akhirnya Kak Hanbin tertawa lalu menarik gelas dan menuangkan air minum untukku.
"Rileks-rileks, Le," katanya masih dengan setengah tertawa. "Minum dulu, ini."
Aku meneguk habis air mineral dalam gelasku. Kemudian aku menyandarkan punggungku pada sofa. Aku lelah karena tadi sehabis mengerjakan tryout aku buru-buru pulang sebab Mama menelepon, memintaku untuk cepat kembali dengan suara yang terdengar sedang marah.
Ternyata inilah penyebab Mama marah.
Aku menghela napas gusar. "Gimana ya caranya biar aku bisa sadar mana yang harus diprioritaskan?" gumamku.
b o y f i e
Bang YedamSudah terhitung satu minggu ini Yedam selalu meluangkan waktunya untuk mengantar-jemputku. Dia juga mengantarku ke tempat bimbel dimana aku mengambil kelas tryout UTBK. Kebetulan hari ini, jadwal kelas tryoutnya diundur karena sedang ada masalah sistem disana.
Akhirnya Yedam mengajakku untuk mampir ke pedagang siomay kaki lima yang sudah jarang kudatangi semenjak aku naik kelas tiga.
Aku mencari tempat duduk, sedangkan Yedam mengambil kartu antrean. Aku memilih duduk di kursi kayu panjang, dibawah pohon beringin yang teduh.
Entah kenapa, hari ini cuacanya tidak terik, tetapi tidak mendung juga. Alias, cuacanya sangat bagus.
Aku melambaikan tangan untuk menunjukkan dimana posisiku pada Yedam yang terlihat kebingungan mencariku. Begitu melihatku, Yedam tersenyum lantas menghampiriku. Yedam duduk didepanku, menyodorkan kartu antrean. "Nomor lima-belas, nggak apa-apa?"
"Nggak, kok. Itumah, easy," kataku sembari menjentikkan ibu jari dengan jari kelingkingku.
Yedam tertawa geli, "itumah, easy," candanya menirukan gaya bicaraku. "Oh, iya, gimana Mama? Udah nggak marah lagi, kan, sama kamu?" tanya Yedam.

KAMU SEDANG MEMBACA
boyfie •bang yedam
Fiksi PenggemarThere is no way for me to 'unlove' him. -Helen Started 18 September 2020