13

14 2 0
                                    

Terimakasih buat yang udah baca 💗

.......................

Masih di tengah malam, Grisyel duduk di atas kursi kayu dengan pahatan bunga di masing-masing kaki-kakinya. Gadis itu yang tak lain adalah Grisyel dengan gaun kebesarannya menatap datar seorang gadis yang berada di depannya dengan pakaian merah yang manis.

Grisyel mendecih sambil menggelengkan kepala pelan. "Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" ujar Grisyel dengan nada dinginnya, ia tak tau mengapa ini menjadi sangat rumit.

Seorang gadis itu tersenyum cerah berteriak kegirangan sambil melompat, lalu berteriak dengan lantang, "TERIMAKASIH TUAN PUTRI BAIK!"

Grisyel memijit pelan kening mulusnya, kepalanya sedikit mendenyut dengan kehadiran gadis itu. Ia tak mengundangnya, bahkan tak ingin bertemu. Grisyel hanya ingin hidup tenang.

"Baiklah, kau yang merasakan tubuhnya dan aku yang mengendalikan. Setuju?"

Tampak gadis itu berpikir sejenak, tapi tak berselang lama ia mengangguk cepat. "SEMOGA KAU BERJODOH DENGAN JODOHMU TUAN PUTRI!"

Sedikit miris Grisyel melihat kondisi kejiwaan gadis itu, ia ingin sekali memusnahkan makhluk yang berada di depannya ini, tetapi ia tak bisa. "Pergilah, aku muak melihat wajahmu."

Gadis dengan gaun merah itu tertawa keras, bau amis sedari tadi keluar dari tubuhnya, gaun merahnya pun bukan warna tetapi darah, bukankah itu manis? Sesaat, ia berhenti mecoba bersikap tenang. "Kau memang yang terbaik Tuan Putri-"

"BERHENTI MENGUJIKU BODOH! AKU ITU TAK BAIK!" potong Grisyel dengan suara kerasnya, matanya mengisyaratkan bahwa ia benar-benar muak dengan makhluk satu ini.

Gadis itu langsung terdiam, tetapi selanjutnya ia malah tersenyum menakutkan. "Berhati-hatilah Tuan Putri. Aku menunggu ceritamu."

Grisyel melotot geram, sebelum ia bangkit dari duduknya, makhluk itu sudah menghilang membuat Grisyel semakin naik pitam. Entah ini menguntungkan atau tidak, yang penting Grisyel tenang.

Tasya duduk di bangku yang sudah di sediakan, ia menatap datar para murid di hadapannya. Sepertinya akan ada acara perkenalan anak direktur sekolah, Tasya senang akhirnya ia bisa melihat wajah ketakutan teman-temannya. Rere sendiri sedang duduk di samping kanan Tasya, awalnya gadis itu diusir oleh Papa Tasya, tetapi perkataan Tasya membuat pria itu mengizinkan ia.

"Rere temanku, jika dia bergabung di sana berarti dia musuhku. Biarkan dia duduk, apa masalahnya?" Grisyel berkata dengan dingin.

Di sebelah kiri Tasya, ada mamanya yang duduk dengan sewajarnya. Perempuan paruh baya itu terlihat elegan, Tasya menjadi iri. Ia tak pernah bisa memancarkan aura kecantikan sebaik Mamanya.

Tasya memerhatikan Papanya yang berada di depan sana, berdirinya pria itu bertujuan mengungumkan pada semua orang bahwa ia adalah anaknya, terlihat orang-orang menjadi tak berani menatapnya. Tasya tersenyum kecil, tetapi kembali datar ketika rasa lapar menyerang perutnya.

"Ma, ada makanan? Tasya laper," adu Tasya berbisik dengan Mamanya.

"Laper yah? Mama bawa bekal tuh kayanya di mobil." Sebenarnya Tina menutupi rasa terkejutnya.

"Kuncinya?" tanya Tasya membuka tangannya menyodorkan pada Mamanya. Tina menunjuk Papa Tasya dengan gerakan mata.

"Minta sama papa." Tasya mengangguk, bangkit dari duduknya menghampiri sang Papa.

"Pa, kunci mobil." Tasya membuka tangannya menyodorkan pada Papanya. Roy yang semula berbicara pada murid-murid menoleh pada anaknya, mengerutkan kening.

"Buat apa?" tanya Roy pelan sambil merogoh sakunya.

"Tasya laper, kata Mama di mobil ada bekal," jelas Tasya mengambil kunci mobil yang Papanya berikan.

"Loh, itukan bekal punya Papa." Roy menatap istrinya dengan lemas. Tina yang duduk dengan anteng membalas tatapan suaminya dengan tajam, seakan berkata, nanti aku bikinin lagi, kasi aja dulu anaknya.

"Makasih Pa," ucap Tasya menggenggam kunci mobil itu lalu kembali ke tempat duduknya. Sebelum duduk ia memberi kunci mobil itu ke Rere. "Ambilkan Re!"

Rere menerima dengan senang hati, "Siap bos!" lalu ia bangkit dan pergi dari sana.

Tasya kembali duduk dengan anteng. Sekolah ini mengandalkan harta, lihatlah mereka terlihat segan menatap Tasya ketika Roy menyatakan bahwa ia adalah anaknya.

"Tasya yang selama ini kalian anggap adalah murid tanpa orang tua adalah anak saya. Anak kandung saya!"

Tasya bangga ketika Papanya mengakui ia, hari yang tentunya sangat bersejarah. Jujur, dari dulu ia sangat ingin identitasnya di umumkan, karna Tasya ingin berkata pada dunia bahwa ia adalah anak Roy dan Tina, pengusaha sekaligus orkay.

Setelah ini, Tasya yakin bahwa teman-teman yang semula ingin merendahkannya mengurungkan niat. Tasya jadi tak sabar melihat mereka yang menunduk takut padanya.

"Tasya, ini." Rere datang membawa satu kotak bekal berwarna hijau bertingkat 2 pada Tasya. Tasya menerima dengan senang hati, ia menatap binar kotak bekal itu.

"Minumnya Re?" tanpa menoleh pada Rere ia berkata sambil membuka tutup bekal. Ada sebuah roti di dalamnya, roti itu membuat perut Tasya semakin terasa lapar.

"Ini, aku letak di sini yah." Tasya mengagguk saja, ia mengambil roti itu dengan minat yang sangat besar.

"Rere mau?" Rere menggeleng tanda menolak, kemudian Tasya beralih pada Mamanya. "Mama mau?"

Tina menggeleng tersenyum kecil, "Makanlah."

Tasya mengangguk, tanpa di suruh pun ia sangat ingin makan. Tasya mulai menggigit dan mengunyah roti bernama sandwich itu.  Memang yah, kalau makanan buatan Mama itu yang terenak.

Tasya makan dengan perlahan, ia tak ingin cepat lapar lagi, karna roti ini cuman ada 6 potong di dalam kotak bekal. Kini, Tasya sudah makan yang ke-tiga. Matanya tak sengaja melihat salah satu siswi yang terlihat tergiur dengan sandwich nya.

Tasya melihat sandwich yang ia pegang, "Mau?" Tasya melihat siswi itu. Dengan ragu siswi itu mengangguk. Tasya sedikit mendengus, kemudian menyuruh siswi itu untuk datang ke tempatnya. Sebelum itu, ia sudah izin dengan Papanya yang sepertinya hampir mendekati penutupan pembicaraan.

"Jangan minta lagi, karna ini buatan Mama aku. Kalau kamu mau minta lagi, minta aja sama Mama kamu."Dengan setengah hati Tasya memberi satu potong sandwich pada siswi itu. Siswi itu mengucapkan terimakasih lalu pergi kembali ke tempatnya.

Rere melongo, apa-apan tadi? Tasya yang merasa diperhatikan hanya mengedikkan bahu acuh. Kembali memakan sisa sandwich yang ke-tiga. Tina yang mendengar putrinya yang berkata seperti membanggakannya tersenyum kecil.

Acara yang tanpa direncanakan pun berakhir, akhirnya Tasya bisa membebaskan ekspresi wajah dinginnya. Dengan bangganya ia menyalim tangan orang tuanya. Namun, sepertinya Tina dan Roy sedikit waspada dengan sikap putrinya.

"Minta uang." Tasya mengodorkan tangannya dengan senyum mengembang.

Tina tertawa melihat wajah anaknya, di matanya Tina melihat Tasya kecil. "Segini cukup." Tina memberikan selembar uang berwarna merah pada Tasya.

Tasya melongo melihat uang itu. Roy sendiri ingin membentak anaknya karna anaknya tak tau rasa di untung, tetapi ia malah mengurung niatnya ketika Tasya berkata sebaliknya. "Ini kebanyakan Ma. Tasya cuman mau beli bakso eceran sama Rere, harganya cuman 10 ribu."

Maafkan bapakmu nak, bapak kira kamu bakal meminta lebih, batin Roy.

*ekspetasi Roy

Tasya berkata : "Mana cukup segini Ma, mau beli apa? Buat ongkos aja kurang."

.................................











































Tandai typo, terimakasih




TIME AT THE END OF TWILLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang