17

10 2 0
                                    

Mari ikut aku berjalan jauh, masuk ke dalam ruang anti masa buatan Grisyel. Putri sekaligus calon penguasa kerajaan leafland. Yang tak lain adalah kerajaan yang penuh dengan pepohonan rindang, kerajaan yang sangat bersahabat dengan angin. Grisyel lahir di kerajaan itu dengan anugrah kekuatan aneh dalam dirinya. Bahkan, Deros saja masih meneliti kekuatan Grisyel yang sebenarnya.

Beralih pada itu, mari kita perhatikan seorang gadis dengan baju buatannya duduk di sebuah ruang yang ia buat sendiri. Itu Grisyel, percayalah, baju kebesarannya adalah baju yang ia buat sendiri. Meminjam sedikit kekuatan para penjahit serta mengambil kain yang paling nyaman di matanya, dan tara! Baju sepotong yang tak terlalu panjang dan celana panjang terlihat mewah jika ia kenakan. Terlebih ketika Grisyel memakai jubahnya.

Gadis itu duduk tak beralaskan apapun, seperti biasa, ia selalu terdiam. Namun, jangan pernah meremehkan diamnya Tuan putri satu ini, bisa jadi ia tengah merencakan sesuatu. Mengapa aku bilang begitu? Karna wajahnya memunculkan senyuman devil yang mencurigakan.

"Kau ingin aku keluar? Bukankah kau yang ingin menguasai tadi?" Grisyel menoleh ke belakang dengan pelan. Ia tak terkejud mendapati roh seorang gadis yang tak lain adalah roh Tasya.

Tasya diam, ia kemudian menggeleng. Menunduk, dan menghilang. Apakah semua makhluk abadi seperti itu? Grisyel saja tak habis pikir. Bahkan, ia sering bertanya kapan waktu ini berakhir.

"MEREPOTKAN SEKALI!" teriaknya keras membanting tubuhnya ke lantai ruangan. Grisyel memiringkan kepalanya ke kanan. Kira-kira apa yang akan membuatnya tak bosan?

Mengacaukan hidup seseorang?

Membunuh?

Menghancurkan dunia manusia?

Atau....

Merasa mendapat ide, gadis itu sontak berdiri tegak dengan sekali hentakan. Senyumnya mengembang dengan lebar, ia mengedikkan jari lalu menghilang. Ruangan yang tadi terang, kini perlahan menggelap.

................

Seketika mata Tasya terbuka sempurna. Semua orang di dalam ruangan tak ada menyadari, tetapi sebelum ia bangkit dan melepas selang infus di hidungnya. Tasya yang kini di ambil alih oleh Grisyel menatap satu-persatu wajah orang-orang di sekitarnya. Sampai ia menemukan apa yang ia cari.

"Rere, aku mau pulang,"ucapnya dingin menaruh fokus pada wajah Rere yang tampak tegang. Merasa tak ada jawaban, Grisyel mengulang perkataannya, "Rere, aku mau pulang."

Rere tampak bingung harus menjawab apa, tetapi ia lebih merasa gelisah dengan tatapan Grisyel yang belum teralihkan. Salah satu orang di kamar itu mendecih kuat membuat yang lain menoleh padanya.

"Gausah banyak drama!" Gadis itu melipat tangan di depan dada sambil mengangkat dagunya berlagak sombong. Grisyel menoleh pada sumber suara, ia merasa kalau gadis itu berbicara padanya.

Dengan bibir kiri terangkat naik, dan tatapan merendahnya Grisyel menatap gadis itu. "Kau siapa?"

Gadis itu tampak terkejut tak percaya, ia mengibaskan rambutnya dengan sangat percaya diri. "Kau pura-pura lupa ingatan atau bagaimana... Oh.. Aku tau, kau sedang berdrama? Ah, dramamu terlalu rendah bocah!"

Grisyel tampak tak perduli dengan ocehan gadis itu, tetapi ada rasa ingin membalas. "Omong kosong. Kau iri?"

Revan menatap dalam wajah adiknya, mengapa Tasya terlihat berbeda? Bicaranya juga. Grisyel yang merasa diperhatikan menoleh pada Revan, ia menatap dingin lelaki itu. Menunjuk wajah sang kakak dari tubuh yang ia tempati lalu mencoba mengingat.

"Kau..." Grisyel menggesekkan giginya, tangannya belum turun. Lelaki itu mendekatinya. Pupil mata Grisyel mengecil. "Kau kakak biadab gadis kecil itu?!"

Revan tersentak, apa maksud adiknya? Yang lain memerhatikan kedua manusia itu, menunggu adegan selanjutnya. "Dek-"

"Kau siapa berani menyentuhku." Grisyel menghempas kasar tangan Revan, iya namanya Revan. Grisyel sudah ingat. "Kau itu yang menembak suster gila di depan Tasya kan?"

Walaupun samar, Grisyel melihat anggukan kecil dari Revan. Seketika tangannya terangkat memukul kepala Revan. "HEH! KENAPA KAU MENEMBAK MANUSIA ITU DI DEPAN TASYA!"

Tangan Revan terkepal, menunjukkan isarat kemarahan di matanya. Grisyel tak peduli,  ia menunjuk wajah Revan sekali lagi. "Kau itu tak kalah bodoh dari mereka!" Dingin tapi menusuk, terlalu sulit menjelaskan nada yang Grisyel kenakan.

"APA KAU TAU! GARA-GARA KAU! ADIK BODOHMU ITU MENYURUHKU KELUAR! PADAHAL AKU INGIN BERSANTAI BODOH!" Grisyel menarik nafas dalam, ia ingin mengeluarkan apa yang ia pendam.

"Jika saja kau tak menembak di depan mata gadis itu, mungkin aku sudah bersantai di ruanganku. Merepotkan!" Grisyel mendelik ke arah Revan, ia memposisikan duduknya semula agar lebih nyaman. "Adikmu itu merepotkan tau!"

Mata Grisyel menyempit lalu ia mengendus, kembali melanjutkan dialognya. "Tapi kau sudah berusaha menjadi kakak yang baik untuk adikmu. Aku juga tak bisa menyalahkanmu sepenuhnya, jika kau tak datang mungkin saja gadis itu sudah tak terlihat lagi. Kau baik sih...," puji Grisyel.

Grisyel beralih pada orang-orang di sekitarnya. Ia menunjuk wajah mereka satu-persatu. Dari sebelah ujung kiri, ada gadis yang tadi mencomohnya. "Tidak...tidak... Dia hanya pemeran pembantu," ucap Grisyel menekan suara di kata 'pembantu'.

Kemudian, di samping gadis itu ada Dimas. "Dimas? Aku ingat, kau yang memeluk Tasya yah... Kau baik, aku salut." jeda sebentar. "Tapi bodoh," lanjut Grisyel. Ia beralih pada Rere, seketika tatapan Grisyel berubah.

"Re? Kok bisa dibodohin sih?!" tuntutnya.

Rere menunduk dalam. "Rere cuman ngikut."

Grisyel mengendus. "Aku tak suka pada Rere yang ceroboh." Masih dengan tangan yang menunjuk, Grisyel beralih pada pasutri yang tak lain adalah orang tua Tasya. Tangannya ia mundurkan. "Harus sopan dengan orang yang lebih tua,"gumamnya.

Grisyel menundukkan tubuhnya lalu menegangkan seperti memberi salam. "Nyonya, Tuan. Orang tua Tasya bukan? Kalian orang kaya raya padahal, mengapa bisa bodoh?"

Mendecih, Grisyel mendengus melipat tangan di depan dada. "Salahku juga sih. Kalau saja aku yang mengendalikan saat Tasya di siksa, pasti putri kalian tak sampai menginap di sini."

"Kamu Tasya?" Pertanyaan itu mencolos di bibir Tina. Grisyel menggeleng tegas.

"Aku mau pergi." Grisyel mulai mengotak-atik pipa di tangannya. Gadis yang tadi sempat berdebat dengannya kembali mendecih.

"Berdrama,"gumam gadis itu. Grisyel langsung menoleh dengan tatapan dingin.

"Kau ingin ku bunuh?" desis Grisyel.

"Bunuh saja." Dengan sangat santai gadis itu berucap. Keberuntungan sedang berpihak dengan Grisyel, di samping brangkar ada sebuah meja terdapat pisau. Ia meraih dengan cepat dan hendak melempar ke arah gadis itu. Namun, tangannya di tahan.

Grisyel menghempas kasar tangan Revan, meraih pisau itu dan segera melemparnya dengan perasan jengkel. Revan dengan sigap langsung mengambil tangan adiknya saat tangan itu benar-benar terangkat.

"KAU SIAPA BERANI MENGHENTIKAN AKU!"

Dengan sabar Revan meletakkan pisau itu kembali setelah berhasil melepaskan benda itu dari tangan adiknya. Dada Grisyel naik turun.

"HEI PEMBUNUH! KITA ITU SAMA BODOH! AKU INGIN MEMBUNUH DIA!" Grisyel menatap geram gadis itu. Bisa saja jika Grisyel turun dari bangkar lalu melenyapkan gadis itu, tetapi ia terlalu malas.

"Jangan jadi pembunuh!" tekan Revan, hatinya terguncang melihat adik yang tadi ia selamatkan menjadi arogan seperti ini. Rasanya sangat sakit ketika melihat tatapan dingin adiknya (lagi).

"Aku bukan adikmu Revan, jadi jangan khawatir."

Ctlas....

...........

Kangen sama Grisyel :)

TIME AT THE END OF TWILLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang