18

10 2 0
                                    

Darah mengalir dari punggung tangan Tasya. Gadis itu tersenyum lebar tanpa merasa kesakitan, ia malah merasa bangga karna sudah berhasil melepas pipa merepotkan itu. Selanjutnya, gadis berambut panjang yang tak terikat itu menggeser tubuhnya ke kanan hendak turun.

Grisyel sengaja ingin turun dari posisi kanan brangkarnya, karna jika sebaliknya ia tak yakin bisa menahan diri membunuh gadis pemeran pembantu itu. Grisyel lupa namanya, yang pasti dia adalah adiknya Dimas.

Saat hendak turun, Revan langsung menghalanginya membuat Grisyel mendongak menatap dingin lelaki itu. "Minggir pembunuh."

Revan menggeleng. "Kau ingin pergi kemana, tanganmu berdarah."

Grisyel mendecih, apa ini saatnya lelaki itu berdrama? Ia tak habis pikir. "Apa pedulimu?"

Tatapan Revan menurun. "Aku kakakmu."

"Dan aku bukan adikmu. Kemana saja kau selama ini?" Grisyel mengedikkan jarinya di depan wajah Revan. "Hei! Sadarlah, adikmu sudah bertahun-tahun membutuhkanmu!"

Grisyel mendorong keras bahu Revan, ia muak dengan drama seorang kakak pembunuh yang berpura-pura baik. "Adikmu bisa saja lebih bahagia tanpa hadirmu, Revan."

Dam!

Hati Revan benar-benar mencolos, tusukan pisau itu terlalu dalam. Di matanya, itu adiknya yang berbica, di matanya itu adiknya yang menyakitinya, di matanya itu adiknya yang berbicara dengan nada dingin. Rasanya sangat sakit, Revan sampai lupa cara berdiri tegak.

Merasa mendapatkan peluang, Grisyel berjalan tertatih menuju pintu kamar. Dimas berjalan ke arahnya hendak membantu, "Perlu bantuan." Dimas merasa gadis itu sedikit kesusahan.

Grisyel menggeleng. "Tidak perlu." Grisyel menoleh pada Rere. "RE! BANTU AKU!"

Rere langsung memapah Grisyel, meskipun otaknya belum paham apa yang terjadi. Grisyel tersenyum lembut pada orang tua Tasya. "Saya pergi, Nyonya Tuan."

"Kenapa harus Rere,"gumam Dimas yang masih terdengar oleh Grisyel.

"Karna Rere keluargaku."

Kemudian kedua gadis itu menghilang dari balik pintu. Semua orang di dalam ruangan terdiam kaku. Dimas menghembuskan nafas kasar. "Apa dia bukan Tasya?"

Revan melirik ke arah Dimas. Ia bangkit berjalan menuju lelaki itu. "Kau berbicara apa?"

Dimas mengedikkan bahu. "Aku rasa dia bukan Tasya. Mungkin saja itu alter ego Tasya."

Roy mengangguk setuju. "Mungkin saja,"ucapnya menambahkan. Revan menoleh pada papanya.

"Kau tak khawatir dengan putrimu?" heran Revan. Roy langsung mengatup mulutnya rapat-rapat. Revan memijit pangkal hidungnya tak habis pikir. "Akan kudapatkan adikku kembali!"

Dengan langkah tegas, Revan berjalan ke luar kamar. Sejenak, Revan sedikit lega melihat adiknya berjalan tak terlalu jauh. Segera Revan menyusulnya. Revan bersyukur karna fisik adiknya masih terluka, jadi tak banyak kemungkinan adiknya itu bisa pergi terlalu jauh.

Revan segera mencekal tangan Tasya, lalu mendekap gadis itu. Revan mendekap erat tubuh adiknya yang tampak tegang. Rere menyingkirkan dirinya, biarlah kedua manusia itu berdebat.

"Kembalikan adikku," gumam Revan sambil menghirup aroma rambut adiknya.

Grisyel mengerjabkan mata. "TIDAK AKAN PERNAH!" Dengan sekuat tenaga Grisyel menjauhkan diri dari Revan, matanya menatap nyalang lelaki itu.

"Kau." Tunjuk Grisyel dengan nada dingin ke wajah Revan. "SIAPA KAU BERANI MELAKUKAN HAL ITU PADAKU!"

Dengan santainya Revan kembali berjalan ke arah adiknya yang perlahan semakin mundur. "Kembalikan adikku!"

TIME AT THE END OF TWILLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang