24

12 2 0
                                    

Happy reading ♡(∩o∩)♡
......

Kening Rere mengerut merasakan perubahan aura dari arah kirinya, lantas gadis itu menoleh pada Tasya yang tampak santai menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangan. Seluruh wajah Tasya tertutupi dengan surainya. Rere terkekeh melihat itu, Tasya jadi terlihat sangat kalem.

Kemudian, Rere beralih pada suasana kelasnya. Di sini sangat ramai, entah apa yang terjadi pada guru mapel pagi ini. Bisa-bisanya mereka dibiarkan untuk bersantai menikmati jam kosong. Mata Rere mendelidik menyaksikan kebodohan manusia-manusia itu. Mereka bernyari ria dengan tubuh yang digerakkan ke sana kemari membuat Rere merasa jijik.

"Untung aku bukan manusia," ucap Rere dalam batin.

Rere kembali menoleh pada Tasya saat ia merasakan pergerakan gadis itu. Sejenak Rere membeku melihat Tasya menegakkan tubuhnya dengan mata yang menajam datar. Lalu tiba-tiba seorang guru pria masuk menghancurkan suasana di kelas. Rere masih memerhatikan Tasya yang sibuk mengikat rambutnya. Kening Rere mengerut samar, sejak kapan Tasya suka mengikat rambutnya?

"Perhatikan ke depan, Re!" Suara tegas namun terdengar rendah itu membuat Rere tersadar. Matanya membelak, Ini bukan Tasya! Melainkan Grisyel. Mengapa ia baru sadar? Bodohnya....

"I-yya," balas Rere gugup lalu mulai mempersiapkan alat tulisnya, sesekali melirik ke samping. Aura yang Grisyel keluarkan terasa menyengat bulu-bulu halus di kulit Rere. Tasya terasa sangat antagonis sekarang, apalagi mata tajamnya yang fokus mendalami materi.

Di depan sana guru bertubuh gemuk itu menjelaskan materi tanpa peduli apa yang dilakukan anak muridnya tadi. Guru bertubuh gemuk itu lebih suka menjelaskan materi dari pada menceramahi anak muridnya yang belum tentu bisa berubah. Baginya biarlah anak-anak itu bahagia, bukankah dia dulu juga anak-anak?

"Apa kalian paham?" Pertanyaan itu selalu keluar setiap kali ia selesai menjelaskan. Sepasang mata guru mapel Sejarah itu menelusuri seisi kelas, melihat siapa yang mengangkat tangannya. Ternyata ada. "Kamu? Ya, silahkan."

Grisyel mengangguk lalu berdiri dari duduknya, wajah berseri itu hilang entah kemana. Hanya tertinggal wajah dingin nan datar, tatapannya menatap lurus guru itu. Walaupun wajahnya dilihat seisi kelas.

"Maaf Pak, mungkin ini sedikit melenceng dari materi yang bapak sampaikan tadi. Tetapi pertanyaan saya ini membutuhkan jawaban untuk saya kedepannya. Apakah bapak keberatan?"

Seisi kelas menegang sambil keheranan. Sementara pak guru itu terlihat sangat antusias. "Wow, Tasya! Mana mungkin saya keberatan, silahkan bertanya, nak."

Grisyel tersenyum kecil. "Pak, mengapa banyak manusia suka berperang demi merebutkan apa yang dia inginkan? Bukankah Tuhan membuat manusia sebagai makhluk paling sempurna diantara yang lain?"

Baiklah, pertanyaan yang Grisyel lontaran hanya untuk menyelidiki seberapa naifnya manusia. Dari banyak buku yang ia baca, manusia itu yang menjadi faktor pendorong terbesar rusaknya bumi.

Lagi-lagi seisi kelas tercengang dengan lontaran pertanyaan Grisyel berusan. Ada juga beberapa yang berbisik-bisik menggosipinya, teman-teman sekelasnya itu tidak pernah menyangka seorang gadis pendiam dan anti sosial itu dapat menjadi kritis. Mereka tidak tau saja itu bukanlah Tasya melainkan Grisyel.

Murid-murid yang mendapat juara kelas terlihat tidak ingin kalah, mereka berlomba-lomba melontarkan pertanyaan. Yang tentunya lebih mengarah pada materi yang Pak guru sampaikan. Mereka tidak ingin tertinggal oleh Tasya yang nootbook-nya bukan gadis pintar.

Sudut bibir Grisyel menyembang. Tanpa perlu diperjelas lagi, manusia memang naif seperti bapak itu jelaskan tadi. Manusia tetaplah manusia yang memiliki ego tinggi, dan hal yang paling sulit adalah memanusiakan manusia. Zaman sekarang, manusia seakan lupa diri, lupa bahwa ia hanya makhluk lemah. Populasi manusia pun semakin meningkat membuat karakter-karakter aneh terbentuk sejalan dengan berjalannya waku.

Grisyel menghela napas. Nyatanya dunia manusia memang akan selalu menarik di matanya, Grisyel suka membungkam mulut para manusia-manusia itu. Grisyel jadi teringat dengan warga-warganya di kerajaan, walaupun bentukan mereka tak benar-benar sempurna, tetapi mereka tetaplah saling menghormati. Berbeda jika di sini, dan Grisyel paham betul betapa sayangnya warga-warganya padanya.

Grisyel jadi teringat dengan Tasya, gadis itu juga terlalu naif, tapi Tasya itu mirip sepertinya. Hanya mirip. Ia kan tidak pernah berkata kalau dia tak naif, bahkan menurutnya putri Deros ini begitu naifnya.

Tawa Grisyel mengudara indah, langkah gadis itu menggema di lorong diikuti langkah Rere di belakang. Grisyel menilai sekitarnya, banyak muka yang manusia-manusia itu tampilkan. Wajah dan auranya tentu berbeda dari pada tadi pagi, tentunya. Karna ini Grisyel, bukan Tasya. Wajah Tasya terlihat lebih tegas sekarang, ditambah kecantikan pari purna dari Tasya. Sungguh, gadis itu sangat menarik.

Tangan Rere terangkat menyentuh pundak Grisyel sambil bertanya, "Tasya, kamu tau letak kantin kan?" Kini gadis itu berpindah posisi menghalangi langkah Grisyel. Membuat Grisyel berdecak pelan menyingkirkan tubuh Rere dari hadapannya.

"Tentu saja. Tapi saat ini, aku tak ingin ke kantin." Grisyel berkata dengan santai sambil mengedikkan bahunya. "Aku hanya berpikir, menarik jika pergi ke perpustakaan." Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya.

Rere mengangguk semangat, matanya tampak berbinar mendengar hal itu. "Bagus, ayo kita ke perpustakaan!" Buru-buru Rere menarik tangan Grisyel membawa gadis itu cepat-cepat pergi. Entah apa yang Rere rencanakan. Hingga tak sadar keduanya menjadi tontonan.

Siapa sih yang tidak suka memandang wajah mereka berdua? Wajah keduanya begitu cantik, pahatan indah semesta yang akan sangat disayangkan jika tidak dipandang.

Keduanya berlari, Rere dengan wajah cerianya, dan Grisyel dengan wajah datarnya. Kebetulan perpustakaan itu berada di lantai tiga, dikarenakan kelas mereka berada di lantai dua, jadilah mereka harus menaiki tangga. Namun saat keduanya hampir dekat dengan tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai tiga, tiba-tiba dan entah kenapa jiwa Grisyel merasakan perasaan yang aneh.

Benar saja, langkahnya seketika menjadi gontai saat berpapasan dengan lelaki tampan yang memiliki aura familiar di jiwa Grisyel. Terlebih, lelaki itu berkata.

"Salah arah, arah kantin tidak di sana, gadis kecil." Nada itu terdengar seperti teguran terhadapnya, Grisyel tak ingin salah paham. Lelaki itu berkata sambil menundukkan wajahnya. Grisyel langsung berhenti di tempat. Diam-diam tangan Rere mendingin.

"Maaf, kam-"

"Ada apa?" lelaki itu langsung menyela dengan tatapan datar. Grisyel tertegun sejenak, mengapa tatapan itu terasa sangat menyakitkan? Jika dinilai-nilai, lelaki ini sangat berkharisma. Entah karna auranya atau wajahnya yang tegas seperti ia.

"Ahh, maaf. Mungkin tadi saya salah dengar." Grisyel menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa Grisyel merasa gugup, dan rasanya ia yang salah. Bisa aja Kata-kata itu bukan untuknya kan?

Rere menyahut, "Sudahlah, Sya. Kamu salah dengar tadi. Ayo! Ke perpus!"

Grisyel mengangguk, mengalihkan perhatiannya. Mungkin ia yang salah. "Ayo! Aku mau baca banyak hal tentang manusia!" Wajah Grisyel kembali berseri-seri saat membayangkan hal menarik apa yang akan dia ketahui. Segera ia menarik tangan Rere untuk melanjutkan langkah. Niatnya untuk mempelajari manusia membuat Grisyel lupa dengan lelaki tadi. Namun baru menaiki beberapa anak tangga, Dimas datang dengan tergesa-gesa. Dan itu membuat mereka hampir bertabrakan.

"Eh! Maaf dek!" Dimas buru-buru menepuk bahu Grisyel dan langsung pergi begitu saja. Suara lelaki itu terdengar. "KAU MAU KEMANA! TUNGGU DULU!"

Mimik Grisyel berubah keheranan, sepertinya Dimas mengejar lelaki tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Grisyel merasa sangat penasaran, seakan jiwanya tertarik mengetahui lelaki tadi. Kata 'gadis kecil' yang tadi ia 'salah dengar' itu membuatnya teringat seseorang.

Hingga langkah gadis itu berbalik-berputar arah--secara tidak langsung Grisyel terlihat menuruti perkataan lelaki tadi. Tatapan gadis itu mengarah ke depan, sangat lurus. Lalu akhirnya gadis itu berkata yang berhasil membuat Rere menahan napas.

"Tidak jadi ke perpus. Ayo kita ke kantin, Re."

.........

Nb : Hei, sadar gak kalau cerita ini makin aneh? Aku merasa kalau cerita ini kurang konflik. Ya gak sih?

TIME AT THE END OF TWILLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang